Jumat, 23 Juni 2017
It’s a Wonderful Life
Teman saya pernah mengajarkan, “Bila menghadapi kehilangan, kematian dan suasana duka, ucapkanlah ‘Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun’. Sebaliknya, bila takjub dengan keajaiban dan keindahan alam, menghadapi situasi dan pengalaman yang menyenangkan, ucapkan juga kalimat tersebut, yang berarti, “Segala yang berasal dari Allah yang Maha Kuasa, akan kembali kepada Allah”. Bagi saya kalimat ini sangat membantu di saat-saat sangat susah atau sangat senang, karena pada saat itulah kita seakan diingatkan kembali bahwa adik, kakak, anak, pasangan, rizki, keindahan alam, jabatan, karir, dan sehebat-hebatnya ikhtiar kita, adalah “pinjaman” dan “amanah”.
Meski sadar bahwa roda kehidupan memang harus berputar, namun begitu cepatnya dan semakin sulitnya kita memprediksi ‘future’ benar-benar bisa membuat kita panik, kehilangan pegangan. Kematian Benazir Bhutto, banjir yang melanda kota-kota yang biasanya tidak kenal banjir, air pasang yang menyebabkan bisnis pariwisata sekitar Kuta terpuruk, global warming, dan belum lagi ramalan-ramalan mengenai semakin ‘edan’-nya dunia di masa mendatang, benar benar membuat hati galau. Bagi saya, kata ‘change’ yang dikumandangkan para ahli manajemen dan futuris mulai terdengar basi. Baru saja merencanakan “action” perubahan, lapangan dan pasar seakan belut, licin dan sudah berubah lagi. Tak bisa menghindar, kita memang sudah berhadapan dengan hal-hal tak terduga. Dalam situasi serba tak terprediksi, bahkan kekacauan yang mengerikan begini, bisakah dan bagaimanakah kita bisa bersikap positif pada dunia kehidupan kita?
Be “Present”
Kata ‘Present’, berarti ’hadiah’ dan juga berarti ’saat ini’. Seorang ahli time management, mengatakan bahwa ‘being present’ (keberadaan kita saat ini) adalah ‘present’ (hadiah) terbesar dalam hidup kita. ‘Being present’ berarti realistis dan sadar apa yang ada dihadapan kita, menghargai dan memanfaatkan semua ‘resources’ yang kita miliki. Being present atau ‘Live your Life’, adalah nasihat Richard Branson, pemilik Virgin Group pada putra-putrinya ketika ia tengah menghadapi maut, agar mereka menghayati betul kehidupan yang tengah dilalui sekarang, tidak menyesali masa lalu dan tidak kuatir akan masa depan. Tidak pelak lagi inilah pilihan sikap yang paling sehat dalam menghadapi hidup ini.
Memilih sikap ‘being present’ memang mudah dikatakan, tetapi tidak mudah dilakukan. Berapa sering pikiran kita melayang dan tidak “konsen” bila sedang rapat, mengikuti pelatihan, menghadapi klien, bahkan menghadapi anak sendiri? Kita sangat sadar bahwa orang yang paling penting adalah orang di hadapan kita, tetapi berapa sering kita menerima panggilan telpon genggam ketika menghadapi orang secara tatap muka? Rasanya kita memang masih bisa lebih menghargai momen-momen yang sebenarnya sudah diberikan kepada kita dan lebih memanfaatkan sebaik-baiknya .
Kita Dibutuhkan oleh Orang Lain
Teman saya yang bermukim di Inggris, tiba-tiba mencari pekerjaan di Indonesia. Ketika saya tanyakan alasannya, ia berkata bahwa ia menemani ibunya, yang semakin meningkat percepatan “layu”-nya sepeninggal ayahnya. Keluarga, teman yang bahkan sudah lebih dekat daripada anggota keluarga, kolega yang sudah bersusah-senang bersama kita, adalah “kekuatan” bahkan “mistik” tersendiri yang membuat kita bisa menikmati hidup dan menjadikan kita bisa lebih kokoh berdiri menghadapi kekacauan, badai, serta cobaan.
Kita sebenarnya bisa menghitung betapa beruntungnya kita bila masih ada teman, kakak, adik, suami, istri, anak, atau tetangga yang bisa kita ajak merapatkan barisan atau bahkan “holding hands” di kala gundah. Sebaliknya, kesadaran bahwa kita bisa memberi support mental kepada anggota keluarga lain, saudara, teman, tetangga, akan membuat kita mendapatkan kekuatan dan semangat menolong dobel karena keyakinan bahwa kita dibutuhkan.
Niat Baik adalah Pondasi
Dalam suatu pertemuan, saya mengajak para peserta yang hadir untuk mengungkapkan misi dan niat utama dalam bekerja dan dalam hidupnya. Saya cukup terkejut, karena ternyata sangat sedikit yang bisa dengan lantang menyebutkan niatnya. Entah karena malu, jarang melakukan introspeksi diri atau sekedar tidak ingin terbuka. Yang jelas, bila niat kita tidak terbaca, tidak jelas atau tidak dimengerti, maka gerak dan langkah kita pasti juga tidak jelas dan mengambang.
Niat seperti, ”Saya ingin belajar terus sampai usia 70 tahun”,”Saya ingin anak buah saya sukses”, ”Saya ingin jadi orangtua yang baik, ketimbang jadi profesional yang sukses”, atau ”Saya ingin berwirausaha bila tabungan saya cukup”, sebenarnya tidak perlu disembunyikan atau ditutup-tutupi. Asalkan niat kita lantang, lurus, bersih dan tidak diwarnai dengan “vested interest”, maka biasanya kita akan punya pengikut, mendapatkan kawan seperjuangan, bahkan bisa melihat persamaan arah dengan orang lain, perusahaan, bahkan Negara. Niat yang baik dan kuat bisa menjadi pondasi kita agar tetap berdiri bagai batu karang dalam hempasan ombak. Apalagi kalau kita betul-betul berniat untuk mencerdaskan, membersihkan dan membela lingkungan, apalagi bangsa.
Jatuh, bangun, terpuruk, sukses akan selalu kita alami sepanjang perjalanan hidup kita. Tapi, masih ingatkah Anda film getir “Life is Beautiful” (La vita รจ bella) karya sutradara dan aktor kondang Roberto Benigni? Kalau dalam keadaan terjepit, hampir terbunuh begitu, ia masih bisa melihat indahnya kehidupan, kita pun pastinya bisa menghadapi kompleksitas situasi dunia kita dengan sikap yang lebih optimis dan menghayati betapa berharganya hidup ini.
“Just open your eyes. And see that life is beautiful.”(Roberto Benigni)
ANTUSIASME
"An enthusiast is a fanatic about life. And because the enthusiast has the attitude that good things will happen, good things do happen." – Anonymous
Banyak orang berharap bahwa “making your day” atau ‘hari yang indah’ datang dari cuaca, situasi eksternal dan orang lain. Saya jadi teringat pada teman saya, seorang yang berenerji tidak ada habisnya. Ia selalu menelpon saat sedang ‘bete’ sambil berujar, “Tolong semangati saya dong! Aku lagi butuh dipuji-puji nih....”. Namun, saya tahu benar bahwa tindakannya minta disemangati sebenarnya adalah upayanya untuk intermezo saja, karena ia seolah punya sumber emosi di dalam dirinya dan selalu menularkan aura antusiasme ke sekitarnya. Yang jelas, antusiasme itu sumbernya di dalam individu. Banyak orang berpikir bahwa ini adalah talenta individu yang tidak dapat dipelajari. Padahal bila kita telaah lebih jauh, teman kita ini sekedar berperilaku bagaikan orang yang sangat lahap menghadapi makanan sehingga membuat orang yang menyaksikan juga ingin makan. Bukankah “makan dengan lahap” bisa dilakukan semua orang? Tetapi kenapa antusiasme seperti “talenta tersembunyi” yang sulit dipunyai semua orang?
Ciptakan Arena Perlombaan Kita
Kita pasti pernah masuk dalam situasi yang berulang dan membosankan, di mana kita kemudian berkomentar,“Ah..., lagu lama...”. Padahal, situasi yang sama tidak selamanya membosankan, karena sangat bergantung bagaimana kita melihatnya. Di sebuah perusahaan yang berkembang sangat-sangat pesat, tingginya pertumbuhan pelanggan bisa dianggap lagu lama, padahal bagi kompetitor hal ini dilihat sebagai sesuatu yang begitu menggiurkan dan menggetarkan. Ketidakmampuan untuk mempersepsi tantangan kecil dan barulah yang sering membuat orang tidak bisa antusias.
Beruntunglah para olah ragawan yang tidak bisa lari dari tantangan yang satu ke yang lain. Begitu dia menang tingkat kelurahan, ia langsung ditantang untuk memasuki tingkat kecamatan! Dalam lingkungan di mana perlombaan tidak tergambar secara eksplisit, persepsi individulah yang perlu dibuat agar dunia kerjanya tak ubah sebuah gelanggang yang tiada hentinya. Seorang dosen yang bertahun-tahun memegang mata kuliah tertentu, bisa memilih untuk tertantang mendapat bahan-bahan baru, cetakan buku terbaru, kasus-kasus yang paling update berkenaan dengan materinya. Kita bisa bayangkan betapa mahasiswanya akan merasakan antusiasme dosen ini, dibandingkan dengan hanya menghafalkan fotokopi turun-temurun dari kakak kelas 5-10 generasi yang lalu.
Selalu Dekat dengan Tren & yang sedang ‘In’
Saya kagum pada kolega saya yang selalu sedemikian “awas” menemukan pakaian, warna, dan asesoris yang sedang paling “in”. Ternyata modalnya tampil trendi hanyalah dengan melihat-lihat majalah mode di pinggiran jalan, tanpa perlu membeli. Ia sudah sangat terlatih untuk melihat apa yang berulang, apa yang secara menonjol baru, dan apa yang kemudian dipilih sebagai tren terbaru. Tentunya semangat ini sudah menjadi darah dagingnya. Yang jelas, “being trendy” memudahkan kita membangkitkan antusiasme. Bukankah rumah baru, baju baru, teman baru selalu membuat kita bersemangat? Minat terhadap sesuatu yang baru, yang fresh dan berbeda, bisa mendorong kita untuk “berbuat” lebih cepat, lebih giat dan lebih aktif.
Saya teringat seorang teman yang kebetulan bermukim di sebuah desa di Italia. Ketika saya mengeluh mengenai bisnis yang melelahkan, dia lalu menyebutkan beberapa majalah dan situs web yang perlu saya baca. Ternyata majalah dan situs-situs tersebut melulu berisi penemuan baru, desain baru, lagu-lagu terbaru dan tokoh-tokoh yang paling “in” di dunia. Membacanya membuat kita merasa bahwa ada dunia baru terbentang dihadapan kita siap dieksplorasi. Tidak heran teman saya ini, selalu bersemangat tinggi seolah tidak ada lelahnya seolah ingin menjelajah dunia.
Putus Lingkaran Setan
Kita sama-sama setuju bahwa di dunia ini segala sesuatu akan kembali membentuk siklus. Apakah siklus tersebut akan berbentuk lingkaran setan atau lingkaran malaikat, itu tergantung pada bagaimana kita memutarnya. Yang jelas, kalau kita membuat orang lain senang, orang itu pasti akan membalas dengan sikap positif juga. Bahkan orang yang menyaksikan kita dalam situasi tersebut juga langsung bersimpati pada kita. Aura positif ini bisa kita ciptakan dan dengan sendirinya lingkungan akan berbalik menyemangati kita dengan hal-hal yang baik. Sebaliknya, kita pun bisa membuat siklus negatif. Berapa sering kita memasuki rapat yang membahas keluhan pelanggan, misalnya, dan berakhir pada frustrasi karena semua peserta rapat terbenam pada kenyataan bahwa pusat kesalahannya ‘itu lagi, itu lagi’. Benak seorang yang antusias akan menjerit, berputar mencari solusi, mencari jalan keluar, mengarahkan pada tindakan yang musti diambil, dan tidak mengalah pada keadaan. Sebab, sekali mengalah berarti kita terseret siklus negatif tadi.
Nikmatnya Menjalankan Misi
Siapapun pemberi misi, apalagi kalau dia adalah idola, pihak yang kita respek atau sayangi, kita tentunya akan menjalankan misi tersebut dengan bangga dan bersemangat. Seolah anak kecil yang lari dengan bangga ke warung saat disuruh ibunya membeli sesuatu. Kita sering tidak sadar bahwa setiap tindakan bisa mengejawantahkan misi tertentu. Padahal dengan menyadari bahwa kita adalah agen perusahaan, agen keluarga, agen profesi, agen generasi penerus, agen negara yang “dipercaya” untuk mengemban misi, kita pasti bangga dan antusias.
Ditayangkan di KOMPAS, 14 Juli 2007
ASAH EMPATI!
Orang-orang bilang, psikolog jagonya berempati. Semestinya memang begitu, tapi tak selamanya juga terjadi. Teman saya, seorang psikolog lulusan universitas terkenal, acap jadi ‘public enemy’, karena tidak terlatihnya dia dalam menangkap sinyal-sinyal sosial di tempat kerjanya. Misalnya saja, dia tidak sadar bahwa beberapa orang di sekitarnya tidak menyukai caranya ‘memerintah’ rekan kerja. Dia pun tidak menyadari perbedaan pendekatannya dengan rekan kerja yang lain menimbulkan rasa tidak nyaman.
Orang yang ‘mati rasa’ seperti ini bisa dikatakan ketinggalan jaman. Ia bakalan tidak laku lagi sebagai profesional, karena perusahaan akan banyak dirugikan dalam investasi sumber daya manusianya jika diisi profesional dengan ‘soft-skills’ tumpul. Orang seperti ini sulit belajar dan sulit membina hubungan. Otomatis komunikasi menjadi sulit dan tidak efektif.
Terkadang ada pendapat bahwa empati tidak dibutuhkan dalam beberapa situasi kerja, misalnya kompetisi. Ada pula pendapat bahwa seorang salesman perlu berdarah dingin dan mempunyai ‘killer instinct’. Realitanya, dalam dunia kerja terkini, kemampuan ‘masuk dalam sepatu orang lain’ diperlukan untuk membaca pikiran dan perasaan orang lain, misalnya saja dalam negosiasi. Semakin cepat perkembangan bisnis, semakin kita harus pandai membaca emosi dalam ukuran detik. Komunikator yang handal dan peka-lah yang dibutuhkan untuk mendorong proses komunikasi, kerja tim dan kerjasama untuk menunjang penyelesaian proyek dalam waktu yang lebih singkat.
Empati: Proses Pikir atau Rasa?
Ada orang yang seumur hidupnya tidak berniat memperpanjang dan mempertajam ‘radar’-nya untuk merasakan perasaan orang lain. Sebaliknya, ada orang yang punya radar sangat sensitif sehingga sangat peka terhadap perasaan dirinya dan juga orang lain. Dalam dua situasi di atas, belum bisa dianggap yang satu lebih baik dalam berempati dibanding yang lain. Seseorang dikatakan berempati bila ia berpikir sejenak dan berusaha memahami pikiran, perasaan, reaksi, pertimbangan, dan motivasi orang lain. Proses pikir ini pun perlu melibatkan dirinya secara utuh, dengan segala macam risiko perbedaan pendapat, rasa, bahkan kemungkinan konflik. Hanya dengan pengolahan terus-menerus maka individu bisa mengenal ‘status’ perasaannya, lalu kuat berempati dan kemudian memanfaatkan emosinya dalam kehidupan kerja.
Soft Skills, Hard Results
Dalam dunia perbankan misalnya, di mana modal bisnis adalah kepercayaan, mustahil para bankir mengesampingkan kemampuan berempati ini. Bahkan, perlu ada paradigma bahwa kepercayaan tidak bisa hanya dibuktikan dengan seperangkat fakta dan data, tetapi juga ‘rasa’. Inilah sebabnya, mengapa sekarang para bankir tampak lebih ramah, berorientasi ke pelanggan, dan tidak menonjolkan ke-angker-an lembaganya lagi.
Kita lihat bahwa ketajaman ’rasa’, sangat berkaitan dengan kesuksesan bisnis. Dalam pengambilan keputusan pun, intuisi hanya bisa dikembangkan bersamaan dengan kemampuan empati.
Gunakan aturan 93%
Dari risetnya, Albert Mehrabian, mengatakan bahwa dalam komunikasi, hanya 7 % ucapan yang akan diserap oleh penerima berita. Sisanya, yang 93% adalah sinyal non-verbal. Artinya, bila tidak dibantu dengan emosi, semangat, gerak dan intonasi, maka komunikasi kita tidak efektif. Kita perlu mengaktifkan ‘radar’ untuk memantau seberapa jauh pesan komunikasi kita tertangkap dan ditanggapi oleh penerima berita. Misalkan, jika lawan bicara merespons dengan mengerutkan kening atau memejamkan mata saat kita mengungkapkan pendapat, kita tentunya bisa mengira-ngira apakah ia menyetujui pendapat kita atau sedang berpikir keras. Sinyal ini yang juga perlu kita manfaatkan untuk memberi tanda apakah komunikasi akan dilanjutkan dengan pendekatan yang sama atau tidak.
Hadir 100%
Pernahkah Anda berhadapan dengan petugas frontline yang sedang sibuk bertelpon? Atau, atasan yang sibuk mengecek imelnya saat anda sedang menyampaikan masukan? Apa rasanya bila Anda diundang makan siang oleh seorang mitra, tetapi ia banyak sekali melayani panggilan ponselnya?
Banyak orang bertanya-tanya, apakah empati bisa dilatihkan. Sebenarnya, latihan penting yang perlu terus-menerus dilakukan adalah untuk menghadapi orang lain dengan perhatian dan minat 100 %. Bahkan, bila kita sempat menyemangati lawan bicara agar ia mengungkapkan pendapatnya secara lebih gamblang, otomatis kita akan juga menangkap aspirasi, motif dan tantangan lawan bicara kita.
Sewaktu kecil, ibu saya pernah berkata, “kamu mesti belajar menghargai orang yang telak-telak tidak ada gunanya bagi kamu. Kalau sampai kamu mempunyai kebiasaan itu, baru kamu bisa disebut sebagai orang yang ramah”. Empati memang tidak boleh dipraktekkan secara selektif, dan memilih milih. Kita tidak bisa hanya mau berempati pada orang yang kita anggap penting, misalnya pelanggan. Empati harus menjadi warna, pendekatan dan kebiasaan pribadi..
TRUST !
Kepercayaan sangat penting. Pentingnya begitu terasa terutama saat kita sudah berada dalam keadaan tidak dipercaya. Pada saat itulah kita betul-betul merasa bahwa kepercayaan itu tidak mudah didapat.
Saya ingat cerita seorang teman yang terjebak dalam situasi di mana dia membuat kesalahan, diragukan ketulusannya, dan kemudian tidak tahu dari mana ia harus mengembalikan kepercayaan koleganya. Seolah berlaku hukum: “Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”. Dari pengalaman kita tahu apa kepercayaan itu. Tetapi, mengembangkan, dan menambahnya merupakan hal yang sulit dijabarkan.
Rasa percaya akan meningkatkan komitmen, menjaga semangat dan kinerja tanpa perlu adanya pengawasan dan monitor ketat. Dalam organisasi di mana rasa saling percaya kuat, maka kontribusi dan enerji menjadi hemat, karena lebih sedikitnya upaya komunikasi. Individu yang saling percaya lebih mudah menemukan “gelombang” yang sama. Saya ingat pengalaman melihat sengitnya debat 3 orang anggota “board of director” sebuah perusahaan, yang diwarnai argumen bernada kemarahan, seolah hampir terjadi peperangan. Namun, pada akhirnya, mereka saling mengalah dan kemudian sepakat, seperti halnya 3 orang kakak beradik. Komentar saya, “ini hanya terjadi pada individu-individu yang saling percaya”.
Rasa percaya dalam organisasi sebenarnya tidaklah hanya dari atasan ke bawahan saja. banyak contoh di lingkungan kita yang bisa menggambarkan tidak percayanya bawahan pada atasan. Misalnya saja, keraguan apakah atasan ber-“kuping tipis”, selalu berespons terhadap laporan tanpa menyidik terlebih dahulu, atau akan bersikap “fair” atau tidak bila seseorang memberinya kritik. Keraguan semacam inilah yang kemudian menimbulkan sikap “yes, man”, “carmuk” (cari muka), atau mengambil jarak yang akhirnya menyulitkan organisasi untuk bergerak, karena komunikasi kian tidak terbuka. Dengan tidak digarapnya pengembangan rasa percaya dalam organisasi, maka organisasi bisa tumbuh tanpa ikatan yang kuat kecuali ikatan yang kasat mata seperti upah dan fasilitas. Organisasi seperti ini juga kehilangan kesempatan untuk melahirkan pemimpin baru karena para individunya sulit mengembangkan komitmen ke perusahaan.
Bisa dipercaya tidak sama dengan jujur. Lihatlah, berapa banyak orang jujur yang ternyata tetap sulit memenangkan rasa percaya orang lain. Kita perlu mempertahankan dan mengembangkan beberapa kebiasaan, di samping jujur, untuk membangun rasa percaya.
· Mendengar: Hanya dengan mendengar kita bisa bertukar nilai, minat, tujuan dan bisa menyamakannya. Kesamaan inilah yang akan menumbuhkan rasa percaya. Dari mendengar kita juga bisa merasakan apa yang dibutuhkan orang lain dan tahu cara memenuhinya. Kita pun bisa mencari kesamaan pandangan, visi dan sasaran sehingga akhirnya menumbuhkan rasa percaya satu sama lain.
· Bisa Diakses dan prediktabel: Konsistensi reaksi kita dari waktu ke waktu, dan antara apa yang kita katakan dan lakukan, membuat orang bisa “memegang” apa yang kita katakan. “Sharing” informasi dan kebersamaan dalam kegiatan informal menyebabkan individu lain merasa bahwa kita seorang yang terbuka, “bisa dibaca” dan bisa di dalami.
· Sadari Posisi “Power”: Di dalam kancah ’politik’, baik dalam perusahaan maupun dunia politik partai, setiap orang datang dengan berbagai motivasi, agenda, dan perbedaan akses ke pengambil keputusan. Rasa tidak percaya sering tumbuh bila menyaksikan adanya individu yang terlihat mempunyai akses ke pusat kekuasaan sementara orang lain tidak, misalnya saja dalam cara berkomunikasi. ”Kedekatan” seperti ini sering menimbulkan rasa curiga , rasa iri dan sering tidak disertai dengan upaya mencari lebih jauh tentang modus komunikasi apa yang cocok dengan pusat kekuatan tersebut. Seorang teman terheran heran melihat betapa hubungan kepercayaan jadi membaik setelah komunikasi via SMS nya dengan CEO lebih sering. Ternyata cara simpel dan murah ini malah mempan untuk mendekati sang pusat kekuatan.
· Sadari Cara Berdebat: Kita banyak menyaksikan bagaimana beberapa oknum membela diri atas kebenaran dengan cara yang defensif atau bahkan agresif, terkadang sengaja di depan umum bahkan di media. Di sini bisa kita yakini bahwa sejujur dan sebenar apa pun seseorang, bila ia tidak mengemukakan pendapat dan membuktikan kebenaran dengan cara penuh respek, ia malah tidak akan mendapat rasa percaya itu. Kepercayaan adalah masalah emosi, dan tidak selalu bisa disamakan dengan kredibilitas, yang sifatnya hanya rasional.
· Tidak Selalu Harus Banyak Bicara:
Banyak bicara sering menyulitkan orang untuk mencerna dan mendalami motif pribadi kita. Ada pilihan cara lain untuk meyakinkan orang yang justeru berbicara lebih lebih keras daripada kata-kata. Pembuktian lapangan biasanya juga bisa lebih mempan daripada presentasi formal.
Membangun rasa percaya dalam suatu lingkungan sosial membutuhkan kesabaran, kehati-hatian dan taktik. Kita tidak bisa menggenjot orang lain agar percaya pada kita. Kitapun tidak bisa melakukan kampanye ”trust” besar besaran. Rasa itu akan datang dengan sendirinya., seolah tanpa kekuatan kontrol kita.
"To be trusted is a greater compliment than to be loved." – George MacDonald
Character Building
Beberapa waktu belakangan ini, ‘karakter’ di sebut-sebut sebagai pertimbangan dalam menseleksi eksekutif. “Dia punya karakter”, demikian kata orang, dan tentunya konotasi ungkapan itu terarah positif. Wajar bila kita juga kemudian berespons dalam hati: “Apakah saya punya karakter?” Atau, ”Saya ingin ber-’karakter’, tapi tidak tahu cara mengembangkannya”.
Kita sudah punya karakter sejak lahir, karena karakter adalah kumpulan kualitas dan reaksi dalam diri individu. Permasalahannya adalah apakah ada ciri khas yang membuat karakter kita menonjol dan lebih berarti ketimbang orang lain? Bila ada, maka orang lain bisa dengan mudah menggambarkan karakter kita.
Orang yang berkarakter tidak sama dengan’orang baik’. Salah seorang dosen saya, misalnya, selalu ramah dan baik hati. Namun, cara berjalannya seperti layang-layang putus, bila berjabat tangan terasa jabatan yang tidak menggenggam, tidak ”berarti”. Setelah mengenal lebih lanjut, ternyata ibu dosen ini, di dalam pekerjaannya tidak tegas, tidak membuat perubahan, konformis tanpa sikap kritis sehingga di bawah pimpinannya, bagiannya sama sekali tidak berkembang.
Orang yang dikatakan berkarakter biasanya dikenali sebagi orang yang dikagumi dan direspek, bisa membedakan hal baik dan buruk dengan tegas, serta menjadikan lingkungannya lebih baik. Di Amerika, diperkenalkan sejak dini 6 pilar karakter, yaitu: bisa dipercaya, respek, tanggungjawab, bersikap fair, peduli dan menjadi warganegara yang baik. Pengenalan 6 pilar ini diikuti dengan seperangkat do’s dan don’ts, sehingga mudah digunakan bagi mereka yang ingin jadi orang berkarakter. Apakah cukup sampai di sini? Tentu tidak. Membangun karakter membutuhkan “excersize”, tempaan, cobaan, tantangan tiada henti, yang memberi kesempatan bagi individu untuk memperkeras kepribadiannya.
"I will be what I will to be"
“Choose your attitude”! Tantangan pertama kita adalah mendesain gambaran pribadi anda sendiri. Apakah ingin menjadi orang yang “low profile”, rendah hati, halus? Ataukah agresif, senang tantangan, dengan “exposure” tinggi. Kita perlu memiliki visi hidup yang jernih sehingga bisa mengarahkan pembentukan karakter.
Karakter Berasal dari “Habit”
Bila ingin berkarakter menonjol, kita perlu mempermudah orang lain untuk mengenali kekhasan kita. Kesamaan reaksi, gaya bicara dalam menghadapi situasi apapun, dari waktu ke waktu, perlu konsisten. Penting juga untuk menjaga konsistensi antara apa yang kita katakan dan yang kita lakukan. Jalan pikiran, perasaan dan reaksi, perlu relevan satu sama lain. Seperti halnya kita tidak bisa tertawa terbahak bahak pada saat sedih.
Secara otomatis, konsistensi akan membentuk habit, yaitu kebiasaan bereaksi pada tiap momen dalam hidup kita. Kenalan dekat saya mempunyai kebiasaan marah dalam setiap situasi yang dihadapinya. Bila anak jatuh, isteri sakit, terjerumus ke lubang, atau berhadapan dengan orang yang sulit, reaksinya satu, yaitu marah. Tidak pelak lagi, ia kemudian dikenal berkarakter pemarah. Habit yang terbentuk inilah yang menghasilkan ”kekuatan pribadi” dan memancarkan aura yang lebih kuat dibanding dengan habit yang tidak terbentuk karena tidak konsistennya reaksi individu.
Kompetensi membentuk karakter
Sering terjadi reaksi individu “pakewuh”, ragu, tidak cermat, karena ia tidak bisa, atau tidak tahu harus berbuat apa dalam menghadapi situasi yang sulit. Untuk itulah kita perlu berambisi untuk senantiasa memperkuat kompetensi kerja kita. Kompetensi perlu dikembangkan tidak sebatas pada ketrampilan dan pengetahuan saja, tapi juga sikap profesional dan prinsip. Galilah prinsip profesional dari orang-orang yang lebih berpengalaman, pertemuan profesi, buku, jurnal dan pelatihan. Seorang engineer pengeboran tidak akan begitu saja menyetujui instruksi atasan bila menghadapi situasi berbahaya, bila ia berpegang pada pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman profesionalnya. Walaupun ditekan oleh atasan, kompetensi, harga diri dan keputusan moralnya akan mendukung kepercayaan dirinya untuk mengambil sikap. Akhirnya pembentukan karakter dan kompetensi memang seperti lingkaran malaikat, semakin kompeten semakin mudah karakter ditonjolkan.
Tingkatkan kepekaan
Dalam pertemuan kelompok, bila individu ditanya:”Apa yang bisa anda kontribusikan ke tim untuk memperbaiki kinerja?” Ia akan menggagap bila ia tidak peka tentang keberadaanya dalam situasi tersebut. ”Positioning” diri sendiri dalam situasi sosial memerlukan kejelasan dan kepekaan setiap saat, sehingga reaksi yang dibentuk selalu bisa disadari dan dikontrol. Hanya dengan kontrol kuat terhadap reaksi kita, maka kita bisa membentuk reaksi yang relevan.
Box :
EXPERD : ‘CHARACTER’ BUILDING:
‘Can Do’ answers
‘Hands on’ execution
Accountable
Result Driven
Assertive Communication
Change Leader & Agent
The Customer``s Business Partner
Empowering Coach
Relationship Builder
BE BOLD
PERSAINGAN, perubahan, perkembangan teknologi, tantangan keadaan social politik menyebabkan kita sering bertanya, bagaimana kita yang tergolong average ini akan mampu bersaing. Setiap orang harus mengerjakan tugas-tugas yang kompleks. Setiap orang sudah tahu moto “impossible is nothing” atau “you can do and be everything you set your mind to”. Bahkan, kita sudah tidak bisa dianggap superman atau superwoman lagi bila berperan ganda, dan berganti peran dalam menghadapi situasi sosial sehari-hari. Namun, mudahkah kita merealisasikan sikap dan mindset seperti ini? Masih mungkinkah kita mempunyai tenaga ekstra, dengan peran dan tanggung jawab segudang, sambil berusaha bersikap tegar, dan berdampak signifikan?
Ketika meragukan diri apakah kuat untuk maju terus tanpa istirahat dan tetap tegar menghadapi semua rintangan, tiba-tiba dalam tayangan media kita menyaksikan seorang perempuan yang tampaknya pendiam, tidak pernah punya suara, kecuali ketika membahas proyek-proyek yang sedang dipimpinnya, tampil menunjukan dukungannya terhadap suami yang mengalami kesusahan di penjara. Di balik tangisan yang mengharukan terasa kekokohan hati, kekuatan jiwa, dan ketegaran seorang ibu yang harus mengurus dan menjaga emosi anak, sambil menemani suami yang pasti mengalami kerontokan mental.
Tangisan yang ditonton pemirsa seluruh Indonesia tentu membuat kita sedih, tetapi di balik itu kita juga merasakan kekaguman pada wanita tanpa gincu dan teriakan ini. Bukan sekadar kekuatan untuk menahan penderitaan, tetapi juga ketegaran untuk memegang prinsip keluarga dan juga berusahan menyelesaikan proyek-proyek yang sedang ditanganinya. Inilah contoh individu yang bold, yang terasa berDNA spesial dan bernyali seribu. Dari orang-orang yang bekerja dekat dengan beliau, kelihatan bahwa beliau tidak segan mendengarkan ide-ide timnya, mencoba hal baru dan selalu meninjau kembali aspirasi tim. Ia individu yang tidak pernah takut untuk tidak bergaji dan sangat nyata upaya follow the passion-nya. Ini salah satu contoh orang yang memangku sekian banyak tanggung jawab tetapi tetap bold. Jadi, sebetulnya apakah ciri orang yang bold itu? Seorang ahli mengatakan, “Boldness is when a person showing a willingness to take a risk; confident and courageous” tanpa harus bersikap seperti jagoan.
“Bold”: kekuatan wawas diri
Sering kita menyaksikan pribadi yang mengagumkan dan tidak menonjolkan diri, melakukan tindakan yang tepat dalam waktu yang tepat. Karakter boldness ini adalah kekuatan seorang pemimpin yang modern. Teringat ungkapan Johann Wolfgang von Goethe, “Whatever you can do, or dream you can do, begin it. Boldness has genius, power, and magic in it!”
Seperti kita saksikan, individu seperti ini menonjol dengan sendirinya. Mereka percaya diri, fokus dan berani, bukan karena jabatan, kedudukan atau pencapaian prestasi yang “wah”, melainkan dalam dirinya selalu terkandung kekinian, perkembangan, dan gerakan. Kita semua sebenarnya mempunyai bakat ini, sayangnya kita sering tidak tahu caranya. Kita kerap menunggu individu lain untuk bersikap seperti ini sehingga bisa terhindar dari tantangan. Alangkah sayangnya, kita yang sebenarnya bisa melakukan lebih banyak, tetapi tidak bergerak.
Miliki diri sendiri
Orang-orang yang bold biasanya sangat mengerti keadaan dirinya sehingga bila berhadapan dengan orang lain, mereka sangat siap untuk membicarakan kekurangan dan kekuatannya. Mereka sudah melewati masa-masa haus pujian dan sikap defensif sehingga sudah tidak dipusingkan dengan keadaan dirinya semata. Dengan begitu, mereka bisa superfokus pada apa yang dihadapi, siap mengalkulasi risiko, dan menginisiasi tindakan.
Tidak sembrono, asal sabet
Seseorang yang cepat bertindak tanpa pikir panjang tidak bisa kita golongkan ke dalam orang yang berciri bold ini. Individu bold sudah siap dan mengenali kesempatan yang bisa dimasuki. Ia tak pernah berhenti melakukan riset-riset kecil dan menghindari aktivitas-aktivitas yang tidak perlu ataupun tak jelas risikonya.
Tidak berkoar, tetapi mengatakan apa yang ingin dikatakan
Kita bisa menguasai keadaan tanpa perlu mem-bully orang lain dan bila ada yang perlu disampaikan kita pun bisa menyusun kata-kata dengan bijak. Kita bisa memilih kata-kata yang ber-impact dan mengandung kekuatan. Bahkan, untuk individu yang terlatih, berdiam pun juga merupakan sebuah pernyataan.
Sejajarkan tindakan dengan pengetahuan
Kita terkadang bertanya-tanya, mengapa seseorang tidak gegabah dan pandai memilih tindakannya. Sebenarnya, orang seperti ini biasa menginvestigasi semua kejadian di sekitarnya. Mereka menganggap investigasi adalah pekerjaan rumah yang tidak berujung, dan tidak pernah ada waktu jaga tanpa kegiatan ini. Ia mempelajari kegagalan dan berupaya untuk mengerti mengapa hal itu terjadi, kemudian dengan cepat menganggap kegagalan ini sebagai bagian dari proses pembelajaran.
Membangun momentum
Kita sadar bahwa menang itu membangun semangat. Karenanya, para individu yang bold ini menjaga situasi-situasi kecil yang bisa dimenangkan, untuk menjaga mentalnya. Dengan kemenangan yang terkontrol ini, individu bisa memetakan situasi lebih baik, mempunyai “sense of action”, untuk menentukan kapan menambah energi, kapan maju, dan kapan membiarkan momentum berlalu dan menunggu sampai semesta bergerak sendiri.
Yang jelas, kita semua bisa bertindak lebih bold, mengukir rencana, memperhatikan tindakan kita menuju sukses, memanfaatkan situasi kemenangan, dan membangun hubungan baik yang lebih kental. Ini adalah rahasia karisma seorang pemimpin.
Dimuat dalam KOMPAS, 27 Mei 2017
"THE UGLY TRUTH"
Masih ingat plesetan “rule #1 the boss is always right, rule #2 If the boss is wrong, see rule #1”? Kita semua menyikapinya sambil tersenyum paham, karena mungkin juga mengkaitkan dengan pengalaman kita sendiri dalam berinteraksi dengan mereka yang berada dalam posisi berkuasa. Melihat hal ini, kita bisa mengingat dongeng HC Andersen mengenai Raja Telanjang. Konon, raja ini gila penampilan, selalu merasa bahwa pakaiannyalah yang terbaik. Sampai ia menyelenggarakan sayembara untuk mendapatkan baju raja yang terbaik. Datanglah sekelompok penipu yang mengaku akan membuat baju yang tiada duanya di dunia ini. Raja tertarik dan memberi ruang khusus yang diperlukan para penipu yang mengaku tukang jahit ini.
Dari waktu ke waktu Raja menginspeksi dan melihat kegiatan para ahli jahit itu, tetapi tak kunjung melihat bajunya, padahal emas dan perak telah diberikan kepada mereka yang katanya akan dibuat sebagai bahan pembuat baju. Ketika ia bertanya, para ahli itu mengatakan, “Bagaimana mungkin anda tidak melihatnya? Ini baju terindah yang sedang kami jahit. Hanya orang yang cerdaslah yang bisa melihat baju ini”. Takut dianggap bodoh, Raja mengangguk-angguk dan kemudian menginstruksikan para mentri bergantian melakukan inspeksi. Tidak ada yang ingin dianggap bodoh sehingga semua mentri juga memuji-muji baju tersebut.
Ketika baju siap, raja mulai memakainya dan berjalan ke publik. Berita mengenai kehebatan baju tersebut sudah tersebar sehingga semua orang bertepuk tangan kagum melihat keindahannya. Sampai, seorang anak kecil mengatakan dengan polos, ”Kok raja telanjang?” Bagaimanapun diberitahu bahwa itu adalah baju yang sangat khusus, kepolosan anak kecil itu tetap saja bersikeras bahwa raja telanjang. Sampai akhirnya ada yang berani mendukung komentar si anak kecil tersebut, barulah banyak orang mulai berani tertawa dan mengakui kebenarannya. Alangkah beratnya mengusung kebenaran! Apalagi bila beresiko terhadap diri kita sendiri, baik itu jabatan, citra diri maupun status sosial. Tidak jarang kita melihat sebuah presentasi yang membuka borok malahan dipertanyakan kebenarannya oleh penguasa organisasi yang merasa terpojok sampai-sampai presentasi tersebut seolah terasa salah. Beginilah cara tertutupnya kebenaran di suatu organisasi, pendapat serta yang berani berpendapatlah yang kemudian jadi dominan. Adu pendapat, bahkan pemutar balikkan kenyataan, menyebabkan kita benar-benar bingung dan akhirnya sulit memegang kebenaran.
Bangga berdiri di atas kebenaran
Kebenaran memang pahit. Bisa jadi seperti menepuk air di dulang dan terpercik muka sendiri yang membuat rasa tidak enak dan meresahkan. Oleh karena itu, tidak mengherankan, semakin menjamurnya gejala pura-pura tidak lihat yang pada akhirnya menyebabkan, baik si pemberi informasi serta khalayak lain dalam organisasi frustrasi dan mengambil jarak dari kenyataan. Bahkan kita juga tahu istilah “kill the messenger”, yaitu yang menguakkan fakta, malah dikeroyok ramai-ramai.
Ketika ada yang mengungkapkan kasus kecurangan, alih-alih melalukan investigasi kasus, malah kredibilitas pengungkap yang diobrak abrik. Banyak orang yang menghindari untuk menjadi whistle blower karena risiko pribadi yang besar. Pemimpin bisa juga menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan pembelaan diri terhadap kenyataan. Bahkan dalam film A Few Good Men sang kolonel berkata kesal, "The truth – you can’t handle the truth", ketika dirasakan gejala “rose glass syndrome", di mana atasan hanya ingin mendengar laporan yang baik-baik saja.
Kita semua tahu bahwa tanpa rasa percaya yang dilandasi kebenaran, tidak ada perusahaan, lembaga, ataupun kabinet negara yang bisa berkinerja baik. Ini adalah tantangan kita semua, mulai dari atas sampai bawah untuk kembali ke hal yang hakiki, yaitu fakta dan kebenaran. Walaupun benar setiap manusia memiliki hasrat yang sering didasari pleasure principle sementara realitas biasanya keras, kita tetap perlu menjadi orang-orang yang tangguh dalam menghadapi kenyataan. Kita tidak bisa membangun bangsa dengan kuping tipis ataupun kulit badak. Tidak ada pilihan selain mengacu pada kebenaran. "Window dressing" dan beragam cara memperbaiki kemasan untuk menjadikan kebenaran lebih cantik dari sebenarnya tidak akan membawa kebaikan. Kita tidak akan pernah bisa menutupi aib, kekurangan, apalagi kecurangan untuk waktu yang lama.
Hai, generasi muda, teriakkan nalarmu!
Banyak orang menuduh Gen-Y sebagai mahluk Tuhan yang sudah tidak peduli sekitar, lebih mementingkan gadget daripada peduli pada sesama. Namun, kritik semata tidak akan membawa perubahan. Tanggung jawab kita semualah menggugah generasi muda untuk percaya pada kebenaran. Kalau perlu gunakan media-media komunikasi mereka untuk mengajak para anak muda menjaga sistem command & control, menjadikan mereka generasi kritis dan bertanggung jawab. Kita butuh angkatan muda yang adaptif dan tidak gentar membuka kebenaran. Tidak boleh mereka terpengaruh dengan samarnya fakta dan data, apalagi kalau mental menjadi cacat karena rasa takut pada otoritas. The truth will set you free, but first it will piss you off ( Gloria Steinem)
Dimuat dalam KOMPAS 28 November 2015
"Sebenarnya, Kita Hidup di Dunia Hanya 2 Menit 1 Detik"
Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekadar lewat (HR Bukhari)
Dari 7 besaran ISO (International Standard Organization) yang di rumuskan yakni panjang, temperatur, massa, waktu, arus listrik, jumlah zat dan intensitas cahaya, hanya satu besaran yang susah untuk dipahami, waktu. Hidup manusia di dunia terfungsikan oleh waktu. Waktulah yang membatasi antara satu kehidupan dengan kehidupan yang lain.
Waktu menurut para ahli adalah besaran untuk mengukur tingkat perubahan yang terjadi pada benda atau zat. Kita sendiri menjadi bukti dari definisi ini, masih ingatkah saat kita kecil ditimang oleh bunda kita atau saat kuda-kudaan dengan ayah kita, namun lihat diri kita sekarang, sudah berubah dari saat kita digendong dan main kuda-kudaan bukan? itu semua karena waktu.
Pada zaman dulu, manusia menganggap waktu itu absolute, kecuali dalam Islam. Waktu dianggap sama saja tidak peduli pada acuannya. Baru pada abad 20, ilmuwan termasyhur abad 20, Albert Einstein mengeluarkan postulat yang menyatakan bahwa waktu bersifat relatif tergantung pada acuannya. Einstein memisalkan, jika seorang laki-laki mengobrol dengannya yang sudah tua, beruban dan keriput, mengobrol satu jam seperti satu abad. Sedangkan jika mengobrol dengan yang masih muda, cantik dan anggun mengobrol lima detik bisa terasa lima jam. Kurang lebih seperti itulah relativitas, kata Einstein.
Sekarang mari kita coba untuk membandingkan waktu dengan kerangka acuan waktu di dunia yang berdasarkan atas rotasi dan revolusi bumi atau benda langit lainnya dibandingkan dengan kerangka acuan akhirat berdasarkan berita dari Al-Qur’an dan Al hadits.
Firman Allah dalam Surat al-Mu’minuun [23] : 112-114
Allah bertanya: “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab: “Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada (malaikat) yang menghitung. Allah berfirman: “Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui.
Dalam ayat ini, aroma relativitas waktu sangat kentara. Bayangkan, manusia yang hidupnya kurang lebih 70 tahun, ketika ditanya Allah menjawab hanya hidup satu hari atau setengah hari. Kemudian ditimpali oleh Allah bahwa hidupnya hanya sebentar saja, hanya sebentar.
Firman Allah yang lain dalam surat An-Naazi’aat [79] : 46
Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.
Dalam ayat ini lebih cepat lagi, hidup kita dirasakan hanya selama waktu sore atau pagi hari. Jika waktu sore di mulai jam 3 dan diakhiri jam 6, berarti kita merasa hidup cuma 3 jam. Dan jika pagi hari dimulai jam 7 dan selesai jam 11 berarti kita merasa hidup hanya 4 jam. Tentu saja lebih sebentar dari ayat sebelumnya.
Firman Allah Selanjutnya dalam surat Yunus [10] : 45
Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat di siang hari, (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk.
Pada ayat ini, lebih tinggi lagi komparasinya, hidup kita hanya dirasa SESAAT SAAT SIANG HARI saja, ALLAHUAKBAR.
Dan sekarang mari kita coba untuk menghitung perbandingan lama hidup kita menurut apa yang telah disampaikan nabi kita.
Bagaimana keadaan kalian jika Allah mengumpulkan kalian di suatu tempat seperti berkumpulnya anak-anak panah di dalam wadahnya selama 50.000 tahun dan Dia tidak menaruh kepedulian terhadap kalian? (HR Hakim dan Thabrani)
Dan Firman Allah dalam surat Al-Ma’arij [70] : 4
Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabb dalam sehari yang kadarnya 50.000 tahun.
Hadits di atas berhubungan dengan keadaan kita nanti di padang mahsyar, kata nabi Muhammad, kita berada di padang mahsyar selama 50ribu tahun yang sama nilainya dengan 50 milenium sama dengan 500 abad sama dengan 6250 windu. Adakah waktu ini sebentar?
Jika kita korelasikan hadits tersebut dengan ayat di bawahnya, kita akan menemukan suatu angka yang sangat fantastis. Mari coba kita hitung. Manusia zaman ini hidup dengan umur rata-rata 70 tahun, Rasulullah Muhammad meninggal pada usia 63 tahun. Maka, perantauan kita di dunia jika dibandingkan dengan relativitas waktu di padang mahsyar hanya akan terasa 2 MENIT 1 DETIK, nilai tersebut didapat dari perbandingan sederhana yang bisa dihitung oleh siswa SD kelas 4.
Benar, HANYA 2 MENIT 1 DETIK. Maka benarlah pada hari yang dijanjikan itu, manusia-manusia yang ingkar terhadap Robb nya akan diliputi penyesalan yang mendalam, penyesalan karena waktunya (yang singkat) hanya dipakai untuk hal-hal yang sia-sia, penyesalan karena waktunya (yang singkat) hanya dimanfaatkan untuk bermalas-malasan, penyesalan karena waktunya (yang singkat) hanya dimanfaatkan untuk melakukan maksiat dan dosa.
Mereka pun mengandaikan bisa kembali ke dunia, namun sayang, penyesalan tinggal penyesalan. Maka tenggelamlah mereka oleh keringatnya sendiri, karena malu dan takutnya mereka dan semoga kita bukan bagian dari orang-orang yang menyesal tersebut.
Namun saat itu ada juga yang dinaungi awan kasih sayang oleh Robb, kita paham bahwa pada saat itu matahari hanya sejengkal di atas kepala. Merekalah orang-orang yang beruntung. Orang-orang yang menjadikan waktunya untuk memperjuangkan agama Robb nya. Orang-orang yang menjadikan waktunya untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat buat diri dan sesama. Orang-orang yang menjadikan waktunya untuk senantiasa beribadah kepada Ilah nya. Mereka pun puas akan apa yang dilakukannya. Tidak sia-sia setiap tetes keringat dan tiap tetes darah yang mereka keluarkan demi kemuliaan agama ini. Tidak sia-sia mereka menahan gejolak mengumbar aurat dan berjuang menahan panas memakai jilbab bagi wanita. Tidak sia-sia mereka menahan setiap sentuhan, pandangan, pendengaran dari yang tak semestinya dilakukan. Benar, tidak akan sia-sia setiap amal kebaikan kita. Itulah hidup kita kawan, hanya sebentar.
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). (QS al-Hasyr [59] : 18)
Perhitungan di atas memakai acuan padang mahsyar dan acuan waktu dunia, karena memang acuan padang mahsyar saja yang bisa kita perbandingkan. Sebab, kehidupan dunia ini tak akan bisa kita komparasi dengan surga atau neraka. Setiap yang kafir dan munafik masuk neraka sedangkan muslim masuk surga. Mereka yang munafik adalah orang-orang yang mengetahui hukum Allah namun kemudian ingkar, mereka yang menerapkan agama secara parsial, mengambil yang satu dan meninggalkan yang lain dan mereka yang muslim namun ragu akan nilai keislamannya.
Dan agama ini sudah sempurna. Baik dan buruk, halal dan haram sudah ditetapkan dengan jelas. Setiap aturan kehidupan mulai dari pergaulan, ekonomi, tatacara politik, pendidikan, sosial, hukum, dan ibadah sudah paripurna. Semua kembali kepada kita, maukah memakainya atau kita tetap dengan keadaan sekarang. Keadaan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Wallahu a’lam bi ash shawab.
Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan Maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat? (HR Muslim)
Rabu, 07 Juni 2017
Jangan Sampai Tak Ada Jabrohim
Kebudayaan harus punya Jabrohim, apalagi peradaban. Negara harus punya Jabrohim, apalagi Indonesia. Rakyat harus punya Jabrohim, apalagi masyarakat, Kaum Muslimin harus punya Jabrohim, apalagi Muhammadiyah. Makhluk-makhluk Tuhan harus ada Jabrohimnya, apalagi manusia.
Kalau kebudayaan tak punya Jabrohim, ia akan mengering, sampai akhirnya tidak bisa lagi disebut kebudayaan. Kebudayaan menjadi segar dan subur kalau ada yang merawat dan menyirami keindahan. Itulah Jabrohim. Kebudayaan tanpa Jabrohim-Jabrohim, akan gagal menjadi peradaban.
Kalau Negara tidak punya Jabrohim, para pelakunya akan sibuk main kayu satu sama lain. Karena mereka tidak mengenal pohon dengan urat-uratnya, akar dengan tanahnya, dedaunan dengan seratnya, kembang-kembang dengan wanginya, serta bebuahan dengan lezatnya. Jabrohim adalah penjaga ekosistem silaturahmi antara buah, kembang, daun, ranting, dahan, pohon, akar, tanah, air, bumi, langit dan Tuhan. Negara dengan peran Jabrohimlah yang membuat ia bernama Indonesia.
Kalau Rakyat berkerumun tanpa Jabrohim, mereka akan menjadi makhluk pasar, penyembah harta benda, perakus uang dan penserakah materi, yang agamanya adalah materialismenya. Jabrohim menjaga pintu di tepian pasar agar tetap ada lorong ke wilayah-wilayah yang bukan benda. Jabrohim menghembuskan angin dari angkasa, menerpa wajah dan tengkuk para penghuni pasar, sehingga mereka akan suatu saat ingat bahwa mereka bukan robot-robot keuangan. Mereka akan sesekali berserikat sehingga menjadi masyarakat, yang menemukan bersama bahwa hiruk pikuk pasar bukanlah tujuan manusia, melainkan alat untuk memenuhi sebagian kebutuhan jiwa mereka.
Kalau Jabrohim tidak ada di tengah Kaum Muslimin, maka para pelaku Islam terjebak menjadi mujahid-mujahid transaksi pahala dan dosa, sorga dan neraka. Peran rohaniah kesusastraan yang dirawat oleh Jabrohim akan mengembalikan Kaum Muslim menemukan kembali bahwa tema penyembahan kepada Tuhan adalah cinta. “Katakanlah wahai Muhammad (kepada ummatmu): Kalau kalian memang mencintai Allah, maka ikutilah jejakku, maka Allah pun akan mencintaimu, serta mengampuni dosa-dosamu…”
Berapa ribu bumi dengan kandungan tambang-tambangnya, dengan kekayaan laut dan daratnya, yang bisa diperbandingkan dengan cinta Allah dan perkenan-Nya untuk mengampuni dosa-dosa kita? Kalau manusia adalah manusia, kalau manusia benar-benar manusia, bisakah ia terpesona kepada apapun saja isi dunia dan alam semesta melebihi kebahagiaannya dicintai oleh Allah dan diampuni dosa-dosanya?
Bukankah manusia memang bukan kerbau atau buah ketela atau Malaikat, yang tidak punya eksistensi, posisi dan pergerakan untuk ber-tajdid dan ijtihad? Dan kemanakah gerangan arah tajdid dan ijtihad kecuali menempuh jalur perbaikan diri manusia agar lebih mendekat dan lebih mendekat lagi ke perkenan cinta Allah serta pengampunan dosa?
Kalau kehidupan adalah rumah, Jabrohim adalah perawat keindahannya. Untuk apa rumah kalau tidak indah? Kalau kehidupan adalah dapur, Jabrohim adalah kulkasnya, yang mengawetkan bahan-bahan makanan minuman agar lebih panjang usia dan fungsinya. Kalau kehidupan adalah manusia, maka Jabrohim adalah penjaga kelembutan hatinya. Kalau kehidupan adalah pohon, Jabrohim adalah tanah, air dan udaranya.
Mungkin kebanyakan manusia yang menghuni bumi tidak mengenal kesusastraan, cerita pendek, novel, puisi, reportoar drama, atau bentuk-bentuk lainnya. Jabrohim adalah sebuah peran untuk menyimpan karya-karya kesusastraan itu dalam waktu dan mengalirnya zaman. Supaya pada suatu hari, lambat atau cepat, besok atau kelak, manusia tetap memiliki kesempatan untuk menemukan bahwa yang dikandung oleh karya-karya sastra itu bukanlah sesuatu yang berada di luar diri manusia. Melainkan merupakan kandungan gizi-gizi rohaniah di dalam diri manusia sendiri.
Banyak ketidaktepatan yang dilakukan oleh para ilmuwan dan akademisi dalam urusan kesusastraan. Mereka memperkenalkan outputnya, bentuknya, formulanya yang dibangun melalui susunan kata-kata. Sehingga masyarakat mengenali sastra sebagai bentuk, sebagai kehadiran fisik, eksistensi pancaindera, dan menyangka sastra adalah deratan huruf-huruf, seni adalah kumpulan suara, warna, garis dan cuatan-cuatan serta gerak-gerik.
Padahal sastra adalah diri manusia sendiri. Karya-karya sastra adalah bagian terpenting dari jiwa manusia sendiri: kelembutan, cinta, kehalusan budi, anatomi rohani, esensi jiwa, nuansa, Kristal dan apa saja yang mengkomposisi menjadi jiwa manusia. Karena tradisi ilmu dan maniak kategorisasi-kategorisasi akademik, manusia dibuat salah sangka bahwa kesusastraan adalah sebuah bidang, sebuah wilayah disiplin, yang berbeda dengan arsitektur, biologi, pertanian atau politik.
Dunia ilmu dan tradisi akademik sangat gagal menggambar kehidupan, apalagi mengantarkan keutuhannya kepada masyarakat. Untunglah Jabrohim adalah Dosen Sastra. Dan volume atau prosentase kedosenannya paling banyak 30 persen secara kualitatif. Yang 70 persen adalah cinta, ketekunan dan kesetiaannya kepada nilai-nilai batiniyah yang ia memperjalankan pengabdiannya hingga senja usianya. Itu yang membuat wajah Pak Jabrohim tersenyum sepanjang hidupnya. Jabrohim adalah senyumnya itu. Wajahnya adalah senyuman. Eksistensinya adalah sentuhan cinta kepada keindahan.
Kalau pakai terminologi Pandawa Lima, Jabrohim adalah Puntadewa yang lembut, mengayomi sambil bertapa di bilik dalam kalbu setiap mahasiswa dan anak-anak asuhnya. Kalau pakai terminologi Rukun Islam, Jabrohim adalah ketekunan dan kekhusyukan Shalat Lima Waktu: ia mengepung hari, menyelubungi siang dan malam dengan cinta, kesaksian atas keindahan dan rasa syukur yang abadi. Kalau pakai terminologi Sahabat Empatnya Rasulullah Muhammad saw, Jabrohim adalah Abu Bakar yang mengasuh keadaan, meniti waktu dengan langkah-langkah kaki yang sangat lembut dan hampir tak kedengaran.
Kalau engkau menatap Jabrohim dari bumi: Jabrohim hanyalah seorang Dosen, pengurus Universitas di Fakultasnya. Seorang suami yang penuh kasih sayang. Seorang Bapak penyemangat dan pengawal generasi yang akan tandang di masa depan. Seorang sahabat yang tidak tahan untuk tidak memberi, menyodorkan hati dan tangannya untuk menolong dan membikin mudah siapa dan apa saja di depan dan sekitarnya.
Tapi kalau engkau memandangnya dari angkasa, dari lapis yang terendah saja pun dari permadani-permadani berlapis yang membentuk langit: Jabrohim adalah anugerah Allah yang tak boleh tak ada, karena semua yang telah terhampar sejak awal tulisan ini, yang engkau semua silakan membaca dan mengelilinganya kembali.
Yogyakarta, 15 Desember 2017
PENULIS : Emha Ainun Nadjib (Cak Nun)
Langganan:
Postingan (Atom)