Sabtu, 22 Desember 2018

Mantapkan Hati Menginjakku





Sebelum Allah meninggalkanku, harus ikhlas dan tega hatiku untuk bersegera meninggalkan segala sesuatu pada kehidupan manusia yang membuat Allah meninggalkanku. Sejauh ini semua “pakaian sosial” sudah kutanggalkan dan kutinggalkan. Dan kini ada sesuatu yang lain dan lebih substansial dari itu yang harus kutinggalkan.
Selalu aku ditimpa rasa ngeri setiap Khathib Jumatan mengucapkan “Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah tak ada yang bisa menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah tak ada yang bisa memberinya petunjuk”.
Memang sama sekali tidaklah mudah untuk peka dan cerdas mengetahui apakah aku sedang memperoleh petunjuk-Nya. Dan selama mengalami kesulitan untuk tahu apakah mendapatkan petunjuk-Nya, rasa lain yang muncul dan menyiksa adalah: jangan-jangan Allah sedang menyesatkanku karena perbuatanku sendiri.
Bahkan bisikan-bisikan dari wilayah yang lebih luas mengusikku: Dalam hal apa mereka, yang aku hidup di tengah-tengahnya – yakni ummat, masyarakat, warganegara, penduduk bumi – sedang dihidayahi ataukah sedang disesatkan? Bagaimana memastikan dipilihnya seorang pemimpin Negara dengan jajaran pemerintahannya, itu merupakan petunjuk dari Allah, ataukah Allah sedang menyesatkan? Allah bukan sedang menguji, tapi menghukum. Allah bukan sedang sekadar murka, tetapi meng-adzab?
Ada empat opsi tindakan Tuhan kepada manusia, berdasarkan fakta perilaku manusia itu sendiri. Pertama, hidayah: memberi petunjuk. Kedua, istidrajmbombong, nglulu. Ketiga, idhlal: menyesatkan. Dan keempat, tark: meninggalkan.
Hal hidayah dan penyesatan. ”Engkau tidak bisa memberi petunjuk kepada siapapun saja meskipun engkau mencintainya, Allah yang memberi petunjuk kepada siapapun yang dikehendaki-Nya”.
Hal istidraj. Rasulullah Muhammad saw bersabda: “Apabila engkau melihat Allah memberikan kepada seorang hamba berupa nikmat dunia yang disukainya padahal dia suka bermaksiat, maka itu hanyalah istidraj belaka. Lalu Rasulullah membaca ayat Al-Qur`an: “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”.
Hal tark. Memang mustahil Tuhan meninggalkan ciptaan-Nya. Tidak mungkin Tuhan meninggalkan kita. Dalam arti tidak ada sedetik waktu, sepetak ruang, setiupan angin, sesapuan peristiwa, serta apapun di dalam diri dan di luar manusia — yang terlepas dari kehadiran dan keterlibatan Allah. Tetapi kuperhatikan pernyataan Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu AlQur`an dan menjualnya dengan harga yang murah, mereka itu sebenarnya tidak menelan ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih”.
Allah tidak akan berbicara kepada mereka. Allah tidak akan berbicara kepadaku. Allah gak wawuh, njuthak, nyiwak kepada aku. Alangkah mengerikannya. Itu lebih mendalam dan njarem daripada ditinggalkan.
Aku didera oleh ribuan pertanyaan dari dan kepada diriku sendiri, dan kujawab sendiri, karena tak ada manusia lain bersamaku. Andaikan pertanyaan itu berasal dari manusia, maka aku tidak akan punya beban atasnya. Sebab aku tidak sedang mengerjakan ujian yang disodorkan oleh manusia, yang menyebabkan aku harus bertanggung jawab kepada mereka. Pun aku tidak terikat oleh pujian maupun cercaan manusia. Tidak bergantung pada apakah manusia mempercayaiku atau tidak.
Aku tidak punya tanggung jawab apa-apa kepada manusia, karena dua hal. Pertama, aku tidak pernah mengancam nyawa mereka, tidak pernah melecehkan martabat atau derajat mereka, dan aku tidak pernah mencuri harta mereka, bahkan tak pernah bersaing atau berebut dunia dengan mereka. Aku tidak pernah berjuang menempuh karier, membangun nama baik, mendaki jabatan, menghimpun kekayaan, membina karier, memimpikan kemasyhuran atau mengejar status.
Bahkan aku tak pernah menulis status di berjenis-jenis media atau apapun yang aku tidak pernah punya akunnya. Aku hanya menjalani keyakinanku di lingkup yang sangat kubatasi, namun banyak yang mencurinya, memotong-motongnya, memanipulasinya, menggeser substansinya, memecah keutuhannya.
Kedua, manusia bukan yang menciptakanku, bukan yang secara hakiki menghamparkan rejeki dan kesejahteraan bagi hidupku. Kedua hal itu membawaku pada posisi tidak mempertanggungjawabkan apa-apa kepada mereka. Yang kulakukan sepanjang hidupku adalah menyayangi mereka dan bersedekah semampuku untuk keperluan mereka.
Manusia adalah saudara-saudaraku di bumi. Dan bumi adalah tempat transitku di tengah perjalanan. Bumi bukan kampung halaman permanenku. Aku bukan penduduk tetap di bumi. Bumi bukan terminal terakhir. Tidak ada perlunya ngos-ngosan berebut sesuatu di area transit. Aku hanya menabung atau nyicil sejumlah hal yang kompatibel dengan “kholidina fiha” serta yang sefrekuensi dengan “abada” rangsum dari Maha Pencipta.
Pasti aku butuh biaya untuk beli makanan dan minuman serta membelikan tiket anak-anakku agar bisa menaiki kereta kehidupan. Tetapi aku tidak hidup demi makanan, minuman dan tiket kereta. Bahkan dari sepuluh bungkus makanan dan sepuluh gelas minuman, tujuh di antaranya kuperoleh bisa dari atas, dari pendaman tanah, atau dari anugerah yang Tuhan menghijabinya. Sedangkan yang tiga, berasal dari perniagaan sementara dengan kiri kanan. Tiket kereta juga tidak harus beli di loket, karena tidak mustahil bisa duduk di kursi kereta tanpa tiket, dan kondektur lewat saja tanpa menoleh atau memeriksa.
Kehidupan ini berisi Satu kepastian dan Sembilan kemungkinan. Engkau bisa duduk tanpa kursi. Engkau bisa terbang tanpa sayap. Bisa sehat dengan justru sedikit makan. Bisa sembuh tanpa obat. Bisa menikmati keindahan tanpa nyanyian. Bisa kurang tidur tanpa ngantuk. Bisa menjalani seribu dengan sepuluh. Bisa mengucapkan sesuatu tanpa engkau sendiri yang mengucapkannya. Bisa bermain gitar tanpa engkau sendiri yang memetiknya. Bisa tujuh, delapan atau sembilan, sambil tetap menghormati satu.
Aku tidak perlu curiga kepada diriku sendiri, karena tak pernah ada pertengkaran tentang keyakinan dan kelakuan antara diriku dengan aku. Tanya jawab yang berlangsung di dalam diriku bukanlah tentang diriku dan keyakinanku, melainkan tentang gambar besar lukisan Allah yang kuteliti titik-titik koordinatnya. Aku tidak perlu meneliti kebenaran, mengidentifikasi kebaikan atau meraba-raba keindahan.
Sebab sejak aku janin hingga bayi sampai tua renta sekarang ini, aku tak pernah berjuang untuk memilih sesuatu. Hidupku hanya satu pilihan di rentang antara Al-Awwal wal Akhir. Pengetahuanku, ilmuku, pemahaman dan sikapku, tidak pernah berkembang atau berubah. Semua yang kajalani sampai hari ini adalah klausul-klausul kontrak yang sudah kepelajari dan kemengerti sejak sebelum aku lahir di permukaan bumi.
Ketika ada yang mengadu-domba antara kebenaranku dengan kebenaran orang lain, kutarik dan kusembunyikan kebenaranku, agar yang beradu denganku merasakan seolah-olah menang atasku. Aku bekicot yang jika disentuh, akan menarik sungutnya bersembunyi dan menyatu dengan daging kepalanya, sehingga orang melihat bekicot itu tak bersungut. Ketika ada yang berlomba lari denganku, aku hentikan langkahku. Ketika ada yang menyaingiku dengan memoles warna warni gemerlap di rumahnya, seluruh rumahku aku cat dengan warna hitam, sampai jendela, pintu, tembok hingga lantai.
Ketika aku berdiri di podium di hadapan massa, tiba-tiba ada yang mengungkapkan bahwa aku berdiri di situ karena mencari dunia, maka detik itu juga aku menghentikan bicaraku, aku turun, keluar ruangan dan mencari taksi atau ojek untuk pulang menemui anak istriku. Ketika aku nyetir mobil dan ada yang menggerundal bahwa mobil yang kunaiki ini pemberian pejabat ini atau itu, aku turun, kuajak orang itu ke tepi jalan, aku beli bensin, dan minta ia menyaksikan kubakar mobil itu. Kalau entah karena apa ada orang mengkultuskanku, maka di hadapannya aku mencopot celanaku. Kalau ada yang mengkiyaikanku, maka kulontarkan bermacam-macam pisuhan atau makian yang membuatnya batal menganggapku kiyai. Kalau ada yang berani-berani bikin kumpulan untuk memania-maniakanku, kuancam “tak tonyo raimu!”.
Kalau aku berada di antara ribuan atau puluhan ribu orang yang berhimpun untuk bertemu denganku, dan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa aku punya agenda politik, membangun puncitraan dan menghimpun massa — maka kulempar peciku, kucopot bajuku, turun dari panggung dan pamit pulang. Barangsiapa menginginkan dunia, maka telanlah dunia ini, krakotilah seluruh pepohonan di hutan, reguklah air tujuh samudera, ambil semuanya tanpa sisa. Tak kan kumohon kepadamu sehelai daun, sebiji ciplukan atau sejumput tanah untuk engkau sisakan bagiku.
Aku sangat menikmati gagasan dan tindakan untuk menguji diriku. Tidak ada urusannya dengan lulus atau tidak lulus di tengah manusia. Aku tidak mau dimain-mainkan oleh dunia, maka kegiatan yang paling efektif dan nikmat adalah memain-mainkan dunia di dalam diriku. Aku sangat menyayangi dan habis-habisan melayani keperluan siapa saja di luar diriku. Tetapi aku bermain petak umpet di dalam diriku sendiri.
Ada zaman di mana aku disuruh menjadi ban serep sebuah truk besar dan terkenal secara nasional. Karena aku ban maka sering dipompa, sehingga ban aslinya cemburu kepadaku. Segeralah ban serep ini diganti. Kalau tidak mungkin ia akan melepaskan diri.
Di zaman lain aku diperintahkan menjadi tukang kipas di warung sate. Arang dan api kukipas-kipas supaya satenya matang. Para pembeli menyebut profesiku adalah tukang kipas-kipas. Aku mendorong agar penjual sate itu membeli kompresor. Dan aku sebagai kipas siap dibuang ke tepi jalan.
Zaman yang berbeda lagi mentakdirkanku menjadi pemandu para petani untuk tanaman organik. Tapi aku tak disukai oleh para pemuka desa karena mereka dagang pupuk anorganik. Aku harus melengkapkan pengetahuan dan kemampuan mereka bertani organik, kemudian harus segera pergi agar tidak mengganggu harmoni antara para petani itu dengan pemimpin-pemimpinnya.
Aku berbisik kepada seseorang yang berpuluh tahun menjadi sahabatku: “Mantaplah menginjakku, karena aku sendalmu. Kudorong Bapakmu agar segera  membelikanmu sepatu. Aku akan membuang diriku di sungai itu, agar menjadi bagian sampah yang mengalir bersama airnya”.

Emha Ainun Nadjib