Rabu, 07 Juni 2017

Jangan Sampai Tak Ada Jabrohim

Kebudayaan harus punya Jabrohim, apalagi peradaban. Negara harus punya Jabrohim, apalagi Indonesia. Rakyat harus punya Jabrohim, apalagi masyarakat, Kaum Muslimin harus punya Jabrohim, apalagi Muhammadiyah. Makhluk-makhluk Tuhan harus ada Jabrohimnya, apalagi manusia. Kalau kebudayaan tak punya Jabrohim, ia akan mengering, sampai akhirnya tidak bisa lagi disebut kebudayaan. Kebudayaan menjadi segar dan subur kalau ada yang merawat dan menyirami keindahan. Itulah Jabrohim. Kebudayaan tanpa Jabrohim-Jabrohim, akan gagal menjadi peradaban. Kalau Negara tidak punya Jabrohim, para pelakunya akan sibuk main kayu satu sama lain. Karena mereka tidak mengenal pohon dengan urat-uratnya, akar dengan tanahnya, dedaunan dengan seratnya, kembang-kembang dengan wanginya, serta bebuahan dengan lezatnya. Jabrohim adalah penjaga ekosistem silaturahmi antara buah, kembang, daun, ranting, dahan, pohon, akar, tanah, air, bumi, langit dan Tuhan. Negara dengan peran Jabrohimlah yang membuat ia bernama Indonesia. Kalau Rakyat berkerumun tanpa Jabrohim, mereka akan menjadi makhluk pasar, penyembah harta benda, perakus uang dan penserakah materi, yang agamanya adalah materialismenya. Jabrohim menjaga pintu di tepian pasar agar tetap ada lorong ke wilayah-wilayah yang bukan benda. Jabrohim menghembuskan angin dari angkasa, menerpa wajah dan tengkuk para penghuni pasar, sehingga mereka akan suatu saat ingat bahwa mereka bukan robot-robot keuangan. Mereka akan sesekali berserikat sehingga menjadi masyarakat, yang menemukan bersama bahwa hiruk pikuk pasar bukanlah tujuan manusia, melainkan alat untuk memenuhi sebagian kebutuhan jiwa mereka. Kalau Jabrohim tidak ada di tengah Kaum Muslimin, maka para pelaku Islam terjebak menjadi mujahid-mujahid transaksi pahala dan dosa, sorga dan neraka. Peran rohaniah kesusastraan yang dirawat oleh Jabrohim akan mengembalikan Kaum Muslim menemukan kembali bahwa tema penyembahan kepada Tuhan adalah cinta. “Katakanlah wahai Muhammad (kepada ummatmu): Kalau kalian memang mencintai Allah, maka ikutilah jejakku, maka Allah pun akan mencintaimu, serta mengampuni dosa-dosamu…” Berapa ribu bumi dengan kandungan tambang-tambangnya, dengan kekayaan laut dan daratnya, yang bisa diperbandingkan dengan cinta Allah dan perkenan-Nya untuk mengampuni dosa-dosa kita? Kalau manusia adalah manusia, kalau manusia benar-benar manusia, bisakah ia terpesona kepada apapun saja isi dunia dan alam semesta melebihi kebahagiaannya dicintai oleh Allah dan diampuni dosa-dosanya? Bukankah manusia memang bukan kerbau atau buah ketela atau Malaikat, yang tidak punya eksistensi, posisi dan pergerakan untuk ber-tajdid dan ijtihad? Dan kemanakah gerangan arah tajdid dan ijtihad kecuali menempuh jalur perbaikan diri manusia agar lebih mendekat dan lebih mendekat lagi ke perkenan cinta Allah serta pengampunan dosa? Kalau kehidupan adalah rumah, Jabrohim adalah perawat keindahannya. Untuk apa rumah kalau tidak indah? Kalau kehidupan adalah dapur, Jabrohim adalah kulkasnya, yang mengawetkan bahan-bahan makanan minuman agar lebih panjang usia dan fungsinya. Kalau kehidupan adalah manusia, maka Jabrohim adalah penjaga kelembutan hatinya. Kalau kehidupan adalah pohon, Jabrohim adalah tanah, air dan udaranya. Mungkin kebanyakan manusia yang menghuni bumi tidak mengenal kesusastraan, cerita pendek, novel, puisi, reportoar drama, atau bentuk-bentuk lainnya. Jabrohim adalah sebuah peran untuk menyimpan karya-karya kesusastraan itu dalam waktu dan mengalirnya zaman. Supaya pada suatu hari, lambat atau cepat, besok atau kelak, manusia tetap memiliki kesempatan untuk menemukan bahwa yang dikandung oleh karya-karya sastra itu bukanlah sesuatu yang berada di luar diri manusia. Melainkan merupakan kandungan gizi-gizi rohaniah di dalam diri manusia sendiri. Banyak ketidaktepatan yang dilakukan oleh para ilmuwan dan akademisi dalam urusan kesusastraan. Mereka memperkenalkan outputnya, bentuknya, formulanya yang dibangun melalui susunan kata-kata. Sehingga masyarakat mengenali sastra sebagai bentuk, sebagai kehadiran fisik, eksistensi pancaindera, dan menyangka sastra adalah deratan huruf-huruf, seni adalah kumpulan suara, warna, garis dan cuatan-cuatan serta gerak-gerik. Padahal sastra adalah diri manusia sendiri. Karya-karya sastra adalah bagian terpenting dari jiwa manusia sendiri: kelembutan, cinta, kehalusan budi, anatomi rohani, esensi jiwa, nuansa, Kristal dan apa saja yang mengkomposisi menjadi jiwa manusia. Karena tradisi ilmu dan maniak kategorisasi-kategorisasi akademik, manusia dibuat salah sangka bahwa kesusastraan adalah sebuah bidang, sebuah wilayah disiplin, yang berbeda dengan arsitektur, biologi, pertanian atau politik. Dunia ilmu dan tradisi akademik sangat gagal menggambar kehidupan, apalagi mengantarkan keutuhannya kepada masyarakat. Untunglah Jabrohim adalah Dosen Sastra. Dan volume atau prosentase kedosenannya paling banyak 30 persen secara kualitatif. Yang 70 persen adalah cinta, ketekunan dan kesetiaannya kepada nilai-nilai batiniyah yang ia memperjalankan pengabdiannya hingga senja usianya. Itu yang membuat wajah Pak Jabrohim tersenyum sepanjang hidupnya. Jabrohim adalah senyumnya itu. Wajahnya adalah senyuman. Eksistensinya adalah sentuhan cinta kepada keindahan. Kalau pakai terminologi Pandawa Lima, Jabrohim adalah Puntadewa yang lembut, mengayomi sambil bertapa di bilik dalam kalbu setiap mahasiswa dan anak-anak asuhnya. Kalau pakai terminologi Rukun Islam, Jabrohim adalah ketekunan dan kekhusyukan Shalat Lima Waktu: ia mengepung hari, menyelubungi siang dan malam dengan cinta, kesaksian atas keindahan dan rasa syukur yang abadi. Kalau pakai terminologi Sahabat Empatnya Rasulullah Muhammad saw, Jabrohim adalah Abu Bakar yang mengasuh keadaan, meniti waktu dengan langkah-langkah kaki yang sangat lembut dan hampir tak kedengaran. Kalau engkau menatap Jabrohim dari bumi: Jabrohim hanyalah seorang Dosen, pengurus Universitas di Fakultasnya. Seorang suami yang penuh kasih sayang. Seorang Bapak penyemangat dan pengawal generasi yang akan tandang di masa depan. Seorang sahabat yang tidak tahan untuk tidak memberi, menyodorkan hati dan tangannya untuk menolong dan membikin mudah siapa dan apa saja di depan dan sekitarnya. Tapi kalau engkau memandangnya dari angkasa, dari lapis yang terendah saja pun dari permadani-permadani berlapis yang membentuk langit: Jabrohim adalah anugerah Allah yang tak boleh tak ada, karena semua yang telah terhampar sejak awal tulisan ini, yang engkau semua silakan membaca dan mengelilinganya kembali. Yogyakarta, 15 Desember 2017 PENULIS : Emha Ainun Nadjib (Cak Nun)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar