Senin, 13 Februari 2017

Surga di Ikhlasmu, Bu

Dari manakah engkau memperoleh ilmu? Dari bumi Allah. Dari manakah pusat ilmu yang dipinjamkan-Nya itu? Dari sumur firman yang namanya Al-Qur`an.
Bagaimana engkau memperoleh airnya? Dari teknologi rohani: aku timbanya, zikir ibu talinya.
Bagaimana menjaga agar tak bocor timbamu? Dengan syukur, rasa tak punya di hadapan-Nya, serta menaburkan kembali ilmumu itu kepada Allah melalui bumi dan segenap penghuninya.
Maka, Maha-agung Allah yang senantiasa mendatangkan ibuku pada saat-saat terpenting dalam hidupku. Umpamanya pada 1965 di pesantren, ketika aku tiba di salah satu puncak tirakatku dalam keadaan kurus pucat dan kepala gundul. Atau, tatkala menjelang Pemilu 1987 Partai Persatuan Pembanguan memojokkanku: mereka mengumumkan bahwa aku akan tampil di alun-alun Yogyakarta, di depan masa kampanye mereka. Padahal, aku ini anggota partai mbambung sekaligus individu independen.
Ibu datang meskipun tak tahu menahu tentang fait accompli itu dan berkata, “Hadirlah, hadirilah, belalah yang benar dan kritiklah yang salah…!” Maka, aku naik panggung, berterima kasih kepada PPP yang bersedia mengundang orang nonpartai, kemudian omong kepada massa bahwa mereka harus mampu menagih janji pemimpin-pemimpin mereka.
Ibuku datang pula beberapa hari yang lalu, ketika orang-orang di sekitarku ribut soal pemuatan majalah SMD yang dibaca oleh ribuan orang Islam di kota-kota maupun di pelosok dusun. Majalah itu menyebut bahwa aku ini kaki tangan salah satu kelompok penerbitan, disogok uang sangat besar, diberi fasilitas di kantor-kantornya, membantu perjuangan kelompok non-Islam, tulisan-tulisanku menghantam kepentingan Islam, bahkan berusaha ikut memusnahkan Islam dari muka bumi.
Tulisan itu diekspos justru ketika aku dalam keadaan setengah teler, sempat tak tidur 43 jam, dalam rangkaian perjalan Yogyakarta-Madiun-Jombang-Pare-Malang-Surabaya-Jakarta-Yogyakarta kembali untuk bercengkerama dengan ratusan atau ribuan orang Islam.
Teman-teman di sekitarku naik pitam. “Kau harus protes! Kau harus bawa kasus ini ke pengadilan! Itu fitnah, fasis, otak kotor, roh jahat, mental comberan! Merobek-robek ukhuwah Islamiah! Dan, lihat! Belum ada seorang tokoh atau siapa pun orang Islam yang membelamu! Umat Islam bukanlah ummat wahidah, buktinya tidak terasa ada kohesi antar unsur-unsur di dalamnya! Untuk apa kamu capai-capai tiap hari keliling-keliling ke sana kemari untuk mengurusi umat dataran bawah, kalau melalui puncak makuta-nya kamu ditikam seperti ini!”
Macam-macam komentar mereka, dan sialnya, aku cukup terpengaruh. Kusetujui pembikinan semacam selebaran yang disebarkan semacam ala kadarnya pada momentum Muktamar Muhammadiyah. Sesungguhnya, bagiku itu sekadar permainan biliar: nyodok bola ke sana supaya mantul ke situ.
Selebaran itu mengancam bahwa pentas “keluarga sakinah” akan kubatalkan kalau tidak ada pihak dari umat Islam yang nahi munkar terhadap fitnah itu. Namun, diam-diam kubisiki ibu-ibu Aisiyah dan para pemain bahwa mereka tak usah peduli pada ancaman itu, sehingga mereka meneruskan latihan dengan tenteram.
Aku juga bilang akan bermujadalah, mengirimkan tulisan untuk membuktikan ketidakbenaran tulisan itu dengan fakta maupun argumentasi. Namun, ternyata aku tak punya waktu dan tak terasa perlu membela diri. Kalau umat Islam tak percaya itu, mereka tak akan lagi percaya kepadaku, dan dengan demikian aku tak perlu tiap hari diserbu panitia-panitia, aku bisa sedikit gemuk, makan teratur, tidur cukup. Sedikit urus gizi dan menulis puisi. Sudah lama aku merindukan menjadi orang yang tak usah dianggap penting, menjadi orang yang biasa-biasa saja, orang kecil, yang diterima orang lain sebagai manusia, bukan sebagai seonggok patung yang bernama Emha. Tulisan Ridwan Saidi di Panjimas yang mengatakan bahwa pemuda-pemudi Islam kini meninggalkanku, kusyukuri dari segi itu.
Kemudian, Dr. Amien Rais berjanji akan membuat pernyataan bantahan yang ditandatangani teman-teman Yogyakarta. Dr. Kuntowijoyo juga sudah hendak menulis protes, tapi keburu pihak majalah SMD datang ke rumah kontrakanku pada tengah malam untuk meminta maaf dan menginformasikan bahwa wartawan yang menulis itu sudah dipecat.
Aku kaget. Mengapa memecat-mecat orang segala? Dia toh tetap aset yang berguna untuk umat Islam dan masyarakat luas, asal ia memperbaiki apa yang baru diperbuatnya.
Ia pasti juga bermaksud baik, maunya membela Islam, hanya lagunya monoton dan mripat-nya hanya melihat satu dimensi. Itu pun ketika menulis tentang aku yang dilihatnya bukan aku, melainkan takhayul subjektifnya tentang aku.
Tak usahlah dipecat. Dia punya hak untuk berislah diri. Yang penting perbaiki manajemen SMD, bagaimana kemarin bisa kecolongan seperti itu. Janganlah menambah bukti bahwa kelemahan pers Islam adalah di bidang manajemen dan di bidang sikap profesionalnya juga.
Juga, inti persoalannya bukan terletak pada “nasibku”, melainkan pada bagaimana menjahit kembali “kain sarung Islam” yang disobek-sobek oleh tulisan itu. Aku sendiri memperoleh ilmu besar dari paralel antara kasus SMD itu dengan rempelanya ICMI, Muktamar Muhammadiyah, dan seterusnya, yang pada suatu hari bisa kuinformasikan kepada orang-orang yang sungguh-sungguh memercayaiku.
Adapun tentang aku sendiri tak terlalu penting. Aku sekadar “buruh” uang yang dipekerjakan oleh beranda masjid atau di halamannya. Tak mungkin aku diterima di dekat-dekat mihrab kedalaman masjid: pahamilah itu dengan memproyeksikannya ke dalam struktur keumatan dan kepemimpinan di negeri ini.
Kalau apa yang kulakukan di halaman dan beranda itu tak juga bisa mengatmosferi kedalaman dan mihrab masjid atau bahkan ditolak dan ditepiskan, aku berpikir untuk menempuh sabil atau shirath lain, yakni keluar pagar, ke jalanan umum, sarung kusingkapkan, kuganti celana jins dan kaus oblong… bukankah engkau juga tetap bisa menempuh ilahi roji’un dengan menelusuri belantara yang sunyi?
Maka, Maha-agung Allah yang senantiasa menguatkan Ibu untuk berzikir, mengaji sambil menangis, dan bergumam kepada Allah, “Aku yang ngandung anakku itu, ya Allah, akulah yang merasa sakit kalau ia disakiti…”.
Diterbitkan dalam buku "Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai", 1994
Emha Ainun Nadjib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar