Senin, 26 Desember 2011

Jujur Itu Lebih Baik !

Sebesar apakah nilai dari sebuah kejujuran? Pertanyaan sederhana ini memiliki jawaban yang sungguh luarbiasa. Jika ditilik dari Q.S. Al Fatihah: 6-7, tentang as-shirath al-mustaqiim atau jalan yang lurus, yang kita memohonnya kepada Allah, maka nilai sebuah kejujuran sederajat dengan jalan yang lurus itu. Yaitu jalan orang-orang yang menerima anugerah kenikmatan dari Allah, bukan jalan orang-orang yang dzalim, bukan pula jalan mereka yang berdusta.

Tidak hanya berkedudukan sangat tinggi, setara dengan jalan yang lurus, kejujuran bahkan senilai dengan Cinta Allah kepada manusia. Dalam Q.S. Ash Shaff: 3 ditegaskan,"Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa engkau mengatakan apa-apa yang tidak engkau kerjakan." Dengan kata lain, amat besar Cinta di sisi Allah bahwa engkau mengatakan apa-apa yang engkau kerjakan. Amat besar Kasih Sayang dikaruniakan Allah kepada siapa pun hambaNya yang jujur. Kini, pertanyaannya adalah jika pilihannya berdusta dan berkata jujur, mengapa memilih dusta?

Wasiat Sunan Kalijaga,"jangan merasa bisa, namun bisalah merasa," menjadi mendapatkan konteks dalam tema kejujuran ini. Ini pun teguran bagi para guru agar arif dan bijaksana dalam menjawab pertanyaan murid. Acapkali guru mudah saja mengutip teks-teks dari Al Qur'an, Al Hadits, maupun kitab-kitab tertentu, demi menjawab pertanyaan murid, padahal ia sendiri sesungguhnya belum atau tidak mengalaminya sendiri. Sangat sedikit guru yang mengawali jawabannya dengan mengucap,"saya tidak tahu," atau "saya tidak lebih tahu," sebelum ia kemudian mengutip dalil tertentu sebagai referensi atas jawabannya.

Jika kurang hati-hati dalam bersikap dan menjawab, seorang guru sekalipun bisa terjerumus dalam golongan mereka yang dibenci Allah karena mengatakan sesuatu yang tidak dikerjakan, tidak pula dialami, sendiri. Q.S. Ash Shaff: 2 menegur,"Wahai orang-orang yang beriman, mengapa engkau mengatakan sesuatu yang tidak engkau kerjakan?" Peringatan yang tak kalah keras juga disampaikan dalam Q.S. Al Baqarah: 44,"Mengapa engkau menyuruh orang lain mengerjakan kebaktian, sedangkan engkau melupakan kewajibanmu sendiri?" Na'udzu bi 'l-laahi min dzalik. Semoga Allah melindungi kita dari perbuatan dusta kepada diri sendiri dan orang lain.

Pada mulanya, seorang pendusta bisa saja menikmati kehidupan sesuai takaran kesenangannya sendiri sejak ia merasa berhasil menguasai suatu jalan cerita. Namun, pada akhirnya, seorang pendusta akan kepayahan mengingat setiap detail jalan cerita yang ia bikin itu demi memertahankan alur agar tak saling berbenturan satu sama lain. Seorang pendusta harus memiliki ingatan yang sangat kuat terhadap kebohongan-kebohongannya sendiri, sementara seorang yang jujur tidak akan memerdayai ingatannya sendiri untuk merekayasa apa yang tidak terjadi. Seorang yang jujur memilih untuk menggunakan ingatannya untuk mengingat keagungan Allah.

Sekali berdusta, siapa pun ia pasti
akan berhadap-hadapan dengan kebencian demi kebencian dari Allah. Sekali berdusta, maka ia kemudian akan tergelincir pada pengkhianatan. Dan, sekali dibenci Allah, siapakah yang bisa menyelamatkannya? Dalam Q.S. Al Anfaal: 58 telah jelas pula deklarasi dari Allah bahwa," Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat." Bagi ia yang dibenci Allah, kehancuran hanya soal waktu. Jika Allah membenci seseorang, maka semesta raya seisinya akan serta-merta membenci orang tersebut. Na'udzu bi 'l-llahi min dzalik. Ya Allah, mohon ampuni kami.

Q.S. Al A'raf: 182 mengukuhkan,"Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan, dengan cara yang tidak mereka ketahui." Sebagian dari para pendusta ini memang tidak hanya suka mengatakan apa-apa yang tidak mereka kerjakan, namun gemar pula mengklaim bahwa perkataannya bahkan lahir dari PetunjukNya secara langsung. Dalam Q.S. Ali Imran: 78 disebutkan"Sesungguhnya ada segolongan manusia yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya engkau menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal bukan. Dan mereka mengatakan," Yang kubaca itu datang dari sisi Allah", padahal bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka menyadarinya."

Perintah agar melaksanakan sikap hidup jujur juga ditegaskan khususnya kepada para penulis surat perjanjian. Dalam Q.S. Al Baqarah: 282, Allah memerintahkan,"Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskan perjanjian dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya." Di tangan penulis itulah nasib hukum dan keadilan dipercayakan. Sekali mendustakan kebenaran, maka pelakunya dimasukkan Allah ke dalam golongan orang-orang yang zalim. Demikianlah yang disebutkan dalam Q.S Ali Imran: 94,"Barangsiapa mengada-adakan dusta terhadap Allah, maka merekalah orang-orang yang zalim."

Bersikap jujur, terbuka, berkata benar, dan tidak berkata selain yang benar itu, adalah empat pilar utama untuk membangun sistem syafa'at dalam setiap diri umat Muhammad. Yaitu sistem keselamatan dan penyelamatan diri dari kebencian di sisi Allah dan adzabNya yang teramat pedih. Bertindak jujur memang tidak mudah dan seringkali menyakitkan hati sendiri, bahkan tak jarang juga menyakiti hati orang lain. Terasa lebih panas dari menggenggam bara. Tapi, itulah harga dari sebuah kejujuran. Semoga Q.S. Al Baqarah: 216 ini bisa menjadi penguat hati. Allah berfirman," Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula engkau menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang engkau tidak mengetahui." Jujurlah, meski pahit, meski engkau tak suka.

Candra Malik, Pengasuh Kelas Sufi dan Penulis Buku Makrifat Cinta.
 

Salam,
Candra Malik


Sumber.
www.candramalik.com