Altruisme adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering digambarkan sebagai aturan emas etika. Beberapa aliran filsafat, seperti Objektivisme berpendapat bahwa altruisme adalah suatu keburukan. Altruisme adalah lawan dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri. Lawan dari altruisme adalah egoisme.
Altruisme dapat dibedakan dengan perasaan loyalitas dan kewajiban. Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sementara kewajiban memusatkan perhatian pada tuntutan moral dari individu tertentu (seperti Tuhan, raja), organisasi khusus (seperti pemerintah), atau konsep abstrak (seperti patriotisme, dsb). Beberapa orang dapat merasakan altruisme sekaligus kewajiban, sementara yang lainnya tidak. Altruisme murni memberi tanpa memperhatikan ganjaran atau keuntungan.
Sedangkan Altruisme dalam agama Islam
Allah Swt. berfirman (yang artinya): Mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) atas diri mereka sendiri walaupun mereka dalam kesusahan. (QS al-Hasyr [59]: 9).
Ayat ini berkaitan dengan sebuah riwayat yang dituturkan oleh Abu Hurairah ra. Disebutkan bahwa pernah ada seorang Muhajirin menemui Rasulullah saw. Ia lalu berkata, "Ya Rasulullah, sungguh, saya sangat lapar sekali!"
Mendengar itu Rasul segera membawa orang itu kepada salah seorang istri beliau agar ia memberinya makan. Namun, istri beliau itu berkata, "Demi Zat Yang mengutusmu dengan haq. Aku tidak memiliki apapun, kecuali air."
Nabi yang mulia lalu membawa orang itu kepada istri beliau yang lain. Istri beliau itu pun menjawab dengan jawaban yang sama. Beliau kemudian membawa orang itu kepada istri-istri beliau yang lainnya lagi. Namun, jawaban mereka juga sama saja; mereka tidak memiliki apapun, kecuali air. Akhirnya, beliau bersabda kepada para Sahabat, "Siapa saja yang sanggup menjamu tamu ini pada malam ini, Allah pasti merahmatinya."
Seseorang dari kalangan Anshar lalu berdiri seraya berkata, "Saya, ya Rasulullah."
Orang Anshar itu pun membawa tamunya ke rumahnya. Ia lalu berkata kepada istrinya, "Kita kedatangan tamu malam ini. Apakah engkau punya makanan?"
Istrinya menjawab, "Tidak, kita tidak punya makanan, kecuali sedikit, untuk anak-anak kita."
Lelaki Anshar itu berkata kepada istrinya, "Kalau begitu, tidurkanlah mereka. Hidangkan makanan itu untuk tamu kita. Jika ia sudah masuk rumah, matikan lampu, sementara aku akan berpura-pura sedang makan."
Dalam kegelapan, tamu itu pun masuk dan dipersilakan untuk memakan hidangan yang tidak seberapa bersama tuan rumah, padahal tuan rumah hanya berpura-pura makan.
Keesokan harinya, Nabi saw. bersabda kepada suami-istri itu, "Sungguh, Allah sangat mengagumi kalian berdua karena perilaku kalian tadi malam dalam menjamu tamu kalian." (Al-Qurthubi, XVIII/24).
Kisah di atas sangatlah populer dan sudahn sering kita dengar. Begitu seringnya diperdengarkan, bagi sebagian orang kisah itu mungkin sudah tidak menarik lagi; tidak lagi mengharukan, menyentuh kalbu, apalagi mempertajam empatinya kepada orang lain yang berada dalam kesulitan.
Padahal kisah di atas setidaknya memberikan dua pelajaran (ibrah) yang senantiasa relevan untuk diingat oleh setiap Muslim dimana pun dan kapan pun. Pertama: Betapa Rasulullah saw. dan keluarganya tidak bisa dikatakan sebagai keluarga yang berada. Dalam banyak riwayat, Rasul bahkan sering 'terpaksa' shaum karena seringnya beliau tidak menemukan sesuatu untuk dimakan. Namun, yang menakjubkan, di tengah kebersahajaannya, Rasul yang mulia tetap memperhatikan kebutuhan orang lain. Kehidupan Rasul kekasih Allah seperti ini sejatinya menjadi cermin bagi kita yang selama ini mungkin merasa kekurangan atau miskin, bahwa kekurangan dan kemiskinan bukanlah alasan untuk berkeluh-kesah, berputus-asa, atau tidak mempedulikan orang lain. Apalagi jika kekurangan dan kemiskinan itu sampai mengakibatkan kita 'futur' di jalan dakwah. Bukankah Rasulullah saw. tidak pernah berhenti berdakwah hanya karena sering hidup dalam kekurangan?
Kedua: Betapa dalam kekurangan dan kemiskinan, Sahabat Anshar yang dikisahkan dalam riwayat di atas memiliki kesanggupan untuk mengutamakan orang lain (altruisme) ketimbang dirinya dan keluarganya. Ia sanggup mengenyangkan tamunya yang lapar meskipun ia sendiri dan keluarganya juga kelaparan. Gambaran Sahabat Anshar yang satu ini selayaknya juga menjadi cermin bagi kita, betapa kekurangan dan kemiskinan tidak boleh menghalangi niat untuk mengutamakan orang lain yang lebih membutuhkan.
Sekarang, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri, sejauh mana rasa simpati, empati, dan altruisme kita kepada saudara kita, bahkan yang sama-sama aktif dalam barisan dakwah, yang kehidupannya ekonominya jauh lebih buruk daripada kita. Pernahkah kita tahu, atau mencari tahu, bahwa di samping kita mungkin ada aktivis dakwah yang sering menahan rasa lapar (berpuasa) karena tidak ada uang untuk membeli makan? Padahal mungkin saat itu di rumah kita kelebihan makanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar