Jumat, 23 Juni 2017

ASAH EMPATI!

Orang-orang bilang, psikolog jagonya berempati. Semestinya memang begitu, tapi tak selamanya juga terjadi. Teman saya, seorang psikolog lulusan universitas terkenal, acap jadi ‘public enemy’, karena tidak terlatihnya dia dalam menangkap sinyal-sinyal sosial di tempat kerjanya. Misalnya saja, dia tidak sadar bahwa beberapa orang di sekitarnya tidak menyukai caranya ‘memerintah’ rekan kerja. Dia pun tidak menyadari perbedaan pendekatannya dengan rekan kerja yang lain menimbulkan rasa tidak nyaman.
Orang yang ‘mati rasa’ seperti ini bisa dikatakan ketinggalan jaman. Ia bakalan tidak laku lagi sebagai profesional, karena perusahaan akan banyak dirugikan dalam investasi sumber daya manusianya jika diisi profesional dengan ‘soft-skills’ tumpul. Orang seperti ini sulit belajar dan sulit membina hubungan. Otomatis komunikasi menjadi sulit dan tidak efektif.
Terkadang ada pendapat bahwa empati tidak dibutuhkan dalam beberapa situasi kerja, misalnya kompetisi. Ada pula pendapat bahwa seorang salesman perlu berdarah dingin dan mempunyai ‘killer instinct’. Realitanya, dalam dunia kerja terkini, kemampuan ‘masuk dalam sepatu orang lain’ diperlukan untuk membaca pikiran dan perasaan orang lain, misalnya saja dalam negosiasi. Semakin cepat perkembangan bisnis, semakin kita harus pandai membaca emosi dalam ukuran detik. Komunikator yang handal dan peka-lah yang dibutuhkan untuk mendorong proses komunikasi, kerja tim dan kerjasama untuk menunjang penyelesaian proyek dalam waktu yang lebih singkat.
Empati: Proses Pikir atau Rasa?
Ada orang yang seumur hidupnya tidak berniat memperpanjang dan mempertajam ‘radar’-nya untuk merasakan perasaan orang lain. Sebaliknya, ada orang yang punya radar sangat sensitif sehingga sangat peka terhadap perasaan dirinya dan juga orang lain. Dalam dua situasi di atas, belum bisa dianggap yang satu lebih baik dalam berempati dibanding yang lain. Seseorang dikatakan berempati bila ia berpikir sejenak dan berusaha memahami pikiran, perasaan, reaksi, pertimbangan, dan motivasi orang lain. Proses pikir ini pun perlu melibatkan dirinya secara utuh, dengan segala macam risiko perbedaan pendapat, rasa, bahkan kemungkinan konflik. Hanya dengan pengolahan terus-menerus maka individu bisa mengenal ‘status’ perasaannya, lalu kuat berempati dan kemudian memanfaatkan emosinya dalam kehidupan kerja.
Soft Skills, Hard Results
Dalam dunia perbankan misalnya, di mana modal bisnis adalah kepercayaan, mustahil para bankir mengesampingkan kemampuan berempati ini. Bahkan, perlu ada paradigma bahwa kepercayaan tidak bisa hanya dibuktikan dengan seperangkat fakta dan data, tetapi juga ‘rasa’. Inilah sebabnya, mengapa sekarang para bankir tampak lebih ramah, berorientasi ke pelanggan, dan tidak menonjolkan ke-angker-an lembaganya lagi.
Kita lihat bahwa ketajaman ’rasa’, sangat berkaitan dengan kesuksesan bisnis. Dalam pengambilan keputusan pun, intuisi hanya bisa dikembangkan bersamaan dengan kemampuan empati.
Gunakan aturan 93%
Dari risetnya, Albert Mehrabian, mengatakan bahwa dalam komunikasi, hanya 7 % ucapan yang akan diserap oleh penerima berita. Sisanya, yang 93% adalah sinyal non-verbal. Artinya, bila tidak dibantu dengan emosi, semangat, gerak dan intonasi, maka komunikasi kita tidak efektif. Kita perlu mengaktifkan ‘radar’ untuk memantau seberapa jauh pesan komunikasi kita tertangkap dan ditanggapi oleh penerima berita. Misalkan, jika lawan bicara merespons dengan mengerutkan kening atau memejamkan mata saat kita mengungkapkan pendapat, kita tentunya bisa mengira-ngira apakah ia menyetujui pendapat kita atau sedang berpikir keras. Sinyal ini yang juga perlu kita manfaatkan untuk memberi tanda apakah komunikasi akan dilanjutkan dengan pendekatan yang sama atau tidak.
Hadir 100%
Pernahkah Anda berhadapan dengan petugas frontline yang sedang sibuk bertelpon? Atau, atasan yang sibuk mengecek imelnya saat anda sedang menyampaikan masukan? Apa rasanya bila Anda diundang makan siang oleh seorang mitra, tetapi ia banyak sekali melayani panggilan ponselnya?
Banyak orang bertanya-tanya, apakah empati bisa dilatihkan. Sebenarnya, latihan penting yang perlu terus-menerus dilakukan adalah untuk menghadapi orang lain dengan perhatian dan minat 100 %. Bahkan, bila kita sempat menyemangati lawan bicara agar ia mengungkapkan pendapatnya secara lebih gamblang, otomatis kita akan juga menangkap aspirasi, motif dan tantangan lawan bicara kita.
Sewaktu kecil, ibu saya pernah berkata, “kamu mesti belajar menghargai orang yang telak-telak tidak ada gunanya bagi kamu. Kalau sampai kamu mempunyai kebiasaan itu, baru kamu bisa disebut sebagai orang yang ramah”. Empati memang tidak boleh dipraktekkan secara selektif, dan memilih milih. Kita tidak bisa hanya mau berempati pada orang yang kita anggap penting, misalnya pelanggan. Empati harus menjadi warna, pendekatan dan kebiasaan pribadi..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar