Rabu, 11 Oktober 2017

Beda Persepsi, Beda Orientasi

Beda orientasi, beda persepsi. Siapa yang menjadikan kekuasaan sebagai orientasi, maka ia akan melakukan segala cara untuk meraihnya. Bahkan bila harus merebut dan menyikut, tak ada yang membuatnya takut. Oleh yang berbeda orientasi, ia bisa dianggap gila. Tahta dan kedudukan adalah hal yang tidak masuk akal bagi siapa pun yang memang tak berpikir untuk memilikinya. Baginya, kekuasaan bukanlah cita-cita.
Beda orientasi, beda persepsi. Siapa yang menjadikan kekayaan sebagai orientasi, maka ia akan mengerahkan segala daya dan upaya. Walau dengan mencuri dan korupsi, tidak ada yang bisa membuatnya ciut nyali. Oleh yang berbeda orientasi, ia bisa dicap telah kehilangan hati nurani. Harta benda di dunia adalah hal yang tidak kekal bagi mereka yang berpandangan ukhrawi. Yang sejatilah yang selalu mereka cari.
Beda orientasi, beda persepsi. Siapa yang menjadikan keberkahan sebagai orientasi, maka ia akan mengerjakan segala tindakan demi memeroleh yang diinginkan. Meski harus mengabdi dan mematuhi perintah junjungannya, tak ada yang diharapkannya selain ridha dan restu. Walau dianggap bodoh dan berbuat tidak logis -- karena memilih untuk taqlid -- tak ada yang membuat dirinya meragu dan berubah pikiran.
Bagi pegila kekuasaan, harta mudah ia miliki. Bagi penguber kekayaan, kuasa bisa dibeli. Bagi pengharap keberkahan, kekuasaan dan kekayaan tidak abadi. Satu dan lainnya sangat sulit, bahkan nyaris mustahil, berjumpa dalam satu persepsi yang sama dikarenakan sejak mula memang berbeda orientasi. Tapi, tidak selayaknya menuduh ketiganya melakukan semua itu tanpa cinta. Tak ada yang tahu isi hati selain diri sendiri.
Cinta menjadi penengah di antara hal-hal yang berjauhan, berlainan, bahkan berseberangan. Cinta menjadi harapan ketika menyamakan persepsi menjadi hal yang rumit. Kekuasaan, kekayaan, dan keberkahan menjadi kekuatan yang luarbiasa ketika disatukan oleh Cinta. Kekuasaan tidaklah selama-lamanya, kekayaan pun tidak abadi, keberkahan juga tidak kekal. Sebab, segala sesuatu niscaya sirna selain Wajah Allah.
Namun, beda orientasi tetaplah beda persepsi. Ia yang tidak menjadikan Allah sebagai orientasi akan menilai orang yang menyerahkan seluruh jiwa dan raganya, serta kekuasaan dan hartanya, bi amwalikum wa anfusikum, kepada Tuhan, sebagai orang aneh. Melepas hal-hal duniawi justru dianggap tidak lagi manusiawi. Cinta kepada Allah tak boleh berlebihan sampai meninggalkan sekelilingnya dan menghilangkan sisi kemanusiaan, begitulah argumennya.
Tapi, berbeda orientasi itu sah-sah saja. Pun demikian berbeda persepsi boleh-boleh saja. Yang dilarang adalah sikap memaksakan kehendak agar siapa pun satu orientasi dan satu persepsi dengan dia atau kelompoknya. Yang berbeda janganlah disakiti, apalagi dihabisi. Yang berlainan janganlah dipinggirkan, lebih-lebih disingkirkan. Menjadi berbeda itu manusiawi. Dari hal-hal yang khas itulah terhimpun khazanah. Keberagaman.
Tidak ada paksaan dalam beragama ini diatur dalam Q.S. Al Baqarah ayat 256. Keberagaman dalam keberagamaan tak bisa dipaksakan menjadi keseragaman dalam keberagamaan. Apalagi, sangat mudah bisa diyakini bahwa agama yang baik dan benar; bahkan yang terbaik dan paling benar, adalah agama yang mengajarkan umat menyempurnakan akhlaq yang mulia. Dan di dalam akhlaq yang mulia itu hidup Cinta yang sejati.
Di dalam Cinta yang sejati itu, hidup hati yang baik, pekerti yang berbudi luhur, welas asih, sikap ringan meminta maaf dan tidak berat memberi maaf, serta tindakan-tindakan kemanusiaan yang didasarkan atas sifat-sifat Ilahiah yang penuh kasih sayang. Lalu, berkelindan dengan larangan untuk memaksakan kehendak, larangan berikutnya adalah larangan untuk melanggar hak sesama. Saling menghormati selalu lebih baik.
Perlindungan terhadap hak ini diatur dalam perundang-undangan. Bahkan, agama Islam mengajarkan adanya hak orang lain di dalam hak setiap orang. Dari sanalah lahir kewajiban untuk menunaikan zakat dan anjuran untuk sedekah, infak, dan amal saleh lainnya. Secara ideal, negara dan agama hadir menengahi perbedaan orientasi dan persepsi agar masing-masing berjalan baik dan tidak saling berbenturan.
Persoalannya adalah orientasi dan persepsi adalah isi kepala dan dada masing-masing. Artinya, Cinta, negara, dan agama telah berupaya memberi garis batas yang jelas dan tegas untuk melindungi kemerdekaan orientasi dan persepsi, sebagaimana kebebasan dalam berpendapat, berkelompok, beragama dan menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya. Kini selebihnya kembali pada manusianya.
Setiap manusia memiliki bakat baik hati dan berbuat baik pada sesama. Jika pun kemudian memiliki orientasi dan persepsi yang berbeda, itu merupakan bagian dari pertumbuhan psikologi dan spiritualitas masing-masing. Dewasa secara jasmani tidak selalu diikuti oleh pendewasaan ruhani. Oleh karena itu, daripada menuntut orang lain mengerti, alangkah lebih indah berusaha untuk mengerti orang lain. Anda dewasa, kan?
Oleh : Candra Malik