Siang dan malam silih
berganti, Cinta memberi tanpa diminta. Pagi dan petang pergi dan datang,
Rindu menjaga tiada jeda dan lena." Lirik lagu Samudera Debu dari album
solo religi Kidung Sufi ini saya nyanyikan berkolaborasi dengan Sujiwo
Tejo, Heru Wahyono Shaggydog, dan Marzuki Mohamad Jogjakarta Hip-Hop
Foundation. Cinta pada sesama dan rindu pada kebersamaan menjadi spirit
utama dalam lagu ini, yang saya tulis untuk menebarkan pesan kebaikan.
Allah
mengabadikan firmanNya tentang pergantian siang dan malam dalam
sejumlah ayat di Al Qur'an. Dalam Q.S. Asy Syams, Dia bahkan
bersumpah,"Demi matahari dan cahayanya di pagihari, dan bulan apabila
mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila
menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta
penghamparannya." Sungguh tiada ternilai sumpah Tuhan itu bagi hati
manusia yang di dalamnya hidup cinta.
Jika diri
manusia adalah jagat, maka hati adalah mataharinya dan akal serupa
planet yang mengelilingi matahari itu. Jika cinta hidup di dalam hati,
maka rindu hidup di dalam akal. Rindu inilah yang melahirkan
gagasan-gagasan tentang perjumpaan, sekaligus ide, konsep, teori, dan
rencana untuk selalu bersama. Sedangkan Cinta melahirkan kehendak,
hasrat, gairah, dan imaji tentang kehadiran, yang di dalamnya terkandung
niat, semangat, maksud, dan tujuan untuk selalu ada.
Matahari
dan planet sesungguhnya menyatu, disatukan oleh lingkar orbit, namun
hakikatnya pula satu dan lainnya memisah, pun dipisahkan oleh lingkar
orbit itu. Terlalu dekat dengan Yang dicinta, sang rindu justru terbakar
dan musnah. Cinta ini dekat namun tak bersentuhan, pun jauh tapi tak
berjarak, dengan rindu, seperti halnya matahari yang tetap berada di
atas sana namun cahaya, sinar, terang, dan panasnya sampai permukaan
bumi. Bahkan, menembus hingga ke dasarnya dan terciptalah magma. Cinta
sesungguhnya tertanam di dasar rindu yang paling dalam, sebagaimana
magma yang hakikatnya adalah panas matahari itu sendiri.
Belajar
dari hubungan antara matahari dan bumi, menjadi mudah dicerna mengapa
Allah berfirman bahwa Dia sesungguhnya meliputi segala sesuatu. Menjadi
sederhana untuk dimengerti bahwa Allah lebih dekat dari urat leher.
Menjadi tidak rumit dipikirkan mengapa orang beriman bergetar hatinya
jika disebut nama Allah. Menjadi mudah dipahami pula betapa sesungguhnya
cinta pun hidup di setiap akal manusia. Rindu yang berubah menjadi
dendam, kemudian memunculkan kebencian dan permusuhan, pun sebenarnya
bermula dari rasa cinta itu sendiri.
Bergantung
bagaimana akal mengolah energi cinta itu menjadi kebaikan atau
keburukan. Nah, bila akal berada di dalam raga, maka hati berada di
dalam jiwa. Bila magma sesungguhnya panas matahari yang terserap bumi,
maka pada hakikatnya terkandung jiwa di dalam akal. Terdapat kebaikan di
dalam keburukan, pun terdapat keburukan di dalam kebaikan, segalanya
bergantung pada faktor manusia sebagai pengolahnya. Seburuk-buruk
bakteri, virus, racun, dan kotoran, memiliki manfaat. Sebaik-baik obat,
makanan, minuman, dan madu, tetap memiliki mudharat.
Maha
Suci Allah yang memfirmankan, masih dalam Q.S. Asy Syam, bahwa Dia
mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaan. Keburukan dan
kebaikan. Di dalam setiap hal, ada dua sisi yang menyatu namun terpisah,
melekat namun saling memunggungi. Cinta memberi, entah itu kebaikan
atau pun keburukan. Dan rindu menjaga, baik itu kebaikan maupun
keburukan, yang berasal dari cinta itu. Allah menciptakan manusia paling
mulia di antara makhluk lainnya dengan anugerah akal, dan Dia memuji
ulil albab atau akal yang digunakan untuk berpikir dan mengolah segala
hal yang pada mulanya berasal dari cinta. []
Candra Malik, Pengasuh Kelas Sufi dan Penulis Buku Makrifat Cinta
Salam,
Candra Malik
Sumber.www.candramalik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar