Kesan positif sekaligus negatif, pro dan kontra, akan terlintas di benak kita saat mendengar kata ‘pulang kampung’. Rumah kosong, mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendiri, berdesakan di stasiun dan terminal, macet sepanjang jalur mudik, adalah sebagian potret ‘kesulitan’ yang umum dialami. Saat ditanya mengapa rela menjalani berbagai kehebohan seputar mudik itu, jawab yang diberikan seragam, yaitu untuk silaturahmi. Seakan segala ‘pengorbanan’ terbayarkan dengan bersilaturahmi, berkumpul dengan sanak saudara, sehingga ‘sambung rasa’ terbenahi kembali.
Bagi saya, yang lahir di Jakarta, dan beberapa keluarga ada di Jakarta, fenomena pulang kampung yang disambut bersemangat oleh sebagian besar orang, selalu membuatnya terheran-heran. Ia selalu membahas efisiensi dan efektivitasnya, dan mempertanyakan mengapa orang tidak kapok mengalami kesulitan yang kian hari kian kompleks di hari-hari menjelang lebaran ini.
Sekedar tradisikah bersilaturahmi? Atau betul-betul bisa menjadi ‘sentuhan sosial’ yang punya ‘rasa’ dan ‘mengena’, untuk modal kita memperbaiki diri dan lingkungan seusai Lebaran nanti?
E-Silaturahmi
Ada ketegangan lain menjelang hari-hari besar ini. Lebaran akan menjadi puncak kemacetan jalur sms, di mana orang yang dulunya tidak membutuhkan komunikasi instan sekarang akan complaint gila-gilaan bila sms-nya tidak terkirim segera. Apa isinya? Segala macam sajak, pantun, ucapan sederhana, gambar, serta doa doa yang baik.
Sayangnya, banyak sekali sms (maupun email) yang berseliweran adalah hasil forward-an dari orang lain. Yang paling penting bagi pengirimnya adalah bahwa tugas pribadi untuk melakukan kontak, selesai sudah saat ia telah meng-”cover” semua kenalannya dengan ucapan selamat idul fitri serta permohonan maaf lahir batin.
Terkadang saya kagum pada kemajuan teknologi, tetapi saya juga ingat kata-kata yang selalu di ajarkan bapak saya kepada saya bila bersalaman: “Pandanglah matanya, tunggu sampai ia berespon, jangan lupa tersenyum, dan katakan sesuatu dari dalam hatimu”. Timbul pertanyaan apakah ucapan selamat yang instan ini bisa pula ‘menyapa’ dan membuat ‘sentuhan sosial’ yang ‘kena’ dalam momentum sekali setahun ini?
Kumpul yang Tidak Basi
Bagi kita yang bermukim di Jakarta, kombinasi: jarak, waktu dan kemacetan lalu lintas, sudah lazim menjadi alasan yang diberikan untuk tidak menemui seseorang. Namun, terkadang kita lupa bahwa dalam sebuah keluarga besar atau kelompok, kemesraan, toleransi dan kedekatan hubungan yang bisa membawa berkah dan rejeki akibat ‘networking’, hanya dapat terjalin dengan tatap muka intensif, waktu yang cukup, ekspresi dan komunikasi yang sedikit lebih panjang dan dalam.
Silaturahmi semasa lebaran mengkondisikan orang untuk siap melakukan kontak. Silaturahmi memberi kesempatan untuk mengenal teman dari teman, kenalan dari kenalan serta memberi, menerima dan bertukar referensi bisnis. Bila didalami manfaatnya, rasanya kita tidak akan melewatkan kesempatan ‘kumpul’ keluarga dan kerabat pada saat lebaran, dan tidak akan melakukannya untuk sekedar berbasa basi.
Revitalisasi Norma
Banyak sudah pergeseran norma. Sudah ada segala macam modifikasi, dari cara berpakaian sampai tata krama bergaul. Kita lihat betapa banyaknya pesta buka puasa sepanjang ramadhan, sehingga acara buka puasa di rumah mulai bisa dihitung jari. Mungkin lebaran adalah satu-satunya momentum di mana remaja bersedia secara berombongan pergi bersama orangtua dan bertamu dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Mudah-mudahan kita ingat untuk tidak banyak merubah norma dan menjaga hakikat silaturahmi agar tidak kehilangan ‘arti’.
Atmosfir silaturahmi cenderung mendorong ke kesejukan hati, kekerabatan, maaf-memaafkan dari kemenangan puasa. Inilah saat yang baik untuk melakukan ‘social learning’ pada generasi muda, yang akan menumbuhkan penghargaan yang tepat pada diri sendiri, karena merasa sebagai anggota kelompok atau keluarga, dan merasa melakukan tata krama yang benar dan sesuai lingkungan. Silaturahmi adalah kesempatan emas untuk kembali menyamakan derap, langkah dan cara pikir, rasa dan sikap dengan sesama anggota keluarga dan kelompok. Perlu untuk menyamakan kembali nilai-nilai yang implementasinya sudah berbeda-beda sebagai akibat kesibukan yang berbeda serta meninjau kembali status sosial, peran, konformitas dan kepatuhan kita pada tata krama keluarga dan kelompok. Konformitas akan membangkitkan kepastian individu terhadap “akar”nya. Hal ini tentunya akan membawa rasa nyaman individu sehabis bersilaturahmi.
Marilah kita mengenakan baju yang paling bersih, paling bagus walaupun tidak baru, untuk melaksanakan kumpul keluarga dan handai taulan. Rasa gembira kita sebagai manusia modern akan terasa diperkuat oleh ‘sense of roots’ kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar