Rabu, 11 Oktober 2017
Beda Persepsi, Beda Orientasi
Beda orientasi, beda persepsi. Siapa yang menjadikan kekuasaan sebagai orientasi, maka ia akan melakukan segala cara untuk meraihnya. Bahkan bila harus merebut dan menyikut, tak ada yang membuatnya takut. Oleh yang berbeda orientasi, ia bisa dianggap gila. Tahta dan kedudukan adalah hal yang tidak masuk akal bagi siapa pun yang memang tak berpikir untuk memilikinya. Baginya, kekuasaan bukanlah cita-cita.
Beda orientasi, beda persepsi. Siapa yang menjadikan kekayaan sebagai orientasi, maka ia akan mengerahkan segala daya dan upaya. Walau dengan mencuri dan korupsi, tidak ada yang bisa membuatnya ciut nyali. Oleh yang berbeda orientasi, ia bisa dicap telah kehilangan hati nurani. Harta benda di dunia adalah hal yang tidak kekal bagi mereka yang berpandangan ukhrawi. Yang sejatilah yang selalu mereka cari.
Beda orientasi, beda persepsi. Siapa yang menjadikan keberkahan sebagai orientasi, maka ia akan mengerjakan segala tindakan demi memeroleh yang diinginkan. Meski harus mengabdi dan mematuhi perintah junjungannya, tak ada yang diharapkannya selain ridha dan restu. Walau dianggap bodoh dan berbuat tidak logis -- karena memilih untuk taqlid -- tak ada yang membuat dirinya meragu dan berubah pikiran.
Bagi pegila kekuasaan, harta mudah ia miliki. Bagi penguber kekayaan, kuasa bisa dibeli. Bagi pengharap keberkahan, kekuasaan dan kekayaan tidak abadi. Satu dan lainnya sangat sulit, bahkan nyaris mustahil, berjumpa dalam satu persepsi yang sama dikarenakan sejak mula memang berbeda orientasi. Tapi, tidak selayaknya menuduh ketiganya melakukan semua itu tanpa cinta. Tak ada yang tahu isi hati selain diri sendiri.
Cinta menjadi penengah di antara hal-hal yang berjauhan, berlainan, bahkan berseberangan. Cinta menjadi harapan ketika menyamakan persepsi menjadi hal yang rumit. Kekuasaan, kekayaan, dan keberkahan menjadi kekuatan yang luarbiasa ketika disatukan oleh Cinta. Kekuasaan tidaklah selama-lamanya, kekayaan pun tidak abadi, keberkahan juga tidak kekal. Sebab, segala sesuatu niscaya sirna selain Wajah Allah.
Namun, beda orientasi tetaplah beda persepsi. Ia yang tidak menjadikan Allah sebagai orientasi akan menilai orang yang menyerahkan seluruh jiwa dan raganya, serta kekuasaan dan hartanya, bi amwalikum wa anfusikum, kepada Tuhan, sebagai orang aneh. Melepas hal-hal duniawi justru dianggap tidak lagi manusiawi. Cinta kepada Allah tak boleh berlebihan sampai meninggalkan sekelilingnya dan menghilangkan sisi kemanusiaan, begitulah argumennya.
Tapi, berbeda orientasi itu sah-sah saja. Pun demikian berbeda persepsi boleh-boleh saja. Yang dilarang adalah sikap memaksakan kehendak agar siapa pun satu orientasi dan satu persepsi dengan dia atau kelompoknya. Yang berbeda janganlah disakiti, apalagi dihabisi. Yang berlainan janganlah dipinggirkan, lebih-lebih disingkirkan. Menjadi berbeda itu manusiawi. Dari hal-hal yang khas itulah terhimpun khazanah. Keberagaman.
Tidak ada paksaan dalam beragama ini diatur dalam Q.S. Al Baqarah ayat 256. Keberagaman dalam keberagamaan tak bisa dipaksakan menjadi keseragaman dalam keberagamaan. Apalagi, sangat mudah bisa diyakini bahwa agama yang baik dan benar; bahkan yang terbaik dan paling benar, adalah agama yang mengajarkan umat menyempurnakan akhlaq yang mulia. Dan di dalam akhlaq yang mulia itu hidup Cinta yang sejati.
Di dalam Cinta yang sejati itu, hidup hati yang baik, pekerti yang berbudi luhur, welas asih, sikap ringan meminta maaf dan tidak berat memberi maaf, serta tindakan-tindakan kemanusiaan yang didasarkan atas sifat-sifat Ilahiah yang penuh kasih sayang. Lalu, berkelindan dengan larangan untuk memaksakan kehendak, larangan berikutnya adalah larangan untuk melanggar hak sesama. Saling menghormati selalu lebih baik.
Perlindungan terhadap hak ini diatur dalam perundang-undangan. Bahkan, agama Islam mengajarkan adanya hak orang lain di dalam hak setiap orang. Dari sanalah lahir kewajiban untuk menunaikan zakat dan anjuran untuk sedekah, infak, dan amal saleh lainnya. Secara ideal, negara dan agama hadir menengahi perbedaan orientasi dan persepsi agar masing-masing berjalan baik dan tidak saling berbenturan.
Persoalannya adalah orientasi dan persepsi adalah isi kepala dan dada masing-masing. Artinya, Cinta, negara, dan agama telah berupaya memberi garis batas yang jelas dan tegas untuk melindungi kemerdekaan orientasi dan persepsi, sebagaimana kebebasan dalam berpendapat, berkelompok, beragama dan menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya. Kini selebihnya kembali pada manusianya.
Setiap manusia memiliki bakat baik hati dan berbuat baik pada sesama. Jika pun kemudian memiliki orientasi dan persepsi yang berbeda, itu merupakan bagian dari pertumbuhan psikologi dan spiritualitas masing-masing. Dewasa secara jasmani tidak selalu diikuti oleh pendewasaan ruhani. Oleh karena itu, daripada menuntut orang lain mengerti, alangkah lebih indah berusaha untuk mengerti orang lain. Anda dewasa, kan?
Oleh : Candra Malik
Jumat, 23 Juni 2017
It’s a Wonderful Life
Teman saya pernah mengajarkan, “Bila menghadapi kehilangan, kematian dan suasana duka, ucapkanlah ‘Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun’. Sebaliknya, bila takjub dengan keajaiban dan keindahan alam, menghadapi situasi dan pengalaman yang menyenangkan, ucapkan juga kalimat tersebut, yang berarti, “Segala yang berasal dari Allah yang Maha Kuasa, akan kembali kepada Allah”. Bagi saya kalimat ini sangat membantu di saat-saat sangat susah atau sangat senang, karena pada saat itulah kita seakan diingatkan kembali bahwa adik, kakak, anak, pasangan, rizki, keindahan alam, jabatan, karir, dan sehebat-hebatnya ikhtiar kita, adalah “pinjaman” dan “amanah”.
Meski sadar bahwa roda kehidupan memang harus berputar, namun begitu cepatnya dan semakin sulitnya kita memprediksi ‘future’ benar-benar bisa membuat kita panik, kehilangan pegangan. Kematian Benazir Bhutto, banjir yang melanda kota-kota yang biasanya tidak kenal banjir, air pasang yang menyebabkan bisnis pariwisata sekitar Kuta terpuruk, global warming, dan belum lagi ramalan-ramalan mengenai semakin ‘edan’-nya dunia di masa mendatang, benar benar membuat hati galau. Bagi saya, kata ‘change’ yang dikumandangkan para ahli manajemen dan futuris mulai terdengar basi. Baru saja merencanakan “action” perubahan, lapangan dan pasar seakan belut, licin dan sudah berubah lagi. Tak bisa menghindar, kita memang sudah berhadapan dengan hal-hal tak terduga. Dalam situasi serba tak terprediksi, bahkan kekacauan yang mengerikan begini, bisakah dan bagaimanakah kita bisa bersikap positif pada dunia kehidupan kita?
Be “Present”
Kata ‘Present’, berarti ’hadiah’ dan juga berarti ’saat ini’. Seorang ahli time management, mengatakan bahwa ‘being present’ (keberadaan kita saat ini) adalah ‘present’ (hadiah) terbesar dalam hidup kita. ‘Being present’ berarti realistis dan sadar apa yang ada dihadapan kita, menghargai dan memanfaatkan semua ‘resources’ yang kita miliki. Being present atau ‘Live your Life’, adalah nasihat Richard Branson, pemilik Virgin Group pada putra-putrinya ketika ia tengah menghadapi maut, agar mereka menghayati betul kehidupan yang tengah dilalui sekarang, tidak menyesali masa lalu dan tidak kuatir akan masa depan. Tidak pelak lagi inilah pilihan sikap yang paling sehat dalam menghadapi hidup ini.
Memilih sikap ‘being present’ memang mudah dikatakan, tetapi tidak mudah dilakukan. Berapa sering pikiran kita melayang dan tidak “konsen” bila sedang rapat, mengikuti pelatihan, menghadapi klien, bahkan menghadapi anak sendiri? Kita sangat sadar bahwa orang yang paling penting adalah orang di hadapan kita, tetapi berapa sering kita menerima panggilan telpon genggam ketika menghadapi orang secara tatap muka? Rasanya kita memang masih bisa lebih menghargai momen-momen yang sebenarnya sudah diberikan kepada kita dan lebih memanfaatkan sebaik-baiknya .
Kita Dibutuhkan oleh Orang Lain
Teman saya yang bermukim di Inggris, tiba-tiba mencari pekerjaan di Indonesia. Ketika saya tanyakan alasannya, ia berkata bahwa ia menemani ibunya, yang semakin meningkat percepatan “layu”-nya sepeninggal ayahnya. Keluarga, teman yang bahkan sudah lebih dekat daripada anggota keluarga, kolega yang sudah bersusah-senang bersama kita, adalah “kekuatan” bahkan “mistik” tersendiri yang membuat kita bisa menikmati hidup dan menjadikan kita bisa lebih kokoh berdiri menghadapi kekacauan, badai, serta cobaan.
Kita sebenarnya bisa menghitung betapa beruntungnya kita bila masih ada teman, kakak, adik, suami, istri, anak, atau tetangga yang bisa kita ajak merapatkan barisan atau bahkan “holding hands” di kala gundah. Sebaliknya, kesadaran bahwa kita bisa memberi support mental kepada anggota keluarga lain, saudara, teman, tetangga, akan membuat kita mendapatkan kekuatan dan semangat menolong dobel karena keyakinan bahwa kita dibutuhkan.
Niat Baik adalah Pondasi
Dalam suatu pertemuan, saya mengajak para peserta yang hadir untuk mengungkapkan misi dan niat utama dalam bekerja dan dalam hidupnya. Saya cukup terkejut, karena ternyata sangat sedikit yang bisa dengan lantang menyebutkan niatnya. Entah karena malu, jarang melakukan introspeksi diri atau sekedar tidak ingin terbuka. Yang jelas, bila niat kita tidak terbaca, tidak jelas atau tidak dimengerti, maka gerak dan langkah kita pasti juga tidak jelas dan mengambang.
Niat seperti, ”Saya ingin belajar terus sampai usia 70 tahun”,”Saya ingin anak buah saya sukses”, ”Saya ingin jadi orangtua yang baik, ketimbang jadi profesional yang sukses”, atau ”Saya ingin berwirausaha bila tabungan saya cukup”, sebenarnya tidak perlu disembunyikan atau ditutup-tutupi. Asalkan niat kita lantang, lurus, bersih dan tidak diwarnai dengan “vested interest”, maka biasanya kita akan punya pengikut, mendapatkan kawan seperjuangan, bahkan bisa melihat persamaan arah dengan orang lain, perusahaan, bahkan Negara. Niat yang baik dan kuat bisa menjadi pondasi kita agar tetap berdiri bagai batu karang dalam hempasan ombak. Apalagi kalau kita betul-betul berniat untuk mencerdaskan, membersihkan dan membela lingkungan, apalagi bangsa.
Jatuh, bangun, terpuruk, sukses akan selalu kita alami sepanjang perjalanan hidup kita. Tapi, masih ingatkah Anda film getir “Life is Beautiful” (La vita รจ bella) karya sutradara dan aktor kondang Roberto Benigni? Kalau dalam keadaan terjepit, hampir terbunuh begitu, ia masih bisa melihat indahnya kehidupan, kita pun pastinya bisa menghadapi kompleksitas situasi dunia kita dengan sikap yang lebih optimis dan menghayati betapa berharganya hidup ini.
“Just open your eyes. And see that life is beautiful.”(Roberto Benigni)
ANTUSIASME
"An enthusiast is a fanatic about life. And because the enthusiast has the attitude that good things will happen, good things do happen." – Anonymous
Banyak orang berharap bahwa “making your day” atau ‘hari yang indah’ datang dari cuaca, situasi eksternal dan orang lain. Saya jadi teringat pada teman saya, seorang yang berenerji tidak ada habisnya. Ia selalu menelpon saat sedang ‘bete’ sambil berujar, “Tolong semangati saya dong! Aku lagi butuh dipuji-puji nih....”. Namun, saya tahu benar bahwa tindakannya minta disemangati sebenarnya adalah upayanya untuk intermezo saja, karena ia seolah punya sumber emosi di dalam dirinya dan selalu menularkan aura antusiasme ke sekitarnya. Yang jelas, antusiasme itu sumbernya di dalam individu. Banyak orang berpikir bahwa ini adalah talenta individu yang tidak dapat dipelajari. Padahal bila kita telaah lebih jauh, teman kita ini sekedar berperilaku bagaikan orang yang sangat lahap menghadapi makanan sehingga membuat orang yang menyaksikan juga ingin makan. Bukankah “makan dengan lahap” bisa dilakukan semua orang? Tetapi kenapa antusiasme seperti “talenta tersembunyi” yang sulit dipunyai semua orang?
Ciptakan Arena Perlombaan Kita
Kita pasti pernah masuk dalam situasi yang berulang dan membosankan, di mana kita kemudian berkomentar,“Ah..., lagu lama...”. Padahal, situasi yang sama tidak selamanya membosankan, karena sangat bergantung bagaimana kita melihatnya. Di sebuah perusahaan yang berkembang sangat-sangat pesat, tingginya pertumbuhan pelanggan bisa dianggap lagu lama, padahal bagi kompetitor hal ini dilihat sebagai sesuatu yang begitu menggiurkan dan menggetarkan. Ketidakmampuan untuk mempersepsi tantangan kecil dan barulah yang sering membuat orang tidak bisa antusias.
Beruntunglah para olah ragawan yang tidak bisa lari dari tantangan yang satu ke yang lain. Begitu dia menang tingkat kelurahan, ia langsung ditantang untuk memasuki tingkat kecamatan! Dalam lingkungan di mana perlombaan tidak tergambar secara eksplisit, persepsi individulah yang perlu dibuat agar dunia kerjanya tak ubah sebuah gelanggang yang tiada hentinya. Seorang dosen yang bertahun-tahun memegang mata kuliah tertentu, bisa memilih untuk tertantang mendapat bahan-bahan baru, cetakan buku terbaru, kasus-kasus yang paling update berkenaan dengan materinya. Kita bisa bayangkan betapa mahasiswanya akan merasakan antusiasme dosen ini, dibandingkan dengan hanya menghafalkan fotokopi turun-temurun dari kakak kelas 5-10 generasi yang lalu.
Selalu Dekat dengan Tren & yang sedang ‘In’
Saya kagum pada kolega saya yang selalu sedemikian “awas” menemukan pakaian, warna, dan asesoris yang sedang paling “in”. Ternyata modalnya tampil trendi hanyalah dengan melihat-lihat majalah mode di pinggiran jalan, tanpa perlu membeli. Ia sudah sangat terlatih untuk melihat apa yang berulang, apa yang secara menonjol baru, dan apa yang kemudian dipilih sebagai tren terbaru. Tentunya semangat ini sudah menjadi darah dagingnya. Yang jelas, “being trendy” memudahkan kita membangkitkan antusiasme. Bukankah rumah baru, baju baru, teman baru selalu membuat kita bersemangat? Minat terhadap sesuatu yang baru, yang fresh dan berbeda, bisa mendorong kita untuk “berbuat” lebih cepat, lebih giat dan lebih aktif.
Saya teringat seorang teman yang kebetulan bermukim di sebuah desa di Italia. Ketika saya mengeluh mengenai bisnis yang melelahkan, dia lalu menyebutkan beberapa majalah dan situs web yang perlu saya baca. Ternyata majalah dan situs-situs tersebut melulu berisi penemuan baru, desain baru, lagu-lagu terbaru dan tokoh-tokoh yang paling “in” di dunia. Membacanya membuat kita merasa bahwa ada dunia baru terbentang dihadapan kita siap dieksplorasi. Tidak heran teman saya ini, selalu bersemangat tinggi seolah tidak ada lelahnya seolah ingin menjelajah dunia.
Putus Lingkaran Setan
Kita sama-sama setuju bahwa di dunia ini segala sesuatu akan kembali membentuk siklus. Apakah siklus tersebut akan berbentuk lingkaran setan atau lingkaran malaikat, itu tergantung pada bagaimana kita memutarnya. Yang jelas, kalau kita membuat orang lain senang, orang itu pasti akan membalas dengan sikap positif juga. Bahkan orang yang menyaksikan kita dalam situasi tersebut juga langsung bersimpati pada kita. Aura positif ini bisa kita ciptakan dan dengan sendirinya lingkungan akan berbalik menyemangati kita dengan hal-hal yang baik. Sebaliknya, kita pun bisa membuat siklus negatif. Berapa sering kita memasuki rapat yang membahas keluhan pelanggan, misalnya, dan berakhir pada frustrasi karena semua peserta rapat terbenam pada kenyataan bahwa pusat kesalahannya ‘itu lagi, itu lagi’. Benak seorang yang antusias akan menjerit, berputar mencari solusi, mencari jalan keluar, mengarahkan pada tindakan yang musti diambil, dan tidak mengalah pada keadaan. Sebab, sekali mengalah berarti kita terseret siklus negatif tadi.
Nikmatnya Menjalankan Misi
Siapapun pemberi misi, apalagi kalau dia adalah idola, pihak yang kita respek atau sayangi, kita tentunya akan menjalankan misi tersebut dengan bangga dan bersemangat. Seolah anak kecil yang lari dengan bangga ke warung saat disuruh ibunya membeli sesuatu. Kita sering tidak sadar bahwa setiap tindakan bisa mengejawantahkan misi tertentu. Padahal dengan menyadari bahwa kita adalah agen perusahaan, agen keluarga, agen profesi, agen generasi penerus, agen negara yang “dipercaya” untuk mengemban misi, kita pasti bangga dan antusias.
Ditayangkan di KOMPAS, 14 Juli 2007
ASAH EMPATI!
Orang-orang bilang, psikolog jagonya berempati. Semestinya memang begitu, tapi tak selamanya juga terjadi. Teman saya, seorang psikolog lulusan universitas terkenal, acap jadi ‘public enemy’, karena tidak terlatihnya dia dalam menangkap sinyal-sinyal sosial di tempat kerjanya. Misalnya saja, dia tidak sadar bahwa beberapa orang di sekitarnya tidak menyukai caranya ‘memerintah’ rekan kerja. Dia pun tidak menyadari perbedaan pendekatannya dengan rekan kerja yang lain menimbulkan rasa tidak nyaman.
Orang yang ‘mati rasa’ seperti ini bisa dikatakan ketinggalan jaman. Ia bakalan tidak laku lagi sebagai profesional, karena perusahaan akan banyak dirugikan dalam investasi sumber daya manusianya jika diisi profesional dengan ‘soft-skills’ tumpul. Orang seperti ini sulit belajar dan sulit membina hubungan. Otomatis komunikasi menjadi sulit dan tidak efektif.
Terkadang ada pendapat bahwa empati tidak dibutuhkan dalam beberapa situasi kerja, misalnya kompetisi. Ada pula pendapat bahwa seorang salesman perlu berdarah dingin dan mempunyai ‘killer instinct’. Realitanya, dalam dunia kerja terkini, kemampuan ‘masuk dalam sepatu orang lain’ diperlukan untuk membaca pikiran dan perasaan orang lain, misalnya saja dalam negosiasi. Semakin cepat perkembangan bisnis, semakin kita harus pandai membaca emosi dalam ukuran detik. Komunikator yang handal dan peka-lah yang dibutuhkan untuk mendorong proses komunikasi, kerja tim dan kerjasama untuk menunjang penyelesaian proyek dalam waktu yang lebih singkat.
Empati: Proses Pikir atau Rasa?
Ada orang yang seumur hidupnya tidak berniat memperpanjang dan mempertajam ‘radar’-nya untuk merasakan perasaan orang lain. Sebaliknya, ada orang yang punya radar sangat sensitif sehingga sangat peka terhadap perasaan dirinya dan juga orang lain. Dalam dua situasi di atas, belum bisa dianggap yang satu lebih baik dalam berempati dibanding yang lain. Seseorang dikatakan berempati bila ia berpikir sejenak dan berusaha memahami pikiran, perasaan, reaksi, pertimbangan, dan motivasi orang lain. Proses pikir ini pun perlu melibatkan dirinya secara utuh, dengan segala macam risiko perbedaan pendapat, rasa, bahkan kemungkinan konflik. Hanya dengan pengolahan terus-menerus maka individu bisa mengenal ‘status’ perasaannya, lalu kuat berempati dan kemudian memanfaatkan emosinya dalam kehidupan kerja.
Soft Skills, Hard Results
Dalam dunia perbankan misalnya, di mana modal bisnis adalah kepercayaan, mustahil para bankir mengesampingkan kemampuan berempati ini. Bahkan, perlu ada paradigma bahwa kepercayaan tidak bisa hanya dibuktikan dengan seperangkat fakta dan data, tetapi juga ‘rasa’. Inilah sebabnya, mengapa sekarang para bankir tampak lebih ramah, berorientasi ke pelanggan, dan tidak menonjolkan ke-angker-an lembaganya lagi.
Kita lihat bahwa ketajaman ’rasa’, sangat berkaitan dengan kesuksesan bisnis. Dalam pengambilan keputusan pun, intuisi hanya bisa dikembangkan bersamaan dengan kemampuan empati.
Gunakan aturan 93%
Dari risetnya, Albert Mehrabian, mengatakan bahwa dalam komunikasi, hanya 7 % ucapan yang akan diserap oleh penerima berita. Sisanya, yang 93% adalah sinyal non-verbal. Artinya, bila tidak dibantu dengan emosi, semangat, gerak dan intonasi, maka komunikasi kita tidak efektif. Kita perlu mengaktifkan ‘radar’ untuk memantau seberapa jauh pesan komunikasi kita tertangkap dan ditanggapi oleh penerima berita. Misalkan, jika lawan bicara merespons dengan mengerutkan kening atau memejamkan mata saat kita mengungkapkan pendapat, kita tentunya bisa mengira-ngira apakah ia menyetujui pendapat kita atau sedang berpikir keras. Sinyal ini yang juga perlu kita manfaatkan untuk memberi tanda apakah komunikasi akan dilanjutkan dengan pendekatan yang sama atau tidak.
Hadir 100%
Pernahkah Anda berhadapan dengan petugas frontline yang sedang sibuk bertelpon? Atau, atasan yang sibuk mengecek imelnya saat anda sedang menyampaikan masukan? Apa rasanya bila Anda diundang makan siang oleh seorang mitra, tetapi ia banyak sekali melayani panggilan ponselnya?
Banyak orang bertanya-tanya, apakah empati bisa dilatihkan. Sebenarnya, latihan penting yang perlu terus-menerus dilakukan adalah untuk menghadapi orang lain dengan perhatian dan minat 100 %. Bahkan, bila kita sempat menyemangati lawan bicara agar ia mengungkapkan pendapatnya secara lebih gamblang, otomatis kita akan juga menangkap aspirasi, motif dan tantangan lawan bicara kita.
Sewaktu kecil, ibu saya pernah berkata, “kamu mesti belajar menghargai orang yang telak-telak tidak ada gunanya bagi kamu. Kalau sampai kamu mempunyai kebiasaan itu, baru kamu bisa disebut sebagai orang yang ramah”. Empati memang tidak boleh dipraktekkan secara selektif, dan memilih milih. Kita tidak bisa hanya mau berempati pada orang yang kita anggap penting, misalnya pelanggan. Empati harus menjadi warna, pendekatan dan kebiasaan pribadi..
TRUST !
Kepercayaan sangat penting. Pentingnya begitu terasa terutama saat kita sudah berada dalam keadaan tidak dipercaya. Pada saat itulah kita betul-betul merasa bahwa kepercayaan itu tidak mudah didapat.
Saya ingat cerita seorang teman yang terjebak dalam situasi di mana dia membuat kesalahan, diragukan ketulusannya, dan kemudian tidak tahu dari mana ia harus mengembalikan kepercayaan koleganya. Seolah berlaku hukum: “Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”. Dari pengalaman kita tahu apa kepercayaan itu. Tetapi, mengembangkan, dan menambahnya merupakan hal yang sulit dijabarkan.
Rasa percaya akan meningkatkan komitmen, menjaga semangat dan kinerja tanpa perlu adanya pengawasan dan monitor ketat. Dalam organisasi di mana rasa saling percaya kuat, maka kontribusi dan enerji menjadi hemat, karena lebih sedikitnya upaya komunikasi. Individu yang saling percaya lebih mudah menemukan “gelombang” yang sama. Saya ingat pengalaman melihat sengitnya debat 3 orang anggota “board of director” sebuah perusahaan, yang diwarnai argumen bernada kemarahan, seolah hampir terjadi peperangan. Namun, pada akhirnya, mereka saling mengalah dan kemudian sepakat, seperti halnya 3 orang kakak beradik. Komentar saya, “ini hanya terjadi pada individu-individu yang saling percaya”.
Rasa percaya dalam organisasi sebenarnya tidaklah hanya dari atasan ke bawahan saja. banyak contoh di lingkungan kita yang bisa menggambarkan tidak percayanya bawahan pada atasan. Misalnya saja, keraguan apakah atasan ber-“kuping tipis”, selalu berespons terhadap laporan tanpa menyidik terlebih dahulu, atau akan bersikap “fair” atau tidak bila seseorang memberinya kritik. Keraguan semacam inilah yang kemudian menimbulkan sikap “yes, man”, “carmuk” (cari muka), atau mengambil jarak yang akhirnya menyulitkan organisasi untuk bergerak, karena komunikasi kian tidak terbuka. Dengan tidak digarapnya pengembangan rasa percaya dalam organisasi, maka organisasi bisa tumbuh tanpa ikatan yang kuat kecuali ikatan yang kasat mata seperti upah dan fasilitas. Organisasi seperti ini juga kehilangan kesempatan untuk melahirkan pemimpin baru karena para individunya sulit mengembangkan komitmen ke perusahaan.
Bisa dipercaya tidak sama dengan jujur. Lihatlah, berapa banyak orang jujur yang ternyata tetap sulit memenangkan rasa percaya orang lain. Kita perlu mempertahankan dan mengembangkan beberapa kebiasaan, di samping jujur, untuk membangun rasa percaya.
· Mendengar: Hanya dengan mendengar kita bisa bertukar nilai, minat, tujuan dan bisa menyamakannya. Kesamaan inilah yang akan menumbuhkan rasa percaya. Dari mendengar kita juga bisa merasakan apa yang dibutuhkan orang lain dan tahu cara memenuhinya. Kita pun bisa mencari kesamaan pandangan, visi dan sasaran sehingga akhirnya menumbuhkan rasa percaya satu sama lain.
· Bisa Diakses dan prediktabel: Konsistensi reaksi kita dari waktu ke waktu, dan antara apa yang kita katakan dan lakukan, membuat orang bisa “memegang” apa yang kita katakan. “Sharing” informasi dan kebersamaan dalam kegiatan informal menyebabkan individu lain merasa bahwa kita seorang yang terbuka, “bisa dibaca” dan bisa di dalami.
· Sadari Posisi “Power”: Di dalam kancah ’politik’, baik dalam perusahaan maupun dunia politik partai, setiap orang datang dengan berbagai motivasi, agenda, dan perbedaan akses ke pengambil keputusan. Rasa tidak percaya sering tumbuh bila menyaksikan adanya individu yang terlihat mempunyai akses ke pusat kekuasaan sementara orang lain tidak, misalnya saja dalam cara berkomunikasi. ”Kedekatan” seperti ini sering menimbulkan rasa curiga , rasa iri dan sering tidak disertai dengan upaya mencari lebih jauh tentang modus komunikasi apa yang cocok dengan pusat kekuatan tersebut. Seorang teman terheran heran melihat betapa hubungan kepercayaan jadi membaik setelah komunikasi via SMS nya dengan CEO lebih sering. Ternyata cara simpel dan murah ini malah mempan untuk mendekati sang pusat kekuatan.
· Sadari Cara Berdebat: Kita banyak menyaksikan bagaimana beberapa oknum membela diri atas kebenaran dengan cara yang defensif atau bahkan agresif, terkadang sengaja di depan umum bahkan di media. Di sini bisa kita yakini bahwa sejujur dan sebenar apa pun seseorang, bila ia tidak mengemukakan pendapat dan membuktikan kebenaran dengan cara penuh respek, ia malah tidak akan mendapat rasa percaya itu. Kepercayaan adalah masalah emosi, dan tidak selalu bisa disamakan dengan kredibilitas, yang sifatnya hanya rasional.
· Tidak Selalu Harus Banyak Bicara:
Banyak bicara sering menyulitkan orang untuk mencerna dan mendalami motif pribadi kita. Ada pilihan cara lain untuk meyakinkan orang yang justeru berbicara lebih lebih keras daripada kata-kata. Pembuktian lapangan biasanya juga bisa lebih mempan daripada presentasi formal.
Membangun rasa percaya dalam suatu lingkungan sosial membutuhkan kesabaran, kehati-hatian dan taktik. Kita tidak bisa menggenjot orang lain agar percaya pada kita. Kitapun tidak bisa melakukan kampanye ”trust” besar besaran. Rasa itu akan datang dengan sendirinya., seolah tanpa kekuatan kontrol kita.
"To be trusted is a greater compliment than to be loved." – George MacDonald
Character Building
Beberapa waktu belakangan ini, ‘karakter’ di sebut-sebut sebagai pertimbangan dalam menseleksi eksekutif. “Dia punya karakter”, demikian kata orang, dan tentunya konotasi ungkapan itu terarah positif. Wajar bila kita juga kemudian berespons dalam hati: “Apakah saya punya karakter?” Atau, ”Saya ingin ber-’karakter’, tapi tidak tahu cara mengembangkannya”.
Kita sudah punya karakter sejak lahir, karena karakter adalah kumpulan kualitas dan reaksi dalam diri individu. Permasalahannya adalah apakah ada ciri khas yang membuat karakter kita menonjol dan lebih berarti ketimbang orang lain? Bila ada, maka orang lain bisa dengan mudah menggambarkan karakter kita.
Orang yang berkarakter tidak sama dengan’orang baik’. Salah seorang dosen saya, misalnya, selalu ramah dan baik hati. Namun, cara berjalannya seperti layang-layang putus, bila berjabat tangan terasa jabatan yang tidak menggenggam, tidak ”berarti”. Setelah mengenal lebih lanjut, ternyata ibu dosen ini, di dalam pekerjaannya tidak tegas, tidak membuat perubahan, konformis tanpa sikap kritis sehingga di bawah pimpinannya, bagiannya sama sekali tidak berkembang.
Orang yang dikatakan berkarakter biasanya dikenali sebagi orang yang dikagumi dan direspek, bisa membedakan hal baik dan buruk dengan tegas, serta menjadikan lingkungannya lebih baik. Di Amerika, diperkenalkan sejak dini 6 pilar karakter, yaitu: bisa dipercaya, respek, tanggungjawab, bersikap fair, peduli dan menjadi warganegara yang baik. Pengenalan 6 pilar ini diikuti dengan seperangkat do’s dan don’ts, sehingga mudah digunakan bagi mereka yang ingin jadi orang berkarakter. Apakah cukup sampai di sini? Tentu tidak. Membangun karakter membutuhkan “excersize”, tempaan, cobaan, tantangan tiada henti, yang memberi kesempatan bagi individu untuk memperkeras kepribadiannya.
"I will be what I will to be"
“Choose your attitude”! Tantangan pertama kita adalah mendesain gambaran pribadi anda sendiri. Apakah ingin menjadi orang yang “low profile”, rendah hati, halus? Ataukah agresif, senang tantangan, dengan “exposure” tinggi. Kita perlu memiliki visi hidup yang jernih sehingga bisa mengarahkan pembentukan karakter.
Karakter Berasal dari “Habit”
Bila ingin berkarakter menonjol, kita perlu mempermudah orang lain untuk mengenali kekhasan kita. Kesamaan reaksi, gaya bicara dalam menghadapi situasi apapun, dari waktu ke waktu, perlu konsisten. Penting juga untuk menjaga konsistensi antara apa yang kita katakan dan yang kita lakukan. Jalan pikiran, perasaan dan reaksi, perlu relevan satu sama lain. Seperti halnya kita tidak bisa tertawa terbahak bahak pada saat sedih.
Secara otomatis, konsistensi akan membentuk habit, yaitu kebiasaan bereaksi pada tiap momen dalam hidup kita. Kenalan dekat saya mempunyai kebiasaan marah dalam setiap situasi yang dihadapinya. Bila anak jatuh, isteri sakit, terjerumus ke lubang, atau berhadapan dengan orang yang sulit, reaksinya satu, yaitu marah. Tidak pelak lagi, ia kemudian dikenal berkarakter pemarah. Habit yang terbentuk inilah yang menghasilkan ”kekuatan pribadi” dan memancarkan aura yang lebih kuat dibanding dengan habit yang tidak terbentuk karena tidak konsistennya reaksi individu.
Kompetensi membentuk karakter
Sering terjadi reaksi individu “pakewuh”, ragu, tidak cermat, karena ia tidak bisa, atau tidak tahu harus berbuat apa dalam menghadapi situasi yang sulit. Untuk itulah kita perlu berambisi untuk senantiasa memperkuat kompetensi kerja kita. Kompetensi perlu dikembangkan tidak sebatas pada ketrampilan dan pengetahuan saja, tapi juga sikap profesional dan prinsip. Galilah prinsip profesional dari orang-orang yang lebih berpengalaman, pertemuan profesi, buku, jurnal dan pelatihan. Seorang engineer pengeboran tidak akan begitu saja menyetujui instruksi atasan bila menghadapi situasi berbahaya, bila ia berpegang pada pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman profesionalnya. Walaupun ditekan oleh atasan, kompetensi, harga diri dan keputusan moralnya akan mendukung kepercayaan dirinya untuk mengambil sikap. Akhirnya pembentukan karakter dan kompetensi memang seperti lingkaran malaikat, semakin kompeten semakin mudah karakter ditonjolkan.
Tingkatkan kepekaan
Dalam pertemuan kelompok, bila individu ditanya:”Apa yang bisa anda kontribusikan ke tim untuk memperbaiki kinerja?” Ia akan menggagap bila ia tidak peka tentang keberadaanya dalam situasi tersebut. ”Positioning” diri sendiri dalam situasi sosial memerlukan kejelasan dan kepekaan setiap saat, sehingga reaksi yang dibentuk selalu bisa disadari dan dikontrol. Hanya dengan kontrol kuat terhadap reaksi kita, maka kita bisa membentuk reaksi yang relevan.
Box :
EXPERD : ‘CHARACTER’ BUILDING:
‘Can Do’ answers
‘Hands on’ execution
Accountable
Result Driven
Assertive Communication
Change Leader & Agent
The Customer``s Business Partner
Empowering Coach
Relationship Builder
BE BOLD
PERSAINGAN, perubahan, perkembangan teknologi, tantangan keadaan social politik menyebabkan kita sering bertanya, bagaimana kita yang tergolong average ini akan mampu bersaing. Setiap orang harus mengerjakan tugas-tugas yang kompleks. Setiap orang sudah tahu moto “impossible is nothing” atau “you can do and be everything you set your mind to”. Bahkan, kita sudah tidak bisa dianggap superman atau superwoman lagi bila berperan ganda, dan berganti peran dalam menghadapi situasi sosial sehari-hari. Namun, mudahkah kita merealisasikan sikap dan mindset seperti ini? Masih mungkinkah kita mempunyai tenaga ekstra, dengan peran dan tanggung jawab segudang, sambil berusaha bersikap tegar, dan berdampak signifikan?
Ketika meragukan diri apakah kuat untuk maju terus tanpa istirahat dan tetap tegar menghadapi semua rintangan, tiba-tiba dalam tayangan media kita menyaksikan seorang perempuan yang tampaknya pendiam, tidak pernah punya suara, kecuali ketika membahas proyek-proyek yang sedang dipimpinnya, tampil menunjukan dukungannya terhadap suami yang mengalami kesusahan di penjara. Di balik tangisan yang mengharukan terasa kekokohan hati, kekuatan jiwa, dan ketegaran seorang ibu yang harus mengurus dan menjaga emosi anak, sambil menemani suami yang pasti mengalami kerontokan mental.
Tangisan yang ditonton pemirsa seluruh Indonesia tentu membuat kita sedih, tetapi di balik itu kita juga merasakan kekaguman pada wanita tanpa gincu dan teriakan ini. Bukan sekadar kekuatan untuk menahan penderitaan, tetapi juga ketegaran untuk memegang prinsip keluarga dan juga berusahan menyelesaikan proyek-proyek yang sedang ditanganinya. Inilah contoh individu yang bold, yang terasa berDNA spesial dan bernyali seribu. Dari orang-orang yang bekerja dekat dengan beliau, kelihatan bahwa beliau tidak segan mendengarkan ide-ide timnya, mencoba hal baru dan selalu meninjau kembali aspirasi tim. Ia individu yang tidak pernah takut untuk tidak bergaji dan sangat nyata upaya follow the passion-nya. Ini salah satu contoh orang yang memangku sekian banyak tanggung jawab tetapi tetap bold. Jadi, sebetulnya apakah ciri orang yang bold itu? Seorang ahli mengatakan, “Boldness is when a person showing a willingness to take a risk; confident and courageous” tanpa harus bersikap seperti jagoan.
“Bold”: kekuatan wawas diri
Sering kita menyaksikan pribadi yang mengagumkan dan tidak menonjolkan diri, melakukan tindakan yang tepat dalam waktu yang tepat. Karakter boldness ini adalah kekuatan seorang pemimpin yang modern. Teringat ungkapan Johann Wolfgang von Goethe, “Whatever you can do, or dream you can do, begin it. Boldness has genius, power, and magic in it!”
Seperti kita saksikan, individu seperti ini menonjol dengan sendirinya. Mereka percaya diri, fokus dan berani, bukan karena jabatan, kedudukan atau pencapaian prestasi yang “wah”, melainkan dalam dirinya selalu terkandung kekinian, perkembangan, dan gerakan. Kita semua sebenarnya mempunyai bakat ini, sayangnya kita sering tidak tahu caranya. Kita kerap menunggu individu lain untuk bersikap seperti ini sehingga bisa terhindar dari tantangan. Alangkah sayangnya, kita yang sebenarnya bisa melakukan lebih banyak, tetapi tidak bergerak.
Miliki diri sendiri
Orang-orang yang bold biasanya sangat mengerti keadaan dirinya sehingga bila berhadapan dengan orang lain, mereka sangat siap untuk membicarakan kekurangan dan kekuatannya. Mereka sudah melewati masa-masa haus pujian dan sikap defensif sehingga sudah tidak dipusingkan dengan keadaan dirinya semata. Dengan begitu, mereka bisa superfokus pada apa yang dihadapi, siap mengalkulasi risiko, dan menginisiasi tindakan.
Tidak sembrono, asal sabet
Seseorang yang cepat bertindak tanpa pikir panjang tidak bisa kita golongkan ke dalam orang yang berciri bold ini. Individu bold sudah siap dan mengenali kesempatan yang bisa dimasuki. Ia tak pernah berhenti melakukan riset-riset kecil dan menghindari aktivitas-aktivitas yang tidak perlu ataupun tak jelas risikonya.
Tidak berkoar, tetapi mengatakan apa yang ingin dikatakan
Kita bisa menguasai keadaan tanpa perlu mem-bully orang lain dan bila ada yang perlu disampaikan kita pun bisa menyusun kata-kata dengan bijak. Kita bisa memilih kata-kata yang ber-impact dan mengandung kekuatan. Bahkan, untuk individu yang terlatih, berdiam pun juga merupakan sebuah pernyataan.
Sejajarkan tindakan dengan pengetahuan
Kita terkadang bertanya-tanya, mengapa seseorang tidak gegabah dan pandai memilih tindakannya. Sebenarnya, orang seperti ini biasa menginvestigasi semua kejadian di sekitarnya. Mereka menganggap investigasi adalah pekerjaan rumah yang tidak berujung, dan tidak pernah ada waktu jaga tanpa kegiatan ini. Ia mempelajari kegagalan dan berupaya untuk mengerti mengapa hal itu terjadi, kemudian dengan cepat menganggap kegagalan ini sebagai bagian dari proses pembelajaran.
Membangun momentum
Kita sadar bahwa menang itu membangun semangat. Karenanya, para individu yang bold ini menjaga situasi-situasi kecil yang bisa dimenangkan, untuk menjaga mentalnya. Dengan kemenangan yang terkontrol ini, individu bisa memetakan situasi lebih baik, mempunyai “sense of action”, untuk menentukan kapan menambah energi, kapan maju, dan kapan membiarkan momentum berlalu dan menunggu sampai semesta bergerak sendiri.
Yang jelas, kita semua bisa bertindak lebih bold, mengukir rencana, memperhatikan tindakan kita menuju sukses, memanfaatkan situasi kemenangan, dan membangun hubungan baik yang lebih kental. Ini adalah rahasia karisma seorang pemimpin.
Dimuat dalam KOMPAS, 27 Mei 2017
"THE UGLY TRUTH"
Masih ingat plesetan “rule #1 the boss is always right, rule #2 If the boss is wrong, see rule #1”? Kita semua menyikapinya sambil tersenyum paham, karena mungkin juga mengkaitkan dengan pengalaman kita sendiri dalam berinteraksi dengan mereka yang berada dalam posisi berkuasa. Melihat hal ini, kita bisa mengingat dongeng HC Andersen mengenai Raja Telanjang. Konon, raja ini gila penampilan, selalu merasa bahwa pakaiannyalah yang terbaik. Sampai ia menyelenggarakan sayembara untuk mendapatkan baju raja yang terbaik. Datanglah sekelompok penipu yang mengaku akan membuat baju yang tiada duanya di dunia ini. Raja tertarik dan memberi ruang khusus yang diperlukan para penipu yang mengaku tukang jahit ini.
Dari waktu ke waktu Raja menginspeksi dan melihat kegiatan para ahli jahit itu, tetapi tak kunjung melihat bajunya, padahal emas dan perak telah diberikan kepada mereka yang katanya akan dibuat sebagai bahan pembuat baju. Ketika ia bertanya, para ahli itu mengatakan, “Bagaimana mungkin anda tidak melihatnya? Ini baju terindah yang sedang kami jahit. Hanya orang yang cerdaslah yang bisa melihat baju ini”. Takut dianggap bodoh, Raja mengangguk-angguk dan kemudian menginstruksikan para mentri bergantian melakukan inspeksi. Tidak ada yang ingin dianggap bodoh sehingga semua mentri juga memuji-muji baju tersebut.
Ketika baju siap, raja mulai memakainya dan berjalan ke publik. Berita mengenai kehebatan baju tersebut sudah tersebar sehingga semua orang bertepuk tangan kagum melihat keindahannya. Sampai, seorang anak kecil mengatakan dengan polos, ”Kok raja telanjang?” Bagaimanapun diberitahu bahwa itu adalah baju yang sangat khusus, kepolosan anak kecil itu tetap saja bersikeras bahwa raja telanjang. Sampai akhirnya ada yang berani mendukung komentar si anak kecil tersebut, barulah banyak orang mulai berani tertawa dan mengakui kebenarannya. Alangkah beratnya mengusung kebenaran! Apalagi bila beresiko terhadap diri kita sendiri, baik itu jabatan, citra diri maupun status sosial. Tidak jarang kita melihat sebuah presentasi yang membuka borok malahan dipertanyakan kebenarannya oleh penguasa organisasi yang merasa terpojok sampai-sampai presentasi tersebut seolah terasa salah. Beginilah cara tertutupnya kebenaran di suatu organisasi, pendapat serta yang berani berpendapatlah yang kemudian jadi dominan. Adu pendapat, bahkan pemutar balikkan kenyataan, menyebabkan kita benar-benar bingung dan akhirnya sulit memegang kebenaran.
Bangga berdiri di atas kebenaran
Kebenaran memang pahit. Bisa jadi seperti menepuk air di dulang dan terpercik muka sendiri yang membuat rasa tidak enak dan meresahkan. Oleh karena itu, tidak mengherankan, semakin menjamurnya gejala pura-pura tidak lihat yang pada akhirnya menyebabkan, baik si pemberi informasi serta khalayak lain dalam organisasi frustrasi dan mengambil jarak dari kenyataan. Bahkan kita juga tahu istilah “kill the messenger”, yaitu yang menguakkan fakta, malah dikeroyok ramai-ramai.
Ketika ada yang mengungkapkan kasus kecurangan, alih-alih melalukan investigasi kasus, malah kredibilitas pengungkap yang diobrak abrik. Banyak orang yang menghindari untuk menjadi whistle blower karena risiko pribadi yang besar. Pemimpin bisa juga menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan pembelaan diri terhadap kenyataan. Bahkan dalam film A Few Good Men sang kolonel berkata kesal, "The truth – you can’t handle the truth", ketika dirasakan gejala “rose glass syndrome", di mana atasan hanya ingin mendengar laporan yang baik-baik saja.
Kita semua tahu bahwa tanpa rasa percaya yang dilandasi kebenaran, tidak ada perusahaan, lembaga, ataupun kabinet negara yang bisa berkinerja baik. Ini adalah tantangan kita semua, mulai dari atas sampai bawah untuk kembali ke hal yang hakiki, yaitu fakta dan kebenaran. Walaupun benar setiap manusia memiliki hasrat yang sering didasari pleasure principle sementara realitas biasanya keras, kita tetap perlu menjadi orang-orang yang tangguh dalam menghadapi kenyataan. Kita tidak bisa membangun bangsa dengan kuping tipis ataupun kulit badak. Tidak ada pilihan selain mengacu pada kebenaran. "Window dressing" dan beragam cara memperbaiki kemasan untuk menjadikan kebenaran lebih cantik dari sebenarnya tidak akan membawa kebaikan. Kita tidak akan pernah bisa menutupi aib, kekurangan, apalagi kecurangan untuk waktu yang lama.
Hai, generasi muda, teriakkan nalarmu!
Banyak orang menuduh Gen-Y sebagai mahluk Tuhan yang sudah tidak peduli sekitar, lebih mementingkan gadget daripada peduli pada sesama. Namun, kritik semata tidak akan membawa perubahan. Tanggung jawab kita semualah menggugah generasi muda untuk percaya pada kebenaran. Kalau perlu gunakan media-media komunikasi mereka untuk mengajak para anak muda menjaga sistem command & control, menjadikan mereka generasi kritis dan bertanggung jawab. Kita butuh angkatan muda yang adaptif dan tidak gentar membuka kebenaran. Tidak boleh mereka terpengaruh dengan samarnya fakta dan data, apalagi kalau mental menjadi cacat karena rasa takut pada otoritas. The truth will set you free, but first it will piss you off ( Gloria Steinem)
Dimuat dalam KOMPAS 28 November 2015
"Sebenarnya, Kita Hidup di Dunia Hanya 2 Menit 1 Detik"
Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekadar lewat (HR Bukhari)
Dari 7 besaran ISO (International Standard Organization) yang di rumuskan yakni panjang, temperatur, massa, waktu, arus listrik, jumlah zat dan intensitas cahaya, hanya satu besaran yang susah untuk dipahami, waktu. Hidup manusia di dunia terfungsikan oleh waktu. Waktulah yang membatasi antara satu kehidupan dengan kehidupan yang lain.
Waktu menurut para ahli adalah besaran untuk mengukur tingkat perubahan yang terjadi pada benda atau zat. Kita sendiri menjadi bukti dari definisi ini, masih ingatkah saat kita kecil ditimang oleh bunda kita atau saat kuda-kudaan dengan ayah kita, namun lihat diri kita sekarang, sudah berubah dari saat kita digendong dan main kuda-kudaan bukan? itu semua karena waktu.
Pada zaman dulu, manusia menganggap waktu itu absolute, kecuali dalam Islam. Waktu dianggap sama saja tidak peduli pada acuannya. Baru pada abad 20, ilmuwan termasyhur abad 20, Albert Einstein mengeluarkan postulat yang menyatakan bahwa waktu bersifat relatif tergantung pada acuannya. Einstein memisalkan, jika seorang laki-laki mengobrol dengannya yang sudah tua, beruban dan keriput, mengobrol satu jam seperti satu abad. Sedangkan jika mengobrol dengan yang masih muda, cantik dan anggun mengobrol lima detik bisa terasa lima jam. Kurang lebih seperti itulah relativitas, kata Einstein.
Sekarang mari kita coba untuk membandingkan waktu dengan kerangka acuan waktu di dunia yang berdasarkan atas rotasi dan revolusi bumi atau benda langit lainnya dibandingkan dengan kerangka acuan akhirat berdasarkan berita dari Al-Qur’an dan Al hadits.
Firman Allah dalam Surat al-Mu’minuun [23] : 112-114
Allah bertanya: “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab: “Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada (malaikat) yang menghitung. Allah berfirman: “Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui.
Dalam ayat ini, aroma relativitas waktu sangat kentara. Bayangkan, manusia yang hidupnya kurang lebih 70 tahun, ketika ditanya Allah menjawab hanya hidup satu hari atau setengah hari. Kemudian ditimpali oleh Allah bahwa hidupnya hanya sebentar saja, hanya sebentar.
Firman Allah yang lain dalam surat An-Naazi’aat [79] : 46
Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.
Dalam ayat ini lebih cepat lagi, hidup kita dirasakan hanya selama waktu sore atau pagi hari. Jika waktu sore di mulai jam 3 dan diakhiri jam 6, berarti kita merasa hidup cuma 3 jam. Dan jika pagi hari dimulai jam 7 dan selesai jam 11 berarti kita merasa hidup hanya 4 jam. Tentu saja lebih sebentar dari ayat sebelumnya.
Firman Allah Selanjutnya dalam surat Yunus [10] : 45
Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat di siang hari, (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk.
Pada ayat ini, lebih tinggi lagi komparasinya, hidup kita hanya dirasa SESAAT SAAT SIANG HARI saja, ALLAHUAKBAR.
Dan sekarang mari kita coba untuk menghitung perbandingan lama hidup kita menurut apa yang telah disampaikan nabi kita.
Bagaimana keadaan kalian jika Allah mengumpulkan kalian di suatu tempat seperti berkumpulnya anak-anak panah di dalam wadahnya selama 50.000 tahun dan Dia tidak menaruh kepedulian terhadap kalian? (HR Hakim dan Thabrani)
Dan Firman Allah dalam surat Al-Ma’arij [70] : 4
Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabb dalam sehari yang kadarnya 50.000 tahun.
Hadits di atas berhubungan dengan keadaan kita nanti di padang mahsyar, kata nabi Muhammad, kita berada di padang mahsyar selama 50ribu tahun yang sama nilainya dengan 50 milenium sama dengan 500 abad sama dengan 6250 windu. Adakah waktu ini sebentar?
Jika kita korelasikan hadits tersebut dengan ayat di bawahnya, kita akan menemukan suatu angka yang sangat fantastis. Mari coba kita hitung. Manusia zaman ini hidup dengan umur rata-rata 70 tahun, Rasulullah Muhammad meninggal pada usia 63 tahun. Maka, perantauan kita di dunia jika dibandingkan dengan relativitas waktu di padang mahsyar hanya akan terasa 2 MENIT 1 DETIK, nilai tersebut didapat dari perbandingan sederhana yang bisa dihitung oleh siswa SD kelas 4.
Benar, HANYA 2 MENIT 1 DETIK. Maka benarlah pada hari yang dijanjikan itu, manusia-manusia yang ingkar terhadap Robb nya akan diliputi penyesalan yang mendalam, penyesalan karena waktunya (yang singkat) hanya dipakai untuk hal-hal yang sia-sia, penyesalan karena waktunya (yang singkat) hanya dimanfaatkan untuk bermalas-malasan, penyesalan karena waktunya (yang singkat) hanya dimanfaatkan untuk melakukan maksiat dan dosa.
Mereka pun mengandaikan bisa kembali ke dunia, namun sayang, penyesalan tinggal penyesalan. Maka tenggelamlah mereka oleh keringatnya sendiri, karena malu dan takutnya mereka dan semoga kita bukan bagian dari orang-orang yang menyesal tersebut.
Namun saat itu ada juga yang dinaungi awan kasih sayang oleh Robb, kita paham bahwa pada saat itu matahari hanya sejengkal di atas kepala. Merekalah orang-orang yang beruntung. Orang-orang yang menjadikan waktunya untuk memperjuangkan agama Robb nya. Orang-orang yang menjadikan waktunya untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat buat diri dan sesama. Orang-orang yang menjadikan waktunya untuk senantiasa beribadah kepada Ilah nya. Mereka pun puas akan apa yang dilakukannya. Tidak sia-sia setiap tetes keringat dan tiap tetes darah yang mereka keluarkan demi kemuliaan agama ini. Tidak sia-sia mereka menahan gejolak mengumbar aurat dan berjuang menahan panas memakai jilbab bagi wanita. Tidak sia-sia mereka menahan setiap sentuhan, pandangan, pendengaran dari yang tak semestinya dilakukan. Benar, tidak akan sia-sia setiap amal kebaikan kita. Itulah hidup kita kawan, hanya sebentar.
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). (QS al-Hasyr [59] : 18)
Perhitungan di atas memakai acuan padang mahsyar dan acuan waktu dunia, karena memang acuan padang mahsyar saja yang bisa kita perbandingkan. Sebab, kehidupan dunia ini tak akan bisa kita komparasi dengan surga atau neraka. Setiap yang kafir dan munafik masuk neraka sedangkan muslim masuk surga. Mereka yang munafik adalah orang-orang yang mengetahui hukum Allah namun kemudian ingkar, mereka yang menerapkan agama secara parsial, mengambil yang satu dan meninggalkan yang lain dan mereka yang muslim namun ragu akan nilai keislamannya.
Dan agama ini sudah sempurna. Baik dan buruk, halal dan haram sudah ditetapkan dengan jelas. Setiap aturan kehidupan mulai dari pergaulan, ekonomi, tatacara politik, pendidikan, sosial, hukum, dan ibadah sudah paripurna. Semua kembali kepada kita, maukah memakainya atau kita tetap dengan keadaan sekarang. Keadaan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Wallahu a’lam bi ash shawab.
Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan Maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat? (HR Muslim)
Rabu, 07 Juni 2017
Jangan Sampai Tak Ada Jabrohim
Kebudayaan harus punya Jabrohim, apalagi peradaban. Negara harus punya Jabrohim, apalagi Indonesia. Rakyat harus punya Jabrohim, apalagi masyarakat, Kaum Muslimin harus punya Jabrohim, apalagi Muhammadiyah. Makhluk-makhluk Tuhan harus ada Jabrohimnya, apalagi manusia.
Kalau kebudayaan tak punya Jabrohim, ia akan mengering, sampai akhirnya tidak bisa lagi disebut kebudayaan. Kebudayaan menjadi segar dan subur kalau ada yang merawat dan menyirami keindahan. Itulah Jabrohim. Kebudayaan tanpa Jabrohim-Jabrohim, akan gagal menjadi peradaban.
Kalau Negara tidak punya Jabrohim, para pelakunya akan sibuk main kayu satu sama lain. Karena mereka tidak mengenal pohon dengan urat-uratnya, akar dengan tanahnya, dedaunan dengan seratnya, kembang-kembang dengan wanginya, serta bebuahan dengan lezatnya. Jabrohim adalah penjaga ekosistem silaturahmi antara buah, kembang, daun, ranting, dahan, pohon, akar, tanah, air, bumi, langit dan Tuhan. Negara dengan peran Jabrohimlah yang membuat ia bernama Indonesia.
Kalau Rakyat berkerumun tanpa Jabrohim, mereka akan menjadi makhluk pasar, penyembah harta benda, perakus uang dan penserakah materi, yang agamanya adalah materialismenya. Jabrohim menjaga pintu di tepian pasar agar tetap ada lorong ke wilayah-wilayah yang bukan benda. Jabrohim menghembuskan angin dari angkasa, menerpa wajah dan tengkuk para penghuni pasar, sehingga mereka akan suatu saat ingat bahwa mereka bukan robot-robot keuangan. Mereka akan sesekali berserikat sehingga menjadi masyarakat, yang menemukan bersama bahwa hiruk pikuk pasar bukanlah tujuan manusia, melainkan alat untuk memenuhi sebagian kebutuhan jiwa mereka.
Kalau Jabrohim tidak ada di tengah Kaum Muslimin, maka para pelaku Islam terjebak menjadi mujahid-mujahid transaksi pahala dan dosa, sorga dan neraka. Peran rohaniah kesusastraan yang dirawat oleh Jabrohim akan mengembalikan Kaum Muslim menemukan kembali bahwa tema penyembahan kepada Tuhan adalah cinta. “Katakanlah wahai Muhammad (kepada ummatmu): Kalau kalian memang mencintai Allah, maka ikutilah jejakku, maka Allah pun akan mencintaimu, serta mengampuni dosa-dosamu…”
Berapa ribu bumi dengan kandungan tambang-tambangnya, dengan kekayaan laut dan daratnya, yang bisa diperbandingkan dengan cinta Allah dan perkenan-Nya untuk mengampuni dosa-dosa kita? Kalau manusia adalah manusia, kalau manusia benar-benar manusia, bisakah ia terpesona kepada apapun saja isi dunia dan alam semesta melebihi kebahagiaannya dicintai oleh Allah dan diampuni dosa-dosanya?
Bukankah manusia memang bukan kerbau atau buah ketela atau Malaikat, yang tidak punya eksistensi, posisi dan pergerakan untuk ber-tajdid dan ijtihad? Dan kemanakah gerangan arah tajdid dan ijtihad kecuali menempuh jalur perbaikan diri manusia agar lebih mendekat dan lebih mendekat lagi ke perkenan cinta Allah serta pengampunan dosa?
Kalau kehidupan adalah rumah, Jabrohim adalah perawat keindahannya. Untuk apa rumah kalau tidak indah? Kalau kehidupan adalah dapur, Jabrohim adalah kulkasnya, yang mengawetkan bahan-bahan makanan minuman agar lebih panjang usia dan fungsinya. Kalau kehidupan adalah manusia, maka Jabrohim adalah penjaga kelembutan hatinya. Kalau kehidupan adalah pohon, Jabrohim adalah tanah, air dan udaranya.
Mungkin kebanyakan manusia yang menghuni bumi tidak mengenal kesusastraan, cerita pendek, novel, puisi, reportoar drama, atau bentuk-bentuk lainnya. Jabrohim adalah sebuah peran untuk menyimpan karya-karya kesusastraan itu dalam waktu dan mengalirnya zaman. Supaya pada suatu hari, lambat atau cepat, besok atau kelak, manusia tetap memiliki kesempatan untuk menemukan bahwa yang dikandung oleh karya-karya sastra itu bukanlah sesuatu yang berada di luar diri manusia. Melainkan merupakan kandungan gizi-gizi rohaniah di dalam diri manusia sendiri.
Banyak ketidaktepatan yang dilakukan oleh para ilmuwan dan akademisi dalam urusan kesusastraan. Mereka memperkenalkan outputnya, bentuknya, formulanya yang dibangun melalui susunan kata-kata. Sehingga masyarakat mengenali sastra sebagai bentuk, sebagai kehadiran fisik, eksistensi pancaindera, dan menyangka sastra adalah deratan huruf-huruf, seni adalah kumpulan suara, warna, garis dan cuatan-cuatan serta gerak-gerik.
Padahal sastra adalah diri manusia sendiri. Karya-karya sastra adalah bagian terpenting dari jiwa manusia sendiri: kelembutan, cinta, kehalusan budi, anatomi rohani, esensi jiwa, nuansa, Kristal dan apa saja yang mengkomposisi menjadi jiwa manusia. Karena tradisi ilmu dan maniak kategorisasi-kategorisasi akademik, manusia dibuat salah sangka bahwa kesusastraan adalah sebuah bidang, sebuah wilayah disiplin, yang berbeda dengan arsitektur, biologi, pertanian atau politik.
Dunia ilmu dan tradisi akademik sangat gagal menggambar kehidupan, apalagi mengantarkan keutuhannya kepada masyarakat. Untunglah Jabrohim adalah Dosen Sastra. Dan volume atau prosentase kedosenannya paling banyak 30 persen secara kualitatif. Yang 70 persen adalah cinta, ketekunan dan kesetiaannya kepada nilai-nilai batiniyah yang ia memperjalankan pengabdiannya hingga senja usianya. Itu yang membuat wajah Pak Jabrohim tersenyum sepanjang hidupnya. Jabrohim adalah senyumnya itu. Wajahnya adalah senyuman. Eksistensinya adalah sentuhan cinta kepada keindahan.
Kalau pakai terminologi Pandawa Lima, Jabrohim adalah Puntadewa yang lembut, mengayomi sambil bertapa di bilik dalam kalbu setiap mahasiswa dan anak-anak asuhnya. Kalau pakai terminologi Rukun Islam, Jabrohim adalah ketekunan dan kekhusyukan Shalat Lima Waktu: ia mengepung hari, menyelubungi siang dan malam dengan cinta, kesaksian atas keindahan dan rasa syukur yang abadi. Kalau pakai terminologi Sahabat Empatnya Rasulullah Muhammad saw, Jabrohim adalah Abu Bakar yang mengasuh keadaan, meniti waktu dengan langkah-langkah kaki yang sangat lembut dan hampir tak kedengaran.
Kalau engkau menatap Jabrohim dari bumi: Jabrohim hanyalah seorang Dosen, pengurus Universitas di Fakultasnya. Seorang suami yang penuh kasih sayang. Seorang Bapak penyemangat dan pengawal generasi yang akan tandang di masa depan. Seorang sahabat yang tidak tahan untuk tidak memberi, menyodorkan hati dan tangannya untuk menolong dan membikin mudah siapa dan apa saja di depan dan sekitarnya.
Tapi kalau engkau memandangnya dari angkasa, dari lapis yang terendah saja pun dari permadani-permadani berlapis yang membentuk langit: Jabrohim adalah anugerah Allah yang tak boleh tak ada, karena semua yang telah terhampar sejak awal tulisan ini, yang engkau semua silakan membaca dan mengelilinganya kembali.
Yogyakarta, 15 Desember 2017
PENULIS : Emha Ainun Nadjib (Cak Nun)
Selasa, 16 Mei 2017
Silaturahmi, Bukan Basa Basi!
Kesan positif sekaligus negatif, pro dan kontra, akan terlintas di benak kita saat mendengar kata ‘pulang kampung’. Rumah kosong, mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendiri, berdesakan di stasiun dan terminal, macet sepanjang jalur mudik, adalah sebagian potret ‘kesulitan’ yang umum dialami. Saat ditanya mengapa rela menjalani berbagai kehebohan seputar mudik itu, jawab yang diberikan seragam, yaitu untuk silaturahmi. Seakan segala ‘pengorbanan’ terbayarkan dengan bersilaturahmi, berkumpul dengan sanak saudara, sehingga ‘sambung rasa’ terbenahi kembali.
Bagi saya, yang lahir di Jakarta, dan beberapa keluarga ada di Jakarta, fenomena pulang kampung yang disambut bersemangat oleh sebagian besar orang, selalu membuatnya terheran-heran. Ia selalu membahas efisiensi dan efektivitasnya, dan mempertanyakan mengapa orang tidak kapok mengalami kesulitan yang kian hari kian kompleks di hari-hari menjelang lebaran ini.
Sekedar tradisikah bersilaturahmi? Atau betul-betul bisa menjadi ‘sentuhan sosial’ yang punya ‘rasa’ dan ‘mengena’, untuk modal kita memperbaiki diri dan lingkungan seusai Lebaran nanti?
E-Silaturahmi
Ada ketegangan lain menjelang hari-hari besar ini. Lebaran akan menjadi puncak kemacetan jalur sms, di mana orang yang dulunya tidak membutuhkan komunikasi instan sekarang akan complaint gila-gilaan bila sms-nya tidak terkirim segera. Apa isinya? Segala macam sajak, pantun, ucapan sederhana, gambar, serta doa doa yang baik.
Sayangnya, banyak sekali sms (maupun email) yang berseliweran adalah hasil forward-an dari orang lain. Yang paling penting bagi pengirimnya adalah bahwa tugas pribadi untuk melakukan kontak, selesai sudah saat ia telah meng-”cover” semua kenalannya dengan ucapan selamat idul fitri serta permohonan maaf lahir batin.
Terkadang saya kagum pada kemajuan teknologi, tetapi saya juga ingat kata-kata yang selalu di ajarkan bapak saya kepada saya bila bersalaman: “Pandanglah matanya, tunggu sampai ia berespon, jangan lupa tersenyum, dan katakan sesuatu dari dalam hatimu”. Timbul pertanyaan apakah ucapan selamat yang instan ini bisa pula ‘menyapa’ dan membuat ‘sentuhan sosial’ yang ‘kena’ dalam momentum sekali setahun ini?
Kumpul yang Tidak Basi
Bagi kita yang bermukim di Jakarta, kombinasi: jarak, waktu dan kemacetan lalu lintas, sudah lazim menjadi alasan yang diberikan untuk tidak menemui seseorang. Namun, terkadang kita lupa bahwa dalam sebuah keluarga besar atau kelompok, kemesraan, toleransi dan kedekatan hubungan yang bisa membawa berkah dan rejeki akibat ‘networking’, hanya dapat terjalin dengan tatap muka intensif, waktu yang cukup, ekspresi dan komunikasi yang sedikit lebih panjang dan dalam.
Silaturahmi semasa lebaran mengkondisikan orang untuk siap melakukan kontak. Silaturahmi memberi kesempatan untuk mengenal teman dari teman, kenalan dari kenalan serta memberi, menerima dan bertukar referensi bisnis. Bila didalami manfaatnya, rasanya kita tidak akan melewatkan kesempatan ‘kumpul’ keluarga dan kerabat pada saat lebaran, dan tidak akan melakukannya untuk sekedar berbasa basi.
Revitalisasi Norma
Banyak sudah pergeseran norma. Sudah ada segala macam modifikasi, dari cara berpakaian sampai tata krama bergaul. Kita lihat betapa banyaknya pesta buka puasa sepanjang ramadhan, sehingga acara buka puasa di rumah mulai bisa dihitung jari. Mungkin lebaran adalah satu-satunya momentum di mana remaja bersedia secara berombongan pergi bersama orangtua dan bertamu dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Mudah-mudahan kita ingat untuk tidak banyak merubah norma dan menjaga hakikat silaturahmi agar tidak kehilangan ‘arti’.
Atmosfir silaturahmi cenderung mendorong ke kesejukan hati, kekerabatan, maaf-memaafkan dari kemenangan puasa. Inilah saat yang baik untuk melakukan ‘social learning’ pada generasi muda, yang akan menumbuhkan penghargaan yang tepat pada diri sendiri, karena merasa sebagai anggota kelompok atau keluarga, dan merasa melakukan tata krama yang benar dan sesuai lingkungan. Silaturahmi adalah kesempatan emas untuk kembali menyamakan derap, langkah dan cara pikir, rasa dan sikap dengan sesama anggota keluarga dan kelompok. Perlu untuk menyamakan kembali nilai-nilai yang implementasinya sudah berbeda-beda sebagai akibat kesibukan yang berbeda serta meninjau kembali status sosial, peran, konformitas dan kepatuhan kita pada tata krama keluarga dan kelompok. Konformitas akan membangkitkan kepastian individu terhadap “akar”nya. Hal ini tentunya akan membawa rasa nyaman individu sehabis bersilaturahmi.
Marilah kita mengenakan baju yang paling bersih, paling bagus walaupun tidak baru, untuk melaksanakan kumpul keluarga dan handai taulan. Rasa gembira kita sebagai manusia modern akan terasa diperkuat oleh ‘sense of roots’ kita.
Minggu, 23 April 2017
KISAH CINTA IWAN FALS DENGAN ROSSANA
“Gue Seneng Sama Elo! Coba Pacaran, Yuk!”
Musik adalah hidup Iwan Fals. Lewat musik, lelaki bernama asli Virgiawan Listianto itu bertemu belahan jiwanya, Rosanna atau yang akrab disapa Yos.
Virgiawan Listanto atau yang lebih dikenal Iwan Fals bukan orang yang pandai bercerita, terutama mengenai peristiwa yang sudah puluhan tahun lalu terjadi. Meski sekelumit kisahnya masih melekat dalam pikiran, Iwan tak mampu mengurai secara detail cerita cintanya bersama Yos.“Soalnya sudah lama banget. Saya sudah lupa detail ceritanya,” kata Iwan, membuka perbincangan di rumahnya yang luas di Desa Leuwinanggung, Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
Menerawang ke masa lalu, ayah tiga anak itu coba mengulang memori pertemuan pertamanya dengan Yos di kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ), yang terjadi 27 tahun silam. Kala itu, Iwan sedang mengikuti Festival Musik Humor yang diselenggarakan mahasiswa IKJ. Ia tampil solo memainkan gitar dan harmonika. Sementara Yos, yang mahasiswi jurusan Seni Rupa di kampus tersebut, adalah salah seorang panitia festival.
“Saya masih ingat, waktu itu Yos pakai topi kayak Pak Tino Sidin. Dia kan anak Seni Rupa. Topinya juga banyak benderanya,” kenang Iwan, seraya tersenyum. Penampilan Yos yang trendi dan cenderung maskulin menggetarkan dawai hati Iwan. Iwan yang saat itu masih menyandang predikat siswa kelas tiga SMAN 26 Jakarta mengaku tertarik melihat sosok wanita kelahiran 1960 itu.
“Senang aja lihat dia kayak laki-laki. Ditambah lagi, sejak pertama bertemu, dia sudah memberi perhatian pada saya,” ujar Iwan tanpa bermaksud menyombongkan diri. Sementara itu, diam-diam Yos pun memerhatikan sosok pemuda yang telah tercuri hatinya oleh penampilannya yang maskulin. Belakangan Yos tahu, ketertarikannya itu lebih didasari oleh minatnya terhadap lagu-lagu Iwan.
Sejak dulu, Iwan dikenal sebagai musikus pengusung tembang-tembang country dan balada. Pada acara festival itu pula, lelaki kelahiran Jakarta, 3 September 1961 itu sempat memberi Yos sekeping kaset yang berisi demo suaranya. Baru tiga tahun kemudian, suara emas Iwan itu direkam dalam tiga album sekaligus, yakni Serenade Kembang Pete, Frustrasi, dan Sarjana Muda.
Walaupun gadis yang disukainya adalah seorang mahasiswi, Iwan tidak merasa minder. Benih-benih asmara yang mulai muncul, ia biarkan bersemi hingga tumbuh menjadi seuntai cinta.“Masalah cinta kan enggak ada batas usianya. Kita ketemu, terus dianya kelihatan memberi perhatian, saya langsung penalti saja; coba pacaran yuk! Ternyata bisa berjalan tiga tahun. Cuma, kalau ditanya detail proses pacarannya bagaimana, saya lupa. Sudah lama banget kan tuh,” kata Iwan, yang mengaku deg-degan jika harus menggenggam tangan Yos.
Masa pacaran tiga tahun berjalan bukan tanpa hambatan. Di antara waktu tersebut, Yos rupanya sempat kepincut pria lain. Iwan mengetahui hal itu. Namun, putra pasangan Haryoso dan Lies ini tak pernah menyurutkan cintanya pada Yos. Di sisi lain, Iwan juga tahu Yos masih menaruh minat padanya. Sampai akhirnya Iwan nekat melamar Yos yang kala itu sudah memiliki kekasih baru.
“Saya merasa terhormat ketika saya ajak dia menikah, dia mau, padahal kan Yos sudah punya pacar. Saya bilang: ‘aku cuma bisa ngamen nih. Enggak ada cara lain untuk hidup, berani enggak?’ Eh, dia bilang berani. Hal itulah yang kemudian saya jadikan amanat buat saya menjaga hubungan kami.”
Iwan mengingat jawaban ‘ya’ dari Yos sebagai hal paling indah dari masa mudanya. “Soalnya, pasti berat untuk Yos memutuskan satu di antara dua lelaki. Saya sih maju terus walaupun dia sudah punya pacar. Rezeki enggak ke mana. Semua kan tergantung Yos. Saya hanya mengungkapkan perasaan saya saja. Saya cinta dia, saya ungkapkan. Saya bilang, ‘gue seneng sama elo!’ Gitu aja,” cerita Iwan, yang tak ingat lagi tanggal pernikahannya.
Buat Iwan, Yos bisa dibilang cinta pertamanya. Di masa mudanya, Iwan hampir tak punya pengalaman pacaran dengan gadis lain selain istrinya sekarang. Maka itu, ketika ditanya alasan dia memilih Yos, lelaki yang gemar olahraga karate itu tak mampu menjawab.
“Saya enggak tahu kelebihan Yos dibanding perempuan lain. Saya kan enggak pernah tahu (perempuan) yang lain. Mungkin karena nafsu saya terpenuhi di Yos. Pikiran saya, perasaan saya, negatif-positif saya, semua terpenuhi di dia,” kata Iwan. Kini, Iwan dan Yos sudah melalui 25 tahun usia pernikahan mereka. Iwan mengaku, cintanya pada sang istri masih sama seperti ketika keduanya pacaran.
“Saya baru merasakan, ternyata kita ini hidup. Banyak keajaiban yang terjadi setiap hari. Saya sendiri takjub, kok bisa ya tahan 25 tahun di saat pasangan lain baru tiga tahun kimpoi, cerai. Saya bersyukur juga karena memang pernikahan ini indah. Kalau enggak indah, ngapain nikah.”
“Saya selalu bilang ke Yos, sekarang saya menyayangi kamu. Besok enggak tahu. Enggak berani janji dong saya. Eh, ternyata besok tuh sampai 25 tahun,” kata Iwan lagi.
Cinta Makin Kuat Setelah Cobaan Itu Datang
Pernikahan Iwan dan Yos berjalan mulus nyaris tanpa persoalan berarti. Kebutuhan keluarga tercukupi, anak-anak pun tumbuh sehat sejahtera. Sampai akhirnya musibah datang pada 1997.
TAHUN itu, Galang Rambu Anarki, putra sulung Iwan dan Yos, meninggal dunia. Langit seakan runtuh. Galang yang disebut-sebut sebagai pangeran penerus jejak sang ayah, sangat cepat diambil Tuhan. Saat mengembuskan napas terakhirnya, personel band Bunga itu baru berusia 15 tahun.
Tahun pertama kepergian Galang, kesedihan pun menggelayuti hati pasangan itu. Tak jarang, Galang datang menghiasi mimpi Yos. Bahkan, sampai Yos ngelindur. “Itulah cobaan paling berat dalam hidup kami. Untungnya saya selalu kembali lagi ke agama. Saya atasi kesedihan ini dengan lebih mendekatkan diri pada Tuhan,” kata Yos.
Jika rindu kepada Galang melanda, Yos hanya bisa menumpahkan air mata. “Iwan sih enggak ngomong atau menasihati apa pun pada saya. Karena kita berdua hobi baca, untuk menenteramkan hati, biasanya kita sama-sama baca buku saja. Kalau tiba-tiba saya tidur, ngelindur soal Galang, paling Iwan memeluk saya. Enggak ngomong apa-apa, karena kalau bicara kan kadang-kadang malah salah,” tutur Yos.
Tak lama setelah Galang meninggal, berturut-turut Iwan juga kehilangan ayah serta seorang saudaranya. Rasa kehilangan itu datang bertubi-tubi dan dirasakan sangat berat baginya. “Tapi, saya sadar, semua manusia pasti akan kehilangan orang yang mereka sayangi,” kata Iwan.
Tak ingin berduka terus-menerus, Iwan dan Yos melanjutkan kembali kehidupan mereka.
Sampai akhirnya, Raya Rambu Rabbani lahir pada 2003, pada saat anak kedua mereka, Annisa Cikal Rambu Basae, berumur 18 tahun. Raya-lah yang kemudian menjadi pelipur lara Iwan dan Yos.
“Sejak enggak ada Galang, saya merasa lebih dekat dengan Iwan. Sangat berkesan. Sama berkesannya dengan kelahiran Raya. Saya merasa, kehadiran saya di dunia jadi lebih bermanfaat. Kalau tadinya hanya ngurusin Iwan terus, sekarang saya harus merawat Raya juga,” ujar Yos.
“Cikal sekarang sudah besar, sudah kuliah. Sesekali dia suka pulang malam. Iwan suka senewen, padahal saya pasti bilang kepada dia kalau Cikal akan pulang telat ke rumah. Saya lihat Iwan makin bertanggung jawab sebagai suami, ayah, dan manusia,” lanjut Yos.
Perubahan kecil juga dirasakan Iwan sejak kepergian Galang. “Belakangan saya merasa lebih tegas. Namun, soal agama, Yos lebih kuat. Dia selalu siap memenuhi semua kewajibannya. Di sisi lain, saya juga berusaha memberi apa yang saya punya untuk dia,” Iwan menyambung ucapan sang istri. Seperempat abad hidup bersama membuat Yos semakin bisa memahami Iwan meskipun dulu dan sekarang Iwan tidak terlalu banyak berubah.
“Iwan tetap Iwan yang saya kenal. Secara fisik dia berubah, tapi itu kan pasti dialami semua orang. Tambah umur, dia justru semakin matang dan sabar menghadapi persoalan apa pun. Musibah dalam keluarga selalu kami kembalikan pada nilai-nilai agama. Itu yang membuat kita yakin, yang terbaik adalah menghadapi semua persoalan,” tutur Yos.
“Akhir-akhir ini kita malah sering punya persamaan feeling. Di awal pernikahan dulu, seringnya enggak nyambung, salah duga, beda tebakan. Sekarang mulai ada persamaan. Apalagi, setelah Galang pergi,” timpal Iwan. Tahun ini usia Iwan akan mencapai 44 tahun. Meski demikian, ketua umum organisasi massa Orang Indonesia (OI) itu masih merasa muda. Detik demi detik perubahan fisik manusia, ia nikmati sebagai sebuah keindahan.
“Justru saya semakin penasaran. Di usia segini, saya suka loyo. Nah, setelah fase loyo, apa lagi nih? Ternyata, perhatian Yos juga enggak berubah. Dia makin bisa bikin saya penasaran,” kata Iwan, tanpa memerinci hal-hal yang membuatnya penasaran itu. “Saya bergairah terus sama Yos. Mudah-mudahan dia juga begitu. Saya selalu merasa baru menikah walaupun sudah lama. Senang aja jadinya. Kayak pacaran terus,” kata Iwan lagi.
Meski berani mengungkapkan perasaannya pada Yos, namun dalam sikap, Iwan tidak seromantis tembang-tembang cintanya. Makan malam berdua di bawah temaran cahaya lilin, misalnya, tak pernah sekalipun mereka lakukan. Cinta di hati keduanya hanya terpupuk lewat perhatian serta kepercayaan yang tinggi terhadap pasangan.
“Cinta kami tumbuh begitu saja sih. Alhamdulillahnya lagi, saya tidak mengalami persoalan ekonomi. Terkadang cinta kan juga butuh uang. Rumah tangga pun begitu. Rezeki kami ada saja, sehingga kami enggak bingung mencari kebutuhan sehari-hari,” tutur Iwan, yang menyerahkan semua urusan rumah tangganya kepada Yos.
Di samping persamaan, Yos dan Iwan juga memiliki perbedaan tabiat. Iwan yang terkesan temperamental dan meledak-ledak dalam membuat lirik lagu, ternyata cukup lembut pembawaannya. Bahkan tak jarang, ia bersikap manja pada sang istri. “Dulu kalau saya nyuapin Galang dan Cikal, dia enggak ketinggalan minta disuapin. Pokoknya, dia tuh termasuk suami yang selalu minta dilayani. Iwan juga lembut. Kalau kita lagi marahan, yang ngebanting pintu, istilahnya, itu saya. Iwan justru diam kalau lagi marah,” kata Yos.
Saling Menghormati jika Pasangan Cemburu
Hidup bersama seorang superstar seperti Iwan bukan hal mudah. Terlebih ketika fenomena groupies, kelompok penggemar fanatik, wanita kian menjamur. Kecemburuan Yos bertambah kala melihat fans wanita Iwan yang agresif.
IWAN pun sesungguhnya termasuk pria pencemburu. Ia tak berusaha menampik perasaan itu dengan berpura-pura cuek terhadap pasangan. Cemburu, bilang cemburu. Meski kemudian ia harus bertengkar hebat dengan istrinya. “Saya cemburuan, Yos juga cemburuan. Tapi, saya bisa menghormati kecemburuan dia. Ternyata asyik juga kok cemburu. Ada rasa deg-degan-nya, he, he, he …,” ujar Iwan.
Iwan bukan tak menyadari fans wanitanya banyak dan bahkan ada yang menuntut lebih darinya. Namun, sejauh ini ia mengaku masih bisa mengendalikan emosi. Sesekali pernah juga tebersit keinginan penyuka olahraga karate itu berpoligami. Sayang, Yos tidak mengizinkan.
“Kadang-kadang terpikir juga sih. Apalagi kalau lihat perempuan cantik, muda, wah …. Kemarin saya baru bilang, Yos boleh enggak ngelirik-lirik perempuan? Ternyata enggak boleh sama dia,” kelakar Iwan. Ungkapan jujur Iwan untuk membagi hatinya dengan perempuan lain boleh jadi hanya sebuah canda sebab semakin hari, cintanya pada Yos justru dirasa kian bertambah. Iwan sadar, kecantikan wanita bukan segala-galanya.
“Kecantikan bukan dilihat dari fisik saja kok. Kalau ukurannya hanya itu, berapa banyak perempuan yang cantik? Kecantikan ternyata ada di balik kerutan, dari tulang yang mulai sakit, atau pada situasi menjelang menopause. Itu juga kan keajaiban dan harus disyukuri. Apa yang saya dapat dari Yos sudah lebih dari cukup,” kata musikus yang menghabiskan masa sekolahnya di Bandung, Jawa Barat.
Tak ada dalil khusus yang diterapkan Iwan, menjaga bunga cintanya pada sang istri tetap mekar sepanjang masa. Seperti lirik-lirik lagunya, Iwan lebih suka membiarkan semua mengalir bagai air, tanpa ada janji-janji yang muluk. “Tinggal bagaimana kita menyirami benih-benih yang sudah Tuhan kasih. Ini ladang kita, bisa enggak kita rawat? Rasa bosan pasti ada dan saya yakin Yos pun bosan sama saya. Tapi, kita terima saja kebosanan itu sebagai rahmat. Kalau mengutip ucapan Aa Gym, jadikan keluarga sebagai ladang amal kita,” kata Iwan bijak.
Di usianya yang semakin senja, Iwan justru terlihat semakin tampan. Penilaian ini banyak dikemukakan oleh para penggemarnya. Menanggapi hal tersebut, Yos hanya bisa mengucap syukur. Begitu pun ketika fans wanita Iwan berlaku sedikit mesra pada sang musikus.
“Dibilang terusik, pasti terusik. Tapi, enggak apa-apalah. Alhamdulillah saja karena berarti saya masih dikasih kesempatan bersama Iwan dan dia tidak tergoda,” ucap wanita berjilbab itu. Yos berharap, cobaan berupa orang ketiga yang berpotensi merusak rumah tangga mereka tidak akan terjadi. Untungnya lagi, Yos kini juga bertindak sebagai manajer Iwan. Jadi, ke mana pun sang suami pergi, Yos pasti ikut mendampingi.
“Dengan mendampingi dia dalam tim manajemen, saya jadi lebih mengerti. Kalau dulu kan saya di rumah, enggak ikut Iwan. Saya selalu punya pikiran sendiri, ‘wah lagi ngapain ya dia?’ Berhubung sekarang saya manajernya, ke mana pun Iwan pergi, saya ikut. Kalau ada fans perempuan melukin dia, saya bisa lihat dengan mata kepala sendiri. Saya lihat bagaimana reaksinya. Kalau Iwan kecentilan, pulangnya langsung saya labrak. Tapi, kalau Iwan dalam posisi enggak bisa menolak, saya tetap mengerti kok,” tutur Yos.
Yos percaya Iwan setia padanya. Begitu pun sebaliknya, sebab pasangan yang menikah di Garut, Jawa Barat, ini mengaku, sama-sama takut pada Tuhan. “Kita kan punya salat lima waktu. Pada saat zuhur, kita melakukan sesuatu yang tidak baik, ada kesempatan di waktu ashar untuk mengucap istighfar, dan memohon petunjuk bagaimana sebaiknya saya bersikap setelah ini,” kata Yos, yang mengaku sangat terbuka pada Iwan.
Di mata Yos, Iwan bukan suami yang mampu bersikap romantis, seperti cerita dalam film ataupun sinetron. Romantis versi Iwan lebih merujuk pada perhatian superekstra terhadap pasangan. “Buat saya, Iwan sangat romantis, tapi enggak seperti di buku atau film. Misalnya dia lagi melakukan tur musik. Di sela-sela jadwalnya, dia masih suka mengingatkan saya agar menjaga kesehatan. ‘Lo jangan sakit ya’. Untuk saya, itu romantis banget,” urai Yos.
Menyikapi masa puber kedua Iwan, Yos juga punya resep jitu. “Kuncinya, jangan tinggalkan salat. Kalau puber, pasti dia ngomongin perempuan lain dong. Kalau sudah begitu, saya hanya bisa menunjukkan kalau saya enggak suka. Tapi, enggak pakai ngomel-ngomel lo,” kata Yos, yang berusia satu tahun lebih tua dari suaminya.
Iwan kemudian menimpali ucapan sang istri dengan sebuah harapan yang tanpa diembel-embeli angan setinggi langit. “Mudah-mudahan keluarga kita tetap utuh. Ya…, enggak tahu juga sih. Cinta itu kan misteri. Kebetulan keyakinan saya Islam, di mana ruang-ruang untuk berpoligami itu terbuka cukup lebar. Tapi, kalau Yos enggak mengizinkan, kan enggak bisa,” katanya.
oleh: bobies.multiply.com
Jumat, 17 Maret 2017
Kehidupan Iman Kehidupan Puisi
Saya ingin menabung satu mata rantai pemahaman yang agak ‘teknis’, agak kognitif, serta yang sederhana saja. Orang-orang Maiyah melihat, mendekat, kemudian ada yang memasuki pintu yang bernama Kehidupan Puisi. Sebagian dari mereka dengan sadar dan tergetar kepada figur yang bernama Umbu Landu Paranggi.
Mereka sudah tahu belajar kepada Umbu bukanlah terutama mempelajari puisi-puisi Umbu, meskipun universitasnya bernama Kehidupan Puisi. Perlahan-lahan mereka mengerti dan semakin memasuki hutan rimba pengertian yang sama sekali berbeda dengan ‘mindset’ umum tentang belajar dan pembelajaran. Juga belajar dan pembelajaran puisi. Bahkan pun juga tentang (yang dimaksud, keluasan dan kesempitan, kedalaman dan kedangkalan) puisi itu sendiri.
Belajar Kehidupan Puisi kepada Umbu Landu Paranggi adalah menelusuri jalanan panjang hingga ke maqamat Umbu. Meniti dan niteni irama langkahnya. Menggambar kepribadiannya. Kecenderungan-kecenderungannya. Bahasa dan pola-pola ekspressi serta komunikasinya yang ternyata lebih banyak dijumpai sebagai diskomunikasi — kalau dipandang dari jendela pemahaman baku dan lugu masyarakat buta huruf batin yang membesarkan mereka.
Para pembalajar, para pejalanan Lelaku Kehidupan Puisi, semakin hari semakin tahu bahwa salah satu kepastian yang hampir pasti adalah mereka belum pernah dan mungkin benar-benar tak akan pernah bertemu langsung dengan Umbu Landu Paranggi. Dan sungguh-sungguh kenyataan itu tidak harus menjadi masalah sama sekali, kecuali bagi para pembelajar modern yang naif, yang tertutup kehidupannya dari fenomenologi Bambang Ekalaya seperti yang Iman Budhi Santosa menuturkannya dalam puisi “Guru Batu Bambang Ekalaya”:
“Demi Dewata, kusebut kau guruku, Batu”
Maka, jadilah ia guru batu, Guru Dorna
Mantram kesaktian di sekujur tubuhnya
Mengajar menjawab dalam berbagai tanda….
Masyarakat yang ditipu oleh atmosfir global yang membuat mereka menyangka sedang berada dalam persekolahan modern dan tradisi akademis kognitif, dengan mudah terpeleset ke persepsi bahwa mereka sedang dianjurkan untuk berguru kepada batu. Karena mereka umumnya tidak bergerak dari ‘materi’ yang berbunyi guru batu. Orang modern hobinya kemapanan. Kalau mendengar kata mobil, mereka berhenti pada mobil. Mendengar batu, tinggal di batu. Mendengar rumah, mapan di rumah. Bahkan mendengar Dorna, mandeg statis stigmatik di persangkaan umum tentang Dorna.
Iman Budhi Santosa
Iman Budhi Santosa
Salah satu puncaknya mereka ditunggu syahadatnya oleh Allah malah membaca syahadat. Sekali seumur hidup, ditambah melakukannya lagi dalam jumlah yang Allah memaksa mereka untuk mengucapkannya dalam shalat dan adzan. Padahal syahadat terletak dan diuji di setiap langkah mereka, di setiap butir nasi mereka, di setiap tetes keringat mereka, di setiap keputusan mereka, di setiap lendir dahak batuk mereka, di setiap lenyapnya bensin dari motor mereka, di setiap kantor, rumah, kebun, sawah, profesi, jabatan, kata, pernyataan, keputusan, pun cita-cita dan apa saja serta kapan saja dalam kehidupan mereka.
Masih tersisa wangi doa dan dzikirmu, Ibu
pada sajadah tua yang kau wariskan kepadaku
Ada sunyi tahajud, kelitik bunyi tasbih
merajut detik demi detik
ketika malam larut
hati dan mulut mengajarkan syahadat shalawat
pada bayi dalam kandunganmu
….
Di atas sajadahmu, Ibu
kutulis buku demi buku
menemani sujudku kepadamu
(“Sajadah Ibu”)
Apakah susah memperoleh pemahaman bahwa hidupmu adalah sujud di atas sajadah warisan Ibumu? Apakah sulit menemukan kecerahan pandangan bahwa senyata-nyatanya engkau kuliah, engkau bekerja dan engkau berjuang sebagai aktivasi sujud di atas sajadah Ibumu? Apakah tidak rasional dan terasa artifisial bahwa para petani mencangkul, Raja berdarma, cendekiawan berkarya, seniman menorehkan rahasia, arsitek mendirikan, pedagang menseimbangkan, dan siapapun apapun, adalah Kehidupan Sujud di Sajadah Ibu mereka masing-masing?
Jadi apakah Kehidupan Puisi itu abstrak? Apakah Kehidupan Cangkul, Kehidupan Pena, Kehidupan 010101, Kehidupan Garis, Kehidupan Warna, Kehidupan Cahaya, Kehidupan Sawah Ladang, Kehidupan Maiyah, itu belum terang benderang bagimu? Belum memancar, belum Khobir, belum Mubin, belum berbinar-binar memancar jadi cahaya di permukaan wajah kehidupanmu?
Bahkan apakah pecah kepala Indonesiamu, pusing tujuh keliling globalisasimu, putus asa berkepanjangan era zamanmu, tak bisa kau rebahkan dalam ketenteraman yang cerdas, dalam ketenangan yang tajam, dalam makrifat yang mendalam, belum ber-maqam dalam ketertuntunan langkah ke depanmu yang terang benderang?
Jadi, benar bisik gerimis dalam mimpi
Bahwa di manapun engkau berdiri
Di situlah tanah airmu yang sejati…
(“Ketika Jutaan Anak Tersesat di Indonesia”)
Apa belum terang benderang di mata kesadaranmu bahwa engkau tidak hidup di Indonesia, karena Indonesia engkau genggam di tangan kananmu? Apakah belum nyata di jagat batinmu bahwa engkau bukan anggota klub Globalisasi, karena dunia global itu kau ‘cangking’ di tangan kirimu?
“Di mana engkau bersujud, di situlah Masjid”. Apakah ada kalimat yang bisa lebih menjelaskan hahekat yang terkandung dalam ucapan Nur Muhammad melalui bibir Muhammad bin Abdullah ini? Apakah esok pagi tatkala bangun pagi engkau sanggup menemukan dirimu di Rumah Maiyah, Kehidupan Maiyah, Negeri Maiyah? Sembari menata kembali batas-batas kewajibanmu, kadar-kadar perjuanganmu, skala tuntutan Allah kepadamu, hingga setiap menatap Indonesia yang penuh kemalangan itu terdengar bisikan Allah “La takhof wa la tahzan innallaha ma’ana”: jangan cemas dan sedih menatap Negeri Angkuh Dungu yang memisahkan diri menjadi tetangga kita dan Allah?
Bersegeralah menentukan Kehidupanmu sendiri. Kehidupan Salik? Kehidupan Dekonstruksi? Kehidupan Kreatif? Kehidupan Roda? Kehidupan Jeruji? Kehidupan Suku Dalu? Apapun saja. Tidak ada kewajiban apapun dari Allah, jika engkau mengerti bahwa pada hakekatnya itu semua adalah keniscayaan hidupmu sendiri. Tidak ada tuntutan apapun dari Kehidupan Maiyah, dari Kehidupan Puisi, dari Kehidupan Iman, jika engkau menyadari bahwa itu semua adalah horizon kerinduan rohanimu sendiri. Langkahkan kaki kokoh dengan hati cerah dan pikiran tajammu. Apapun saja, asalkan dengan ridlo, Aku akan menyongsong dan menyambutmu:
Sepatuh air akupun mengalir
Menawarkan buih, bunga tanah, dan pasir
Menghidupkan lumut ganggang
Menggamit kalian berani telanjang
Mandi sunyi mengurai diri ke berbagai sendang
….
Serupa kayu akupun mau
Buat pagar atau dibakar. Seumpama lagu
Siap dinyanyikan, juga dilupakan
….
Sahabat, aku datang karena cinta…
(“Karena Cinta”)
Agar supaya lebih nikmat hidup ini, agar supaya lebih indah hidupmu dan hidupku, kisahkan kepadaku Kiyaimu, Ulamamu, Ustadzmu, yang mengajar dan mendidikkan kepadamu hal peribadatan kepada Allah dan pelayanan rahmatan lil’alamin kepada sesama makhluk, yang lebih indah dari cara Iman Budhi Santosa menuturkannya kepadamu dalam puisi itu. Atau kutipkan kepadaku keindahan semacam itu dari Buku-buku Tafsir, Pelajaran Islam, Kitab Kuning, Jurnal Kaum Cendekiawan Muslim atau apapun. Atau barangkali dari Disertasi dan kumpulan Tesis-tesis modern yang engkau kagumi.
Tatkala nanti akhirnya engkau mengalir kintir dalam keindahan itu, semoga engkau menemukan bahwa sesungguhnya itu toh bukan dirimu. Bukan engkaumu. Apakah engkau sanggup ada dan menjadi engkau tanpa Engkau? Apa hulumu, mana hilirmu, sehingga engkau meng-aku engkaumu? Yang kau temukan sebagai engkau, sesungguhnya hanyalah permainan hologram dan simulasi cinta hasil karya Engkau.
Adapun yang kau jalani itu shirat-mu, syari’-mu, thariq-mu. Syukur engkau merdekakan dirimu terlebih dulu dari kondisi-kondisi mutanajjis dan musta’mal pada idiom shirothol-mustaqim, thariqat dan syariat — yang tiba kepadamu tidak sebagai thahir-muthahhir kata itu sendiri, melainkan dibungkus oleh tafsir-tafsir hari kemarin yang harus kau temui dan layani dengan santun tapi kritis, dengan sopan namun krearif, dengan mendengarkan tapi siap mempertanyakan.
Apakah masih samar-samar bahwa rumahmu itu bukan rumah, melainkan tempat persinggahan sangat sementara? Apakah belum bisa kau letakkan di peta saraf akalmu bahwa harta benda, jabatan, gaji, kemasyhuran, eksistensi yang sesungguhnya sia-sia untuk kau primerkan sebagai tujuan itu hanyalah sebutir dua butir wirid di tengah perjalanan panjang thariqat kehidupanmu agar kompatible untuk bergabung kembali dengan Mu?
67 Tahun Iman Budhi Santosa
67 Tahun Iman Budhi Santosa
Apakah belum khatam perjalanan ilmumu sejak dini hari Maiyah bahwa jangan sampai engkau disengsarakan oleh letak terbalik dan maqam kesesatan tatkala tujuan dan jalan, sebab dan akibat, wasilah dan ghoyah — engkau campur adukkan, engkau bolak-balik, di dalam disproporsi hidupmu yang seru, heboh dan gegap gempita namun kosong melompong di mustakanya? Sudah berapa kilometer ruhaniyah perjalanan ketenteraman fikiran dan batinmu sebagai Khalifah Kehidupan dan Kehidupan Khalifah sejauh Kehidupan Maiyah yang engkau alami, kembarai dan cakrawalai?
Manusia Iman, Manusia Budhi, Manusia Santosa, Kehidupan Iman, Kehidupan Budhi, Kehidupan Santosa, menghamparkan kepadamu sawah ladang ilmu dan keindahan, buku-buku ilmu dan lembar-lembar pengetahuan — asalkan engkau mulai mengerti kenapa musti mudik ke “Kampung Halaman”. Siapkan waktu sejenak beberapa jenak di pagi siang sore malammu, namun dengan ketulusan pencarian ilmu dan kekosongan penerimaan hidayah dari Allah yang menyamar di balik punggungmu dan punggung penulis puisi-puisi itu, bacalah dan selamilah pelan-pelan tanpa menyangka bahwa engkau akan pernah selesai melakukannya.
Maka, pandanglah dirimu: apakah malam ini engkau masih meyakini bahwa sedang menghadiri pembacaan puisi oleh seorang penyair? Mari gerakkan kaki dan pikiranmu turun menginjak bumi:
Salah satu alat yang dipergunakan oleh ummat manusia untuk saling menyambungkan dirinya satu sama lain adalah kata. Ketika sejumlah kata dirangkai, disusun dan dikomposisikan untuk mewakili dan menyampaikan suatu makna, mereka menyebutnya kalimat. Kemudian di antara sekian cara manusia menyusun kata dan kalimat, terdapat suatu jenis atau formula yang disebut puisi. Para penyusun kata dan kalimat menjadi puisi itu dinamakan Penyair.
Sebutan Penyair itu sesungguhnya sekedar semacam inisial untuk memudahkan keperluan kategorisisasi sosial dalam pergaulan manusia. Semacam simplifikasi teknis yang aslinya belum tentu oleh kebudayaan manusia dijaga secara sungguh-sungguh dengan batas nilai, parameter atau kwalifikasi yang berprinsip. Di dalam budaya materialisme, kapitalisme dan industri, setiap orang yang punya biaya bisa menyusun kalimat-kalimat, mengumpulkannya menjadi sekian puluh atau sekian ratus halaman, menerbitkannya dan menamakannya Buku Kumpulan Puisi. Tidak benar-benar ada kontrol atau kritisisme terhadap fakta kwalitatif apakah itu semua puisi atau sekedar deretan kata dan kumpulan kalimat.
Tatkala ratusan Buku semacam itu beredar memenuhi Toko Buku dan rak-rak almari buku masyarakat, tanpa dialektika kwalitatif nilai-nilai dalam perikehidupan budaya masyarakat, pada kenyataannya sangat besar potensi yang muncul bahwa yang terbaca bukanlah puisi. Semua kumpulan kata dan susunan kalimat itu disepakati untuk dinamakan puisi sekedar karena orang-orang tidak punya kemampuan untuk menjelaskan atau membuktikan bahwa itu bukan puisi.
Maka kalau Anda terlalu yakin dan mempermudah persepsi diri bahwa Iman Budhi Santosa adalah salah satu edisi dari barisan jenis Penyair kumpulan kata dan susunan kalimat semacam itu, maka sangat kecil kemungkinan Anda sungguh-sungguh berjumpa dengan Iman Budhi Santosa. Bahkan sebaiknya Anda jangan terlalu optimis untuk percaya bahwa Iman Budhi Santosa adalah Penyair yang menulis (dan membacakan) puisi-puisi, jika Anda masih belum memerdekakan diri dari hampir semua wacana, pengetahuan dan pemahaman yang menimpa, menaburi bahkan menenggelamkan dan mengotori fikiran dan batin Anda, yang berasal dari bacaan-bacaan, buku-buku, media-media tulis, jurnal-jurnal sastra, atau apapun yang mengantarkan kepada Anda beribu-ribu salah sangka tentang Penyair dan Puisi.
Apa yang berlangsung di dalam diri Iman Budhi Santosa bukan desakan-desakan untuk menulis puisi, terlebih-lebih lagi keinginan untuk menjadi Penyair. Bahasa jelasnya, Anda jangan tertipu atau terjebak oleh kerendahan hati dan penyamaran Iman Budhi Santosa yang mengaku Penyair dan malam ini membacakan puisi-puisi. Coba baca akhir “Catatan Harian Seorang Sultan” ini:
Sekian musim bercermin pada rumput
pada taman yang berlumut, sisa keraton
tinggal bangunan tua dan rindang pohon.
“Jangan panggil aku Gusti….”
Tapi, mereka nekad ngapurancang di depan cepuri
nenunduk pada huruf-huruf Jawa yang tak terbaca
oleh lidah yang lama mengembara
Iman Budhi Santosa berhati sangat lembut. Tidak tega menuliskan “Aku bukan keturunan Raja, aku hanya diperintah untuk menjadi Sultan. Maka dengan ini kusampaikan Tahta Untuk Rakyat”. Ia tidak memiliki perasaan yang kasar untuk tega menorehkan kata “anjing herder di kraton kilen”, “pusaka-pusaka merasakan sesak panas kumuh sehingga pergi meninggalkan keraton”, atau berbagai kalimat lain.
Akan tetapi mestinya Anda tidak perlu menjadi Doktor Ilmu Sejarah, tidak perlu menjadi mahasiswa jurusan Sejarah (: sejarah kok jurusan..) untuk ‘hancur lebur’ seluruh tatanan kosmos pengetahuan Sejarah Anda oleh kalimat Iman Budhi Santosa “sisa keraton, tinggal bangunan tua dan rindang pohon…jangan panggil aku Gusti”.
Anda semua adalah penduduk suatu Negara yang sekedar namanya sajapun tidak ditentukan oleh Bangsanya sendiri, para Leluhur atau nenek moyang Anda. Apalagi nilai-nilai yang mendasarinya, konstitusi dan hukumnya, filosofi politiknya, pengetahuan Sejarah dan asal usul ke’bangsa’annya. Anda didaftar sebagai Warga dari suatu Negara yang Anda tidak memiliki pengetahuan tentang sangkan-parannya, tentang sebab akibat historisnya, tentang koordinat geo-powernya di tengah Pemerintahan Dunia (yang me-)Rahasia(kan) dirinya.
Sebaiknya kita memulai belajar kembali dengan hadir besok Senin Kliwon 6 April 2015 peringatan 523 tahun “Sirno Ilang Kertaning Bhumi” di Rumah Maiyah ini. Sebelum itu selamilah dan belajar kepada Ibu-Ibu Simbok-Simbok di “Orang-orang Batik Usia Senja Belakang Keraton Yogyakarta” tentang kesetiaan diri kepada Diri. Ambil waktu untuk membubarkan segala pengetahuan dan pemahamanmu tentang kependidikan yang menghancurkan manusia secara gegap gempita di abad-abad modern ini, dengan belajar kepada “Setangkai Bunga Buat Ibu Guru TK”. Ambrukkan tembok ilmu abad 21-mu untuk memperlebar pintu ilmu dan keindahan tentang perkawinan dan rumah tangga, agar engkau tak mandeg pada kelelakian dan keperempuanan, kemudian mencakrawala ke hakekat dan kasunyatan “Pengantin Puisi, Pengantin Sunyi”.
Aku hanya menuding beberapa pintu di hamparan kosmos “Kampung Halaman” Iman Budhi Santosa. Engkau akan menemukan ribuan pintu lainnya, dan ribuan pintu berikutnya di setiap pintu. Apakah engkau masih yakin bahwa Iman Budhi Santosa adalah atau hanyalah seorang penyair, seorang penulis puisi yang malam ini sedang membacakannya kepadamu?
Yogya 29 Maret 2015.
OLEH :
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun)
Langganan:
Postingan (Atom)