Hari ini, 19 Juni 2013, menandai satu dekade perjalanan saya sebagai
seorang penulis. Sepuluh tahun yang lalu, 19 Juni 2003, waktu itu masih
kelas 2 SMA, saya menerbitkan buku pertama saya berjudul Kucing. Tidak mirip sebuah buku, sebenarnya. Sebab pada waktu itu, nyatanya Kucing terlalu
absurd untuk disebut sebagai buku yang utuh. Ia hanya berisi kumpulan
puisi, cerpen, sketsa, prosa, SMS, dan apa saja yang bisa saya tuliskan
tanpa tahu bentuknya—jenisnya. Belum ada buku semacam itu sebelumnya,
dan belum ada penerbit gila yang berani menerbitkan buku yang lebih
mirip “tong sampah” pikiran dan perasaan.
Untunglah saya bertemu Irfan AmaLee, waktu itu editor Penerbit Mizan.
Kakak kelas saya sewaktu mondok di Ma’had Darul Arqam Muhammadiyah,
Garut. Setelah nekat menerima tantangannya untuk menerbitkan buku dan
diberi waktu satu bulan, saya menyerahkan Kucing yang di-print menghabiskan
uang saku saya untuk setengah bulan. Dengan tangan gemetar, saya
menyerahkan naskah itu sambil berharap mendapat pujian, tentu saja,
meski tidak yakin. Saya tidak berpikir buku itu akan laku atau tidak?
Untuk siapa buku itu dituliskan? Apa segmentasi pembacanya? Bagaimana
strategi pemasarannya? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sama sekali tak
terlintas dalam benak saya waktu itu. Pokoknya saya menulis dan
mudah-mudahan punya kesempatan untuk diterbitkan; Entah bagaimana lagi
setelahnya.
Sepuluh hari sejak kejadian itu, status saya sudah berubah menjadi
penulis. Amatir, tentu saja. Irfan AmaLee membantu menerbitkan Kucing secara indie di bawah penerbit yang saya tahu sebenarnya “pura-pura”, namanya MagnumOpusProject.
Tapi saya tidak mau menjadi penulis yang pura-pura. meskipun buku saya
hanya dicetak 10 eksamplar pada cetakan pertama, saya berusaha untuk
menjadi penulis sungguhan. Paling tidak, waktu itu, saya berusaha
“berakting” menjadi penulis sungguhan. Demi buku pertama itu: Saya
buat posternya, saya buat blognya, saya sablon kaus bergambar cover buku
saya, saya ceritakan pada sebanyak mungkin orang...
Waktu terus berjalan dan tanpa terduga Kucing terus dicetak,
disukai dan mendapatkan banyak pujian. Orang-orang mulai mengenal saya.
Saya mulai punya acara “bedah buku” sendiri dan sesekali membubuhkan
tandatangan pada buku yang saya tulis itu—untuk seseorang yang tidak
saya kenal sebelumnya. Sebagian orang memasukkan saya dalam daftar
penulis yang buku berikutnya akan mereka tunggu atau penulis yang
menginspirasi mereka. Saya bangga luar biasa, tentu saja, tetapi
sekaligus khawatir dan malu. Khawatir karena kalau saya berhenti menulis
artinya saya akan segera dilupakan. Malu karena saya hanyalah penulis
amatir yang sebenarnya ragu tentang apa yang dituliskannya sendiri.
Maka saya bertekad untuk terus belajar. Bagi saya, berkarya adalah
belajar. Pada saat karya saya dipuji atau laku atau menginspirasi
pembaca, itu bonus dari kerja-kerja menyenangkan yang saya lakukan. Pada
saat karya saya dikritik atau dihina atau tidak laku, ya... tak usah
sakit hati. Namanya juga belajar, kan?
Hari demi hari berlalu. Tanggal dan bulan-bulan berguguran dari
kalender. Tanpa terasa, sejak buku pertama itu, kini telah genap 10
tahun saya menulis. Lebih tepatnya, 10 tahun saya belajar menulis. Tanpa
saya perkirakan sebelumnya, sekarang saya sudah memiliki lebih dari 15
buku yang tersebar di berbagai penerbit besar berskala nasional. Selain
buku-buku, saya juga punya ratusan artikel, cerpen, puisi, prosa dan
tentu saja ribuan tulisan gagal lainnya yang tersimpan di komputer atau
catatan pribadi saya. Status sebagai penulis terus saya bawa sejak 10
tahun lalu dan kini telah memberikan saya banyak hal—yang tak pernah
saya rancang sebelumnya: Rumah, kendaraan, karir,
perjalanan-perjalanan, eksperimen-eksperimen, pertemuan-pertemuan,
beasiswa, dan tentu saja... pembaca setia. Tak ternilai harganya!
10 tahun berlalu sudah banyak yang berubah dari gaya menulis saya, tentu
saja. Tema, warna, dan posisi saya di hadapan teks juga telah berubah.
Kadang-kadang saya tertawa membaca tulisan-tulisan lama saya, sambil
bertanya-tanya mengapa saya begitu bodoh waktu menuliskannya? Di waktu
yang lain, saya tercenung bahkan tercengang, mengapa dulu saya lebih
cerdas, lebih lihai daripada sekarang? Tapi waktu, seperti teman, telah
membentuk saya menjadi diri saya yang sekarang—dengan segala kekurangan
dan kelebihannya.
Inilah sepuluh tahun itu, baru saja berlalu. Bukan waktu yang panjang,
tapi juga tidak pendek. Masih banyak yang harus saya kerjakan untuk
terus belajar dan “berakting” menjadi penulis. Kini, saya sedang
mempersiapkan sebuah buku yang paling ingin saya tuliskan sejak 10 tahun
lalu. Sebuah novel, barangkali. Mudah-mudahan bisa segera saya
selesaikan dalam waktu dekat dan terbit tahun ini juga. Sesuatu yang
saya janjikan layak untuk Anda tunggu; Mudah-mudahan tidak mengecewakan.
Akhirnya, saya menikmati semua ini. Benar-benar menikmatinya. Menulis
buat saya bukan untuk menjual buku, bukan juga untuk pergi ke
pesta—seperti kata Chairil Anwar. Bagi saya, menulis adalah panggilan
jiwa. Semacam takdir lain saya sebagai manusia. Sesuatu yang digambarkan
Charles Bukowski sebagai sesuatu yang datang tanpa diminta, keluar dari
hatimu dan dari pikiranmu dan dari mulutmu dan dari muntahmu... ia
melesat dari jiwamu seperti sebuah roket! (...that comes unasked out of your heart and your mind and your mouth and your gut... it comes out of your soul like a rocket!)
Saya mungkin bukan penulis terbaik di Indonesia, tapi saya masih 26 tahun. Itu motto saya dalam menulis. I am not the best writer in Indonesia, but I am still 26 years old. Silakan tafsirkan sendiri maksudnya. :)
so you want to be a writer?
—Charles Bukowski
if it doesn’t come bursting out of you
in spite of everything,
don’t do it.
unless it comes unasked out of your
heart and your mind and your mouth
and your gut,
don’t do it.
if you have to sit for hours
staring at your computer screen
or hunched over your
typewriter
searching for words,
don’t do it.
if you’re doing it for money or
fame,
don’t do it.
if you’re doing it because you want
women in your bed,
don’t do it.
if you have to sit there and
rewrite it again and again,
don’t do it.
if it’s hard work just thinking about doing it,
don’t do it.
if you’re trying to write like somebody
else,
forget about it.
if you have to wait for it to roar out of
you,
then wait patiently.
if it never does roar out of you,
do something else.
if you first have to read it to your wife
or your girlfriend or your boyfriend
or your parents or to anybody at all,
you’re not ready.
don’t be like so many writers,
don’t be like so many thousands of
people who call themselves writers,
don’t be dull and boring and
pretentious, don’t be consumed with self-
love.
the libraries of the world have
yawned themselves to
sleep
over your kind.
don’t add to that.
don’t do it.
unless it comes out of
your soul like a rocket,
unless being still would
drive you to madness or
suicide or murder,
don’t do it.
unless the sun inside you is
burning your gut,
don’t do it.
when it is truly time,
and if you have been chosen,
it will do it by
itself and it will keep on doing it
until you die or it dies in you.
there is no other way.
and there never was
Terima kasih untuk semuanya. Benar-benar semuanya.
FAHD DJIBRAN.
Sumber :fahdisme.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar