Untuk menjawab segala sesuatu yang bisa dijangkau oleh akal pikiran, manusia menggunakan ilmu. Untuk menyikapi apapun saja yang tidak bisa disentuh oleh akal pikiran, salah satu alat manusia adalah mantra. Berabad-abad pengalaman peradaban dan eksperimentasi kebudayaan, diperlukan oleh ummat manusia untuk pada akhirnya secara otentik dan genuine menemukan, merumuskan dan menjalani mantra.
Tentu saja tidak ada yang benar-benar otentik pada manusia, bagi siapa saja yang menyadari ada dan berlangsungnya struktur besar dan sistem agung yang bernama sangkan paraning dumadi. Oleh karena itu para pejalan mantra selalu membuka diri pada cakrawala informasi baru yang berasal dari “antah berantah”.
Para pelaku mantra dari kurun ke kurun zaman tidak menutup diri dari langit semesta informasi baru yang toh mereka tahu itu adalah jagat tan kinaya ngapa tan kena kinira yang merupakan asal usul dan titik tuju kehidupan mereka sendiri. Maka sejarah mantra berinteraksi dengan fenomena dzikir, wirid, khalwat, ‘uzlah, bahkan supra-manajemen zamzam, suwuk, ngalap berkah dan bermacam lagi, sampai pada spektrum multi-natural yang berpangkal pada qadla dan qadar. Hidup ini hana-cara.
Agak berbeda dengan para penyandang ilmu, yang karena berputus asa dari kemungkinan akal pikiran menjawab, akhirnya mengambil ketetapan bahwa apa saja yang tidak tidak kompatibel dengan kerja akal pikiran: dianggap salah, disimpulkan sebagai bukan kebenaran, bahkan kemudian akhirnya dianggap tidak ada.
Para pemanggul ilmu kemudian menjadi pelaku peradaban penyembah berhala, yang berupa ilmu katon, materialisme, kasat mata, rupadatu, mata kuda akademik, atau yang dibanggakan dengan istilah prinsip ilmu. Suatu strata kesadaran manusia yang terendah, jika dipandang dari perspektif supra-informasi di mana mantra berdialektika dengan energi rohaniah. Dari view lain kerendahan itu disebut jahiliyah, asfala safilin atau adlollud-dlolalah.
Manusia tidak bisa mengalahkan nasibnya sendiri, dan yang para pengabdi ilmu lakukan adalah membunuh nasib itu dengan ilmu, sehingga nasib menertawakannya selama keabadian. Manusia tidak bisa memastikan apa kabar dunia dan kehidupan lima manit mendatang, dan yang para pemikul ilmu lakukan adalah melakukan penekanan, pemaksaan, penyempitan dan temporalisasi atas apa yang mereka maksudkan dengan masa depan. Dengan pengorbanan mereka merelakan kemanusiaannya menjadi cacat, pincang, tidak berkelengkapan, sumbang, tidak seimbang dan tanpa keutuhan.
Itulah gambaran peradaban manusia abad 21. Tetapi tidak masalah, karena mereka bukan hanya tidak merasa dan tidak punya cara pandang untuk mengerti bahwa mereka cacat pikiran, sakit jiwa, lemah mental dan bingung rohani. Lebih dari itu bahkan mereka sangat bangga dengan keadaannya, dan yakin bahwa mereka jauh lebih hebat dibanding ummat manusia di zaman apapun, terutama di masa silam nenek moyang mereka.
Maka pementasan Mantra #2019 ini merupakan pernyataan bahwa mereka menolak cacat, menolak ketidak-lengkapan, ketidak-seimbangan dan ketidak-utuhan.
Semua pelaku pementasan ini, dari penulis teksnya, sutradara, para pelakon dan semua yang bekerja di dalamnya, adalah juga manusia-manusia yang berilmu. Tetapi mereka tidak kehilangan mantra. Tidak menutup diri dari tidak terbatasnya cara mendekati kehidupan. Tidak pernah statisnya pola-pola, metode, lelaku, thariqat, kaifiyat dan apapun nama dan kategorinya, di dalam menyikapi kehidupan.
Sejak zaman menjadi modern, manusia tidak menjadi perhatian utama. Dunia pendidikan hanya mencetak dokter, insinyur, pengusaha dan macam-macam lagi, yang belum tentu manusia, minimal belum tentu berkembang kedewasaan dan kematangannya sebagai manusia.
Media, politik, Negara, aturan-aturan hukum, segala muatan sistem pembangunan, bergerak sangat dahsyat untuk meremehkan dan menghina betapa utamanya manusia dan kemanusiaan. Peradaban manusia tidak berani meninggalkan Tuhan, tetapi putus asa memahaminya. Sehingga akhirnya mereka menuhankan apa yang yang dinafsuinya: uang, harta benda, jabatan, kemegahan, kemewahan, dan apapun saja formulanya, yang kesemuanya terbatas dalam lingkup pancaindera.
Sariraku randu kepuh /Pangadegku lemah maesan /Rambutku sang amangku ranjang /Unyeng-unyengku sang lemah lesus /Bathukku nila cendhani /Netraku wulan ndadari /Kupingku sang palempengan /Irungku sang lenging angina /Lesanku guwaning mani /Lambeku sela metangkep /Untuku sang rajeg wesi…
Betapa utamanya manusia di dalam jiwa para pelaku mantra. Betapa remeh, rendah dan terhinanya manusia di sudut mata ilmu, Negara, politik dan pembangunan.
oleh : Emha Ainun Nadjib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar