Jumat, 23 Juni 2017
"THE UGLY TRUTH"
Masih ingat plesetan “rule #1 the boss is always right, rule #2 If the boss is wrong, see rule #1”? Kita semua menyikapinya sambil tersenyum paham, karena mungkin juga mengkaitkan dengan pengalaman kita sendiri dalam berinteraksi dengan mereka yang berada dalam posisi berkuasa. Melihat hal ini, kita bisa mengingat dongeng HC Andersen mengenai Raja Telanjang. Konon, raja ini gila penampilan, selalu merasa bahwa pakaiannyalah yang terbaik. Sampai ia menyelenggarakan sayembara untuk mendapatkan baju raja yang terbaik. Datanglah sekelompok penipu yang mengaku akan membuat baju yang tiada duanya di dunia ini. Raja tertarik dan memberi ruang khusus yang diperlukan para penipu yang mengaku tukang jahit ini.
Dari waktu ke waktu Raja menginspeksi dan melihat kegiatan para ahli jahit itu, tetapi tak kunjung melihat bajunya, padahal emas dan perak telah diberikan kepada mereka yang katanya akan dibuat sebagai bahan pembuat baju. Ketika ia bertanya, para ahli itu mengatakan, “Bagaimana mungkin anda tidak melihatnya? Ini baju terindah yang sedang kami jahit. Hanya orang yang cerdaslah yang bisa melihat baju ini”. Takut dianggap bodoh, Raja mengangguk-angguk dan kemudian menginstruksikan para mentri bergantian melakukan inspeksi. Tidak ada yang ingin dianggap bodoh sehingga semua mentri juga memuji-muji baju tersebut.
Ketika baju siap, raja mulai memakainya dan berjalan ke publik. Berita mengenai kehebatan baju tersebut sudah tersebar sehingga semua orang bertepuk tangan kagum melihat keindahannya. Sampai, seorang anak kecil mengatakan dengan polos, ”Kok raja telanjang?” Bagaimanapun diberitahu bahwa itu adalah baju yang sangat khusus, kepolosan anak kecil itu tetap saja bersikeras bahwa raja telanjang. Sampai akhirnya ada yang berani mendukung komentar si anak kecil tersebut, barulah banyak orang mulai berani tertawa dan mengakui kebenarannya. Alangkah beratnya mengusung kebenaran! Apalagi bila beresiko terhadap diri kita sendiri, baik itu jabatan, citra diri maupun status sosial. Tidak jarang kita melihat sebuah presentasi yang membuka borok malahan dipertanyakan kebenarannya oleh penguasa organisasi yang merasa terpojok sampai-sampai presentasi tersebut seolah terasa salah. Beginilah cara tertutupnya kebenaran di suatu organisasi, pendapat serta yang berani berpendapatlah yang kemudian jadi dominan. Adu pendapat, bahkan pemutar balikkan kenyataan, menyebabkan kita benar-benar bingung dan akhirnya sulit memegang kebenaran.
Bangga berdiri di atas kebenaran
Kebenaran memang pahit. Bisa jadi seperti menepuk air di dulang dan terpercik muka sendiri yang membuat rasa tidak enak dan meresahkan. Oleh karena itu, tidak mengherankan, semakin menjamurnya gejala pura-pura tidak lihat yang pada akhirnya menyebabkan, baik si pemberi informasi serta khalayak lain dalam organisasi frustrasi dan mengambil jarak dari kenyataan. Bahkan kita juga tahu istilah “kill the messenger”, yaitu yang menguakkan fakta, malah dikeroyok ramai-ramai.
Ketika ada yang mengungkapkan kasus kecurangan, alih-alih melalukan investigasi kasus, malah kredibilitas pengungkap yang diobrak abrik. Banyak orang yang menghindari untuk menjadi whistle blower karena risiko pribadi yang besar. Pemimpin bisa juga menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan pembelaan diri terhadap kenyataan. Bahkan dalam film A Few Good Men sang kolonel berkata kesal, "The truth – you can’t handle the truth", ketika dirasakan gejala “rose glass syndrome", di mana atasan hanya ingin mendengar laporan yang baik-baik saja.
Kita semua tahu bahwa tanpa rasa percaya yang dilandasi kebenaran, tidak ada perusahaan, lembaga, ataupun kabinet negara yang bisa berkinerja baik. Ini adalah tantangan kita semua, mulai dari atas sampai bawah untuk kembali ke hal yang hakiki, yaitu fakta dan kebenaran. Walaupun benar setiap manusia memiliki hasrat yang sering didasari pleasure principle sementara realitas biasanya keras, kita tetap perlu menjadi orang-orang yang tangguh dalam menghadapi kenyataan. Kita tidak bisa membangun bangsa dengan kuping tipis ataupun kulit badak. Tidak ada pilihan selain mengacu pada kebenaran. "Window dressing" dan beragam cara memperbaiki kemasan untuk menjadikan kebenaran lebih cantik dari sebenarnya tidak akan membawa kebaikan. Kita tidak akan pernah bisa menutupi aib, kekurangan, apalagi kecurangan untuk waktu yang lama.
Hai, generasi muda, teriakkan nalarmu!
Banyak orang menuduh Gen-Y sebagai mahluk Tuhan yang sudah tidak peduli sekitar, lebih mementingkan gadget daripada peduli pada sesama. Namun, kritik semata tidak akan membawa perubahan. Tanggung jawab kita semualah menggugah generasi muda untuk percaya pada kebenaran. Kalau perlu gunakan media-media komunikasi mereka untuk mengajak para anak muda menjaga sistem command & control, menjadikan mereka generasi kritis dan bertanggung jawab. Kita butuh angkatan muda yang adaptif dan tidak gentar membuka kebenaran. Tidak boleh mereka terpengaruh dengan samarnya fakta dan data, apalagi kalau mental menjadi cacat karena rasa takut pada otoritas. The truth will set you free, but first it will piss you off ( Gloria Steinem)
Dimuat dalam KOMPAS 28 November 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar