Sabtu, 22 Desember 2018

Mantapkan Hati Menginjakku





Sebelum Allah meninggalkanku, harus ikhlas dan tega hatiku untuk bersegera meninggalkan segala sesuatu pada kehidupan manusia yang membuat Allah meninggalkanku. Sejauh ini semua “pakaian sosial” sudah kutanggalkan dan kutinggalkan. Dan kini ada sesuatu yang lain dan lebih substansial dari itu yang harus kutinggalkan.
Selalu aku ditimpa rasa ngeri setiap Khathib Jumatan mengucapkan “Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah tak ada yang bisa menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah tak ada yang bisa memberinya petunjuk”.
Memang sama sekali tidaklah mudah untuk peka dan cerdas mengetahui apakah aku sedang memperoleh petunjuk-Nya. Dan selama mengalami kesulitan untuk tahu apakah mendapatkan petunjuk-Nya, rasa lain yang muncul dan menyiksa adalah: jangan-jangan Allah sedang menyesatkanku karena perbuatanku sendiri.
Bahkan bisikan-bisikan dari wilayah yang lebih luas mengusikku: Dalam hal apa mereka, yang aku hidup di tengah-tengahnya – yakni ummat, masyarakat, warganegara, penduduk bumi – sedang dihidayahi ataukah sedang disesatkan? Bagaimana memastikan dipilihnya seorang pemimpin Negara dengan jajaran pemerintahannya, itu merupakan petunjuk dari Allah, ataukah Allah sedang menyesatkan? Allah bukan sedang menguji, tapi menghukum. Allah bukan sedang sekadar murka, tetapi meng-adzab?
Ada empat opsi tindakan Tuhan kepada manusia, berdasarkan fakta perilaku manusia itu sendiri. Pertama, hidayah: memberi petunjuk. Kedua, istidrajmbombong, nglulu. Ketiga, idhlal: menyesatkan. Dan keempat, tark: meninggalkan.
Hal hidayah dan penyesatan. ”Engkau tidak bisa memberi petunjuk kepada siapapun saja meskipun engkau mencintainya, Allah yang memberi petunjuk kepada siapapun yang dikehendaki-Nya”.
Hal istidraj. Rasulullah Muhammad saw bersabda: “Apabila engkau melihat Allah memberikan kepada seorang hamba berupa nikmat dunia yang disukainya padahal dia suka bermaksiat, maka itu hanyalah istidraj belaka. Lalu Rasulullah membaca ayat Al-Qur`an: “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”.
Hal tark. Memang mustahil Tuhan meninggalkan ciptaan-Nya. Tidak mungkin Tuhan meninggalkan kita. Dalam arti tidak ada sedetik waktu, sepetak ruang, setiupan angin, sesapuan peristiwa, serta apapun di dalam diri dan di luar manusia — yang terlepas dari kehadiran dan keterlibatan Allah. Tetapi kuperhatikan pernyataan Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu AlQur`an dan menjualnya dengan harga yang murah, mereka itu sebenarnya tidak menelan ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih”.
Allah tidak akan berbicara kepada mereka. Allah tidak akan berbicara kepadaku. Allah gak wawuh, njuthak, nyiwak kepada aku. Alangkah mengerikannya. Itu lebih mendalam dan njarem daripada ditinggalkan.
Aku didera oleh ribuan pertanyaan dari dan kepada diriku sendiri, dan kujawab sendiri, karena tak ada manusia lain bersamaku. Andaikan pertanyaan itu berasal dari manusia, maka aku tidak akan punya beban atasnya. Sebab aku tidak sedang mengerjakan ujian yang disodorkan oleh manusia, yang menyebabkan aku harus bertanggung jawab kepada mereka. Pun aku tidak terikat oleh pujian maupun cercaan manusia. Tidak bergantung pada apakah manusia mempercayaiku atau tidak.
Aku tidak punya tanggung jawab apa-apa kepada manusia, karena dua hal. Pertama, aku tidak pernah mengancam nyawa mereka, tidak pernah melecehkan martabat atau derajat mereka, dan aku tidak pernah mencuri harta mereka, bahkan tak pernah bersaing atau berebut dunia dengan mereka. Aku tidak pernah berjuang menempuh karier, membangun nama baik, mendaki jabatan, menghimpun kekayaan, membina karier, memimpikan kemasyhuran atau mengejar status.
Bahkan aku tak pernah menulis status di berjenis-jenis media atau apapun yang aku tidak pernah punya akunnya. Aku hanya menjalani keyakinanku di lingkup yang sangat kubatasi, namun banyak yang mencurinya, memotong-motongnya, memanipulasinya, menggeser substansinya, memecah keutuhannya.
Kedua, manusia bukan yang menciptakanku, bukan yang secara hakiki menghamparkan rejeki dan kesejahteraan bagi hidupku. Kedua hal itu membawaku pada posisi tidak mempertanggungjawabkan apa-apa kepada mereka. Yang kulakukan sepanjang hidupku adalah menyayangi mereka dan bersedekah semampuku untuk keperluan mereka.
Manusia adalah saudara-saudaraku di bumi. Dan bumi adalah tempat transitku di tengah perjalanan. Bumi bukan kampung halaman permanenku. Aku bukan penduduk tetap di bumi. Bumi bukan terminal terakhir. Tidak ada perlunya ngos-ngosan berebut sesuatu di area transit. Aku hanya menabung atau nyicil sejumlah hal yang kompatibel dengan “kholidina fiha” serta yang sefrekuensi dengan “abada” rangsum dari Maha Pencipta.
Pasti aku butuh biaya untuk beli makanan dan minuman serta membelikan tiket anak-anakku agar bisa menaiki kereta kehidupan. Tetapi aku tidak hidup demi makanan, minuman dan tiket kereta. Bahkan dari sepuluh bungkus makanan dan sepuluh gelas minuman, tujuh di antaranya kuperoleh bisa dari atas, dari pendaman tanah, atau dari anugerah yang Tuhan menghijabinya. Sedangkan yang tiga, berasal dari perniagaan sementara dengan kiri kanan. Tiket kereta juga tidak harus beli di loket, karena tidak mustahil bisa duduk di kursi kereta tanpa tiket, dan kondektur lewat saja tanpa menoleh atau memeriksa.
Kehidupan ini berisi Satu kepastian dan Sembilan kemungkinan. Engkau bisa duduk tanpa kursi. Engkau bisa terbang tanpa sayap. Bisa sehat dengan justru sedikit makan. Bisa sembuh tanpa obat. Bisa menikmati keindahan tanpa nyanyian. Bisa kurang tidur tanpa ngantuk. Bisa menjalani seribu dengan sepuluh. Bisa mengucapkan sesuatu tanpa engkau sendiri yang mengucapkannya. Bisa bermain gitar tanpa engkau sendiri yang memetiknya. Bisa tujuh, delapan atau sembilan, sambil tetap menghormati satu.
Aku tidak perlu curiga kepada diriku sendiri, karena tak pernah ada pertengkaran tentang keyakinan dan kelakuan antara diriku dengan aku. Tanya jawab yang berlangsung di dalam diriku bukanlah tentang diriku dan keyakinanku, melainkan tentang gambar besar lukisan Allah yang kuteliti titik-titik koordinatnya. Aku tidak perlu meneliti kebenaran, mengidentifikasi kebaikan atau meraba-raba keindahan.
Sebab sejak aku janin hingga bayi sampai tua renta sekarang ini, aku tak pernah berjuang untuk memilih sesuatu. Hidupku hanya satu pilihan di rentang antara Al-Awwal wal Akhir. Pengetahuanku, ilmuku, pemahaman dan sikapku, tidak pernah berkembang atau berubah. Semua yang kajalani sampai hari ini adalah klausul-klausul kontrak yang sudah kepelajari dan kemengerti sejak sebelum aku lahir di permukaan bumi.
Ketika ada yang mengadu-domba antara kebenaranku dengan kebenaran orang lain, kutarik dan kusembunyikan kebenaranku, agar yang beradu denganku merasakan seolah-olah menang atasku. Aku bekicot yang jika disentuh, akan menarik sungutnya bersembunyi dan menyatu dengan daging kepalanya, sehingga orang melihat bekicot itu tak bersungut. Ketika ada yang berlomba lari denganku, aku hentikan langkahku. Ketika ada yang menyaingiku dengan memoles warna warni gemerlap di rumahnya, seluruh rumahku aku cat dengan warna hitam, sampai jendela, pintu, tembok hingga lantai.
Ketika aku berdiri di podium di hadapan massa, tiba-tiba ada yang mengungkapkan bahwa aku berdiri di situ karena mencari dunia, maka detik itu juga aku menghentikan bicaraku, aku turun, keluar ruangan dan mencari taksi atau ojek untuk pulang menemui anak istriku. Ketika aku nyetir mobil dan ada yang menggerundal bahwa mobil yang kunaiki ini pemberian pejabat ini atau itu, aku turun, kuajak orang itu ke tepi jalan, aku beli bensin, dan minta ia menyaksikan kubakar mobil itu. Kalau entah karena apa ada orang mengkultuskanku, maka di hadapannya aku mencopot celanaku. Kalau ada yang mengkiyaikanku, maka kulontarkan bermacam-macam pisuhan atau makian yang membuatnya batal menganggapku kiyai. Kalau ada yang berani-berani bikin kumpulan untuk memania-maniakanku, kuancam “tak tonyo raimu!”.
Kalau aku berada di antara ribuan atau puluhan ribu orang yang berhimpun untuk bertemu denganku, dan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa aku punya agenda politik, membangun puncitraan dan menghimpun massa — maka kulempar peciku, kucopot bajuku, turun dari panggung dan pamit pulang. Barangsiapa menginginkan dunia, maka telanlah dunia ini, krakotilah seluruh pepohonan di hutan, reguklah air tujuh samudera, ambil semuanya tanpa sisa. Tak kan kumohon kepadamu sehelai daun, sebiji ciplukan atau sejumput tanah untuk engkau sisakan bagiku.
Aku sangat menikmati gagasan dan tindakan untuk menguji diriku. Tidak ada urusannya dengan lulus atau tidak lulus di tengah manusia. Aku tidak mau dimain-mainkan oleh dunia, maka kegiatan yang paling efektif dan nikmat adalah memain-mainkan dunia di dalam diriku. Aku sangat menyayangi dan habis-habisan melayani keperluan siapa saja di luar diriku. Tetapi aku bermain petak umpet di dalam diriku sendiri.
Ada zaman di mana aku disuruh menjadi ban serep sebuah truk besar dan terkenal secara nasional. Karena aku ban maka sering dipompa, sehingga ban aslinya cemburu kepadaku. Segeralah ban serep ini diganti. Kalau tidak mungkin ia akan melepaskan diri.
Di zaman lain aku diperintahkan menjadi tukang kipas di warung sate. Arang dan api kukipas-kipas supaya satenya matang. Para pembeli menyebut profesiku adalah tukang kipas-kipas. Aku mendorong agar penjual sate itu membeli kompresor. Dan aku sebagai kipas siap dibuang ke tepi jalan.
Zaman yang berbeda lagi mentakdirkanku menjadi pemandu para petani untuk tanaman organik. Tapi aku tak disukai oleh para pemuka desa karena mereka dagang pupuk anorganik. Aku harus melengkapkan pengetahuan dan kemampuan mereka bertani organik, kemudian harus segera pergi agar tidak mengganggu harmoni antara para petani itu dengan pemimpin-pemimpinnya.
Aku berbisik kepada seseorang yang berpuluh tahun menjadi sahabatku: “Mantaplah menginjakku, karena aku sendalmu. Kudorong Bapakmu agar segera  membelikanmu sepatu. Aku akan membuang diriku di sungai itu, agar menjadi bagian sampah yang mengalir bersama airnya”.

Emha Ainun Nadjib

Rabu, 13 Juni 2018

Betapa Utamanya Manusia

Untuk menjawab segala sesuatu yang bisa dijangkau oleh akal pikiran, manusia menggunakan ilmu. Untuk menyikapi apapun saja yang tidak bisa disentuh oleh akal pikiran, salah satu alat manusia adalah mantra. Berabad-abad pengalaman peradaban dan eksperimentasi kebudayaan, diperlukan oleh ummat manusia untuk pada akhirnya secara otentik dan genuine menemukan, merumuskan dan menjalani mantra.
Tentu saja tidak ada yang benar-benar otentik pada manusia, bagi siapa saja yang menyadari ada dan berlangsungnya struktur besar dan sistem agung yang bernama sangkan paraning dumadi. Oleh karena itu para pejalan mantra selalu membuka diri pada cakrawala informasi baru yang berasal dari “antah berantah”.
Para pelaku mantra dari kurun ke kurun zaman tidak menutup diri dari langit semesta informasi baru yang toh mereka tahu itu adalah jagat tan kinaya ngapa tan kena kinira yang merupakan asal usul dan titik tuju kehidupan mereka sendiri. Maka sejarah mantra berinteraksi dengan fenomena dzikir, wirid, khalwat, ‘uzlah, bahkan supra-manajemen zamzam, suwuk, ngalap berkah dan bermacam lagi, sampai pada spektrum multi-natural yang berpangkal pada qadla dan qadar. Hidup ini hana-cara.
Agak berbeda dengan para penyandang ilmu, yang karena berputus asa dari kemungkinan akal pikiran menjawab, akhirnya mengambil ketetapan bahwa apa saja yang tidak tidak kompatibel dengan kerja akal pikiran: dianggap salah, disimpulkan sebagai bukan kebenaran, bahkan kemudian akhirnya dianggap tidak ada.
Para pemanggul ilmu kemudian menjadi pelaku peradaban penyembah berhala, yang berupa ilmu katon, materialisme, kasat mata, rupadatu, mata kuda akademik, atau yang dibanggakan dengan istilah prinsip ilmu. Suatu strata kesadaran manusia yang terendah, jika dipandang dari perspektif supra-informasi di mana mantra berdialektika dengan energi rohaniah. Dari view lain kerendahan itu disebut jahiliyah, asfala safilin atau adlollud-dlolalah.
Manusia tidak bisa mengalahkan nasibnya sendiri, dan yang para pengabdi ilmu lakukan adalah membunuh nasib itu dengan ilmu, sehingga nasib menertawakannya selama keabadian. Manusia tidak bisa memastikan apa kabar dunia dan kehidupan lima manit mendatang, dan yang para pemikul ilmu lakukan adalah melakukan penekanan, pemaksaan, penyempitan dan temporalisasi atas apa yang mereka maksudkan dengan masa depan. Dengan pengorbanan mereka merelakan kemanusiaannya menjadi cacat, pincang, tidak berkelengkapan, sumbang, tidak seimbang dan tanpa keutuhan.
Itulah gambaran peradaban manusia abad 21. Tetapi tidak masalah, karena mereka bukan hanya tidak merasa dan tidak punya cara pandang untuk mengerti bahwa mereka cacat pikiran, sakit jiwa, lemah mental dan bingung rohani. Lebih dari itu bahkan mereka sangat bangga dengan keadaannya, dan yakin bahwa mereka jauh lebih hebat dibanding ummat manusia di zaman apapun, terutama di masa silam nenek moyang mereka.
Maka pementasan Mantra #2019 ini merupakan pernyataan bahwa mereka menolak cacat, menolak ketidak-lengkapan, ketidak-seimbangan dan ketidak-utuhan.
Semua pelaku pementasan ini, dari penulis teksnya, sutradara, para pelakon dan semua yang bekerja di dalamnya, adalah juga manusia-manusia yang berilmu. Tetapi mereka tidak kehilangan mantra. Tidak menutup diri dari tidak terbatasnya cara mendekati kehidupan. Tidak pernah statisnya pola-pola, metode, lelaku, thariqat, kaifiyat dan apapun nama dan kategorinya, di dalam menyikapi kehidupan.
Sejak zaman menjadi modern, manusia tidak menjadi perhatian utama. Dunia pendidikan hanya mencetak dokter, insinyur, pengusaha dan macam-macam lagi, yang belum tentu manusia, minimal belum tentu berkembang kedewasaan dan kematangannya sebagai manusia.
Media, politik, Negara, aturan-aturan hukum, segala muatan sistem pembangunan, bergerak sangat dahsyat untuk meremehkan dan menghina betapa utamanya manusia dan kemanusiaan. Peradaban manusia tidak berani meninggalkan Tuhan, tetapi putus asa memahaminya. Sehingga akhirnya mereka menuhankan apa yang yang dinafsuinya: uang, harta benda, jabatan, kemegahan, kemewahan, dan apapun saja formulanya, yang kesemuanya terbatas dalam lingkup pancaindera.
Sariraku randu kepuh /Pangadegku lemah maesan /Rambutku sang amangku ranjang /Unyeng-unyengku sang lemah lesus /Bathukku nila cendhani /Netraku wulan ndadari /Kupingku sang palempengan /Irungku sang lenging angina /Lesanku guwaning mani /Lambeku sela metangkep /Untuku sang rajeg wesi
Betapa utamanya manusia di dalam jiwa para pelaku mantra. Betapa remeh, rendah dan terhinanya manusia di sudut mata ilmu, Negara, politik dan pembangunan.

oleh : Emha Ainun Nadjib

Rabu, 30 Mei 2018

Puasa Kemakhlukan Manusia

Setiap manusia memiliki kecenderungan untuk bermental jumud, konservatif dan mandek. Bahkan para pejalan Ilmu kebanyakan juga mandek di batas kebenarannya masing-masing. Seakan-akan kebenaran bisa rasional untuk berasal-usul dari diri manusia, sedangkan manusia itu sendiri berasal-usul tidak dari dirinya sendiri. Juga seolah-olah perjalanan manusia bisa tiba di ujung kebenaran, bisa mencapai sempurnanya kebenaran. Seandainya Tuhan tidak pernah menyatakan bahwa “kebenaran berasal-usul dari-Ku”. Andaikan manusia tidak pernah sampai pada penghayatan hakiki bahwa tidak mungkin “kebenaran sejati” bersemayam pada diri manusia–sangatlah tidak memenuhi hukum akal sehat bahwa manusia merasa di dalam dirinya termuat hulu dan hilirnya kebenaran. Manusia tidak kunjung mengerti puasa kemakhlukannya

Telaga Cahaya

Setiap kali Markesot selesai melantunkan satu ayat, muncul sejumlah anak panah dari seluruh arah, menancap ke badannya. Markesot ambruk. Tak bisa mempertahankan diri. Terkadang telentang, saat lain tengkurap, terjungkal, terjerembab, meringkuk.
Tapi selalu juga ia menggeliat dan berusaha bangun kembali. Ia membaca lagi, ditaburi panah-panah lagi, terjatuh lagi, bangun lagi, membaca lagi, terjengkang lagi, bangkit lagi, membaca lagi…
أَعُوْذُبِالّٰلهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الّرَجِيْمِ الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِالنَّاسِ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ
أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلِكُم ۖ مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
لاالٰهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر
وَإِن يُرِيدُوا أَن يَخْدَعُوكَ فَإِنَّ حَسْبَكَ اللَّهُ ۚ هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ ۚ لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَّا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
لاالٰهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر
لَا يُقَاتِلُونَكُمْ جَمِيعًا إِلَّا فِي قُرًى مُّحَصَّنَةٍ أَوْ مِن وَرَاءِ جُدُرٍ ۚ بَأْسُهُم بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ ۚ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّىٰ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْقِلُونَ
لاالٰهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
لاالٰهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر
زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَيَسْخَرُونَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا ۘ وَالَّذِينَ اتَّقَوْا فَوْقَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَن يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
لاالٰهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ. خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ.
لاالٰهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ. يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ. فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
لاالٰهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ. اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ. أُولَٰئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَىٰ فَمَا رَبِحَت تِّجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ
لاالٰهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر
صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ
لاالٰهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر
وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ لَا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ
لاالٰهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
لاالٰهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ  الَّذِي أَنقَضَ ظَهْرَكَ وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ  وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَب
Markesot mengucapkan “Shadaqallahul’adhim” dalam posisi bersujud, lemah dan tak berdaya. Dengan ribuan anak panah yang menancap, menutupi dan menenggelamkan seluruh keberadaannya. Kemudian bersama dua orang di kanan kirinya, pelan-pelan semakin sirna lagi karena dilingkupi oleh semacam gulungan-gulungan asap putih. Maha Suci Allah, ternyata itu bukan telaga kaca, bukan pula air, melainkan cahaya.
Mereka bertujuh terloncat mendekat ke arah telaga. Tak sengaja tampak di bawah permukaan air telaga itu seperti gambar kedalaman Bumi, dengan lempengan-lempengan yang bergerak, berdesakan, saling menekan, saling mematahkan dan, saling meremuk.
Pakde Tarmihim berdesis: “Ya Allah ampunilah hamba, sudah setua ini, menyentuh satu huruf dari Iqra`pun belum…”.
Kemudian kepada anak-anak muda itu ia berkata: “Anak-anakku, sudah cukup lama kita selalu belajar bersama. Tampaknya dari Sinau Bareng itu terdapat hal-hal yang masing-masing kita perlu mempelajarinya sendiri-sendiri”.
Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian pada diri mereka. Barangsiapa yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya” [1] (Ali-‘Imran: 19).
“Ayo kita mulai kembali mengislami hidup kita”, sambung Pakde Tarmihim.
Ketika akhirnya mereka kembali dan tiba di rumah Sundusin, terdengar suara orang mengorok sangat keras. Ternyata Markesot sedang tidur sangat pulas.
Jombang, 3 Maret 2018

Minggu, 18 Februari 2018

Yang Termahal dalam Kehidupan

Kalau mau tahu persis apa makna syair “Sluku-sluku Bathok”, jalannya hanya satu: mewawancarai langsung Kanjeng Sunan Kalijogo. Itu pun benar tidaknya Kanjeng Kalijogo yang menciptakannya, hanyalah kesepakatan banyak penafsir. Sebagaimana “Ilir-ilir”, bisa saja karya Sunan Bonang atau malah Sunan Ampel sendiri. Atau bisa jadi bukan siapapun di antara para Auliya Sembilan.
Kita harus melakukan time tunneling, menerobos waktu hingga ke masa silam. Mungkin saja ada yang bisa melakukannya dengan metode batin tertentu, tetapi tetap saja tidak ada metodologi untuk memverifikasinya. Maka perlakuan yang terbaik bukanlah mencari kebenaran historis dari tuntutan-tuntunan itu. Sama sekali tidak ada manfaatnya untuk memperdebatkan kebenaran sejarahnya. Yang pasti kita perlukan adalah menggali maknanya, menemukan hikmahnya, memetik maknanya untuk kehidupan nyata kita sekarang ini dan anak cucu masa depan.
Semua versi penafsiran kita hormati. Kita apresiasi. Kita syukuri. Kita ambil kegunaan nilainya. Tak ada sedikit pun manfaat melacak, dengan metodologi ilmu sejarah apapun, berapa usia Gadjah Mada, berapa panjang rambut Prabu Brawijaya V, warna kulit Nabi Hud, terompah Nabi Idris terbuat dari kayu apa, atau Nabi Nuh yang dikabarkan berumur lebih dari 3000 tahun: tatkala beliau berusia 100 tahun masih kanak-kanak ataukah sudah mulai remaja.
“Jadi, Mbah”, kata Pèncèng, “saya tidak menolak pemaknaan ‘yen urip goleko duwit artinya mumpung masih hidup banyak-banyaklah mencari uang. Hidup adalah kesempatan satu-satunya untuk berjuang mencari nafkah bagi keluarga, kemudian untuk bersedekah memperbanyak kebaikan. Sebab ‘wong mati ora obah, yen obah medeni bocah. Dan saya tidak akan mendramatisasikan bahwa ‘yen urip goleko duwit’ adalah anjuran dan legitimasi untuk kapitalisme. Apalagi pakai liberal segala”
Simbah, Gendhon dan Beruk dengan sabar mendengarkan.
“Akan tetapi memang saya lebih cenderung untuk memahami bukan itu maknanya”, kata Pèncèng lagi.
“Interpretasimu bagaimana?”, tanya Simbah.
“Duwit itu dari kata dlou’ih”, Pèncèng menjelaskan, “dlou’ artinya cahaya. Dlou’ihi artinya cahaya-Nya, cahaya Allah, yang lingkupnya termasuk rezeki materiil juga. Goleko mungkin dari kata gholli atau gholli-u. Yang termahal. Sesuatu yang paling berharga dalam kehidupan adalah cahaya Tuhan: goleko duwit
“Jadi kamu belajar Bahasa Arab juga to Cèng?”, Gendhon penasaran.
“Ah ya nggak juga. Cuma nyari-nyari, terus konfirmasi ke beberapa orang yang mengenal Bahasa Arab”, jawab Pèncèng, “kan ada lirik yang terkenal tentang Baginda Nabi Muhammad, yang nama beliau memegang rekor terbanyak disebut dalam syair-syair lagu, juga terbanyak dipakai sebagai nama manusia: ‘Anta syamsun Anta badrun, Anta nurun fauqo nuri. Anta iksirun wa ghalli, Anta misbahus-shuduri. Engkaulah matahari, engkaulah rembulan. Engkaulah cahaya di atas cahaya, engkau emas permata yang tiada terkira mahal harganya, engkaulah pelita hati semua manusia…”
Gendhon melirik Beruk. “Anak ini kelihatannya nggentho, tapi belajarnya serius juga”, bisiknya.
Simbah sendiri membatin: dalam uraiannya yang Simbah melarang untuk diumumkan, si Gendhon kemarin panjang lebar menganalisis Indonesia dengan memperbandingkan “Freedom of Speech”, “At-Tsaqafah Al-Madaniyah”, UUD-45 dan Pancasila. Pandangan Gendhon terlalu tajam dan menusuk. Terlalu terang-terangan, seperti menembakkan sinar rontgen ke dalam dada NKRI. Sementara para warga Negara ini sama sekali belum siap untuk apa adanya melihat kebenaran dan kesalahannya sendiri. Belum fair secara pengetahuan, belum objektif secara ilmu, belum sumeleh secara mental, dan belum satria-perwira secara kebudayaan dan spiritualitas.
“Pèncèng ini malah secara cukup radikal bisa mengubah mental berpikirnya menjadi lebih bersahaja”, Simbah berkata dalam hati, “ia bisa melakukan switch ke fokus nilai yang lebih murni, universal, sederhana tapi jernih. Ternyata larangan dan tindakan saya menyembunyikan hasil pemikiran mereka yang kemarin, membuahkan kemungkinan baru yang tidak kalah indahnya”
Simbah ingin mendengar apa yang nanti diajukan oleh Gendhon dan Beruk. Apa bisa se-menep Pèncèng. Sebab Beruk di uraiannya yang kemarin juga gawat. Ia melakukan muhasabah ‘aqliyah, semacam knocking down logika ‘NKRI Harga Mati’, menyebut-nyebut ‘Nasakom’, bahkan menyebut pemeran-pemeran aneh seperti Zallinbur, Kanzab, Tsabur, Ruhaa, Haffaf, Lagus, Walhan, Abyad, Biter, Jalbanur… mana mungkin dipahami oleh generasi Kids Zaman Now. Hapalnya kan oman-amin dan aman-imin melulu.
Oleh : Emha Ainun Nadjib