Ditulis Oleh Sujiwo Tejo | |
Kamis, 26 November 2009 |
Jumat, 30 Agustus 2013
PacaranMaTuhan
Ya ampuuunn!! Aku serius ngomong soal cinta sejati itu cinta ke Tuhan, pacaran sama Tuhan, malah diketawain sama tweeps, jiaaaanncuuk!
Kalau kamu sayang sama Tuhan yang Maha Asyik, mestinya kan menjadikan dirimu sebagai eksekutor kehendak Tuhan di dunia?!
Tuhan kan nggak mungkin langsung sedekah ke orang-orang, ya kalianlah sedekah duit kalau punya duit, sedekah ilmu, sedekah senyum.
Masa sih kalau sudah gitu Tuhan gak bales cintamu? Tapi gak mungkin dia belai-belai langsung rambutmu, sentuh bibirmu.
Maka Tuhan ciptakan “wakil”nya, yaitu pacarmu. Maka doalah, “Tuhan, semoga pacarku ini betul-betul orang yang kau pilihkan untukku..”
Tapi kadang kamu kebablasan! Lebih sayang ke “wakil” Tuhan itu. Padahal Tuhan Maha Pencemburu! Itulah problemnya.
Misalya, kamu gak pernah sedekah lagi, karena pacarmu di dunia keberatan, akhirnya kamu stop sedekah. Itu yang banyak terjadi.
Gak usah panas kuping ketika kubilang Tuhan Maha Pencemburu. Adakah dosa lebih besar dari cinta ke selain Tuhan (harta, uang, dll) ?
BONUS:
Masih banyak yang salah tafsir. gini, aku punya sahabat, agamanya Kristen, aku gak ada urusan sama agama orang. Bagi saya yang penting orang itu baik dan berguna buat sesama, apapun agamanya atau kepercayaannya.
Sahabat saya yang Kristen ini ngaku tak lebih cinta ke suami dan anak-anaknya daripada ke Tuhan. Ketika untuk pertama kali pisah sama anak-anaknya, karena jauh kuliah di Amrik, perempuan ini tidak takut dan tidak sedih berlarut-larut. Kenapa?
“Karena saya cinta Tuhan di atas apapun, termasuk cinta ke anak-anak, maka Tuhan akan jaga anak-anak saya di Amrik.” Jawabnya dahsyat.
END
Kamis, 29 Agustus 2013
Dekade
Hari ini, 19 Juni 2013, menandai satu dekade perjalanan saya sebagai
seorang penulis. Sepuluh tahun yang lalu, 19 Juni 2003, waktu itu masih
kelas 2 SMA, saya menerbitkan buku pertama saya berjudul Kucing. Tidak mirip sebuah buku, sebenarnya. Sebab pada waktu itu, nyatanya Kucing terlalu
absurd untuk disebut sebagai buku yang utuh. Ia hanya berisi kumpulan
puisi, cerpen, sketsa, prosa, SMS, dan apa saja yang bisa saya tuliskan
tanpa tahu bentuknya—jenisnya. Belum ada buku semacam itu sebelumnya,
dan belum ada penerbit gila yang berani menerbitkan buku yang lebih
mirip “tong sampah” pikiran dan perasaan.
Untunglah saya bertemu Irfan AmaLee, waktu itu editor Penerbit Mizan. Kakak kelas saya sewaktu mondok di Ma’had Darul Arqam Muhammadiyah, Garut. Setelah nekat menerima tantangannya untuk menerbitkan buku dan diberi waktu satu bulan, saya menyerahkan Kucing yang di-print menghabiskan uang saku saya untuk setengah bulan. Dengan tangan gemetar, saya menyerahkan naskah itu sambil berharap mendapat pujian, tentu saja, meski tidak yakin. Saya tidak berpikir buku itu akan laku atau tidak? Untuk siapa buku itu dituliskan? Apa segmentasi pembacanya? Bagaimana strategi pemasarannya? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sama sekali tak terlintas dalam benak saya waktu itu. Pokoknya saya menulis dan mudah-mudahan punya kesempatan untuk diterbitkan; Entah bagaimana lagi setelahnya.
Sepuluh hari sejak kejadian itu, status saya sudah berubah menjadi penulis. Amatir, tentu saja. Irfan AmaLee membantu menerbitkan Kucing secara indie di bawah penerbit yang saya tahu sebenarnya “pura-pura”, namanya MagnumOpusProject. Tapi saya tidak mau menjadi penulis yang pura-pura. meskipun buku saya hanya dicetak 10 eksamplar pada cetakan pertama, saya berusaha untuk menjadi penulis sungguhan. Paling tidak, waktu itu, saya berusaha “berakting” menjadi penulis sungguhan. Demi buku pertama itu: Saya buat posternya, saya buat blognya, saya sablon kaus bergambar cover buku saya, saya ceritakan pada sebanyak mungkin orang...
Waktu terus berjalan dan tanpa terduga Kucing terus dicetak, disukai dan mendapatkan banyak pujian. Orang-orang mulai mengenal saya. Saya mulai punya acara “bedah buku” sendiri dan sesekali membubuhkan tandatangan pada buku yang saya tulis itu—untuk seseorang yang tidak saya kenal sebelumnya. Sebagian orang memasukkan saya dalam daftar penulis yang buku berikutnya akan mereka tunggu atau penulis yang menginspirasi mereka. Saya bangga luar biasa, tentu saja, tetapi sekaligus khawatir dan malu. Khawatir karena kalau saya berhenti menulis artinya saya akan segera dilupakan. Malu karena saya hanyalah penulis amatir yang sebenarnya ragu tentang apa yang dituliskannya sendiri.
Maka saya bertekad untuk terus belajar. Bagi saya, berkarya adalah belajar. Pada saat karya saya dipuji atau laku atau menginspirasi pembaca, itu bonus dari kerja-kerja menyenangkan yang saya lakukan. Pada saat karya saya dikritik atau dihina atau tidak laku, ya... tak usah sakit hati. Namanya juga belajar, kan?
Hari demi hari berlalu. Tanggal dan bulan-bulan berguguran dari kalender. Tanpa terasa, sejak buku pertama itu, kini telah genap 10 tahun saya menulis. Lebih tepatnya, 10 tahun saya belajar menulis. Tanpa saya perkirakan sebelumnya, sekarang saya sudah memiliki lebih dari 15 buku yang tersebar di berbagai penerbit besar berskala nasional. Selain buku-buku, saya juga punya ratusan artikel, cerpen, puisi, prosa dan tentu saja ribuan tulisan gagal lainnya yang tersimpan di komputer atau catatan pribadi saya. Status sebagai penulis terus saya bawa sejak 10 tahun lalu dan kini telah memberikan saya banyak hal—yang tak pernah saya rancang sebelumnya: Rumah, kendaraan, karir, perjalanan-perjalanan, eksperimen-eksperimen, pertemuan-pertemuan, beasiswa, dan tentu saja... pembaca setia. Tak ternilai harganya!
10 tahun berlalu sudah banyak yang berubah dari gaya menulis saya, tentu saja. Tema, warna, dan posisi saya di hadapan teks juga telah berubah. Kadang-kadang saya tertawa membaca tulisan-tulisan lama saya, sambil bertanya-tanya mengapa saya begitu bodoh waktu menuliskannya? Di waktu yang lain, saya tercenung bahkan tercengang, mengapa dulu saya lebih cerdas, lebih lihai daripada sekarang? Tapi waktu, seperti teman, telah membentuk saya menjadi diri saya yang sekarang—dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Inilah sepuluh tahun itu, baru saja berlalu. Bukan waktu yang panjang, tapi juga tidak pendek. Masih banyak yang harus saya kerjakan untuk terus belajar dan “berakting” menjadi penulis. Kini, saya sedang mempersiapkan sebuah buku yang paling ingin saya tuliskan sejak 10 tahun lalu. Sebuah novel, barangkali. Mudah-mudahan bisa segera saya selesaikan dalam waktu dekat dan terbit tahun ini juga. Sesuatu yang saya janjikan layak untuk Anda tunggu; Mudah-mudahan tidak mengecewakan.
Akhirnya, saya menikmati semua ini. Benar-benar menikmatinya. Menulis buat saya bukan untuk menjual buku, bukan juga untuk pergi ke pesta—seperti kata Chairil Anwar. Bagi saya, menulis adalah panggilan jiwa. Semacam takdir lain saya sebagai manusia. Sesuatu yang digambarkan Charles Bukowski sebagai sesuatu yang datang tanpa diminta, keluar dari hatimu dan dari pikiranmu dan dari mulutmu dan dari muntahmu... ia melesat dari jiwamu seperti sebuah roket! (...that comes unasked out of your heart and your mind and your mouth and your gut... it comes out of your soul like a rocket!)
Saya mungkin bukan penulis terbaik di Indonesia, tapi saya masih 26 tahun. Itu motto saya dalam menulis. I am not the best writer in Indonesia, but I am still 26 years old. Silakan tafsirkan sendiri maksudnya. :)
so you want to be a writer?
—Charles Bukowski
if it doesn’t come bursting out of you
in spite of everything,
don’t do it.
unless it comes unasked out of your
heart and your mind and your mouth
and your gut,
don’t do it.
if you have to sit for hours
staring at your computer screen
or hunched over your
typewriter
searching for words,
don’t do it.
if you’re doing it for money or
fame,
don’t do it.
if you’re doing it because you want
women in your bed,
don’t do it.
if you have to sit there and
rewrite it again and again,
don’t do it.
if it’s hard work just thinking about doing it,
don’t do it.
if you’re trying to write like somebody
else,
forget about it.
if you have to wait for it to roar out of
you,
then wait patiently.
if it never does roar out of you,
do something else.
if you first have to read it to your wife
or your girlfriend or your boyfriend
or your parents or to anybody at all,
you’re not ready.
don’t be like so many writers,
don’t be like so many thousands of
people who call themselves writers,
don’t be dull and boring and
pretentious, don’t be consumed with self-
love.
the libraries of the world have
yawned themselves to
sleep
over your kind.
don’t add to that.
don’t do it.
unless it comes out of
your soul like a rocket,
unless being still would
drive you to madness or
suicide or murder,
don’t do it.
unless the sun inside you is
burning your gut,
don’t do it.
when it is truly time,
and if you have been chosen,
it will do it by
itself and it will keep on doing it
until you die or it dies in you.
there is no other way.
and there never was
Terima kasih untuk semuanya. Benar-benar semuanya.
FAHD DJIBRAN.
Sumber :fahdisme.com
Untunglah saya bertemu Irfan AmaLee, waktu itu editor Penerbit Mizan. Kakak kelas saya sewaktu mondok di Ma’had Darul Arqam Muhammadiyah, Garut. Setelah nekat menerima tantangannya untuk menerbitkan buku dan diberi waktu satu bulan, saya menyerahkan Kucing yang di-print menghabiskan uang saku saya untuk setengah bulan. Dengan tangan gemetar, saya menyerahkan naskah itu sambil berharap mendapat pujian, tentu saja, meski tidak yakin. Saya tidak berpikir buku itu akan laku atau tidak? Untuk siapa buku itu dituliskan? Apa segmentasi pembacanya? Bagaimana strategi pemasarannya? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sama sekali tak terlintas dalam benak saya waktu itu. Pokoknya saya menulis dan mudah-mudahan punya kesempatan untuk diterbitkan; Entah bagaimana lagi setelahnya.
Sepuluh hari sejak kejadian itu, status saya sudah berubah menjadi penulis. Amatir, tentu saja. Irfan AmaLee membantu menerbitkan Kucing secara indie di bawah penerbit yang saya tahu sebenarnya “pura-pura”, namanya MagnumOpusProject. Tapi saya tidak mau menjadi penulis yang pura-pura. meskipun buku saya hanya dicetak 10 eksamplar pada cetakan pertama, saya berusaha untuk menjadi penulis sungguhan. Paling tidak, waktu itu, saya berusaha “berakting” menjadi penulis sungguhan. Demi buku pertama itu: Saya buat posternya, saya buat blognya, saya sablon kaus bergambar cover buku saya, saya ceritakan pada sebanyak mungkin orang...
Waktu terus berjalan dan tanpa terduga Kucing terus dicetak, disukai dan mendapatkan banyak pujian. Orang-orang mulai mengenal saya. Saya mulai punya acara “bedah buku” sendiri dan sesekali membubuhkan tandatangan pada buku yang saya tulis itu—untuk seseorang yang tidak saya kenal sebelumnya. Sebagian orang memasukkan saya dalam daftar penulis yang buku berikutnya akan mereka tunggu atau penulis yang menginspirasi mereka. Saya bangga luar biasa, tentu saja, tetapi sekaligus khawatir dan malu. Khawatir karena kalau saya berhenti menulis artinya saya akan segera dilupakan. Malu karena saya hanyalah penulis amatir yang sebenarnya ragu tentang apa yang dituliskannya sendiri.
Maka saya bertekad untuk terus belajar. Bagi saya, berkarya adalah belajar. Pada saat karya saya dipuji atau laku atau menginspirasi pembaca, itu bonus dari kerja-kerja menyenangkan yang saya lakukan. Pada saat karya saya dikritik atau dihina atau tidak laku, ya... tak usah sakit hati. Namanya juga belajar, kan?
Hari demi hari berlalu. Tanggal dan bulan-bulan berguguran dari kalender. Tanpa terasa, sejak buku pertama itu, kini telah genap 10 tahun saya menulis. Lebih tepatnya, 10 tahun saya belajar menulis. Tanpa saya perkirakan sebelumnya, sekarang saya sudah memiliki lebih dari 15 buku yang tersebar di berbagai penerbit besar berskala nasional. Selain buku-buku, saya juga punya ratusan artikel, cerpen, puisi, prosa dan tentu saja ribuan tulisan gagal lainnya yang tersimpan di komputer atau catatan pribadi saya. Status sebagai penulis terus saya bawa sejak 10 tahun lalu dan kini telah memberikan saya banyak hal—yang tak pernah saya rancang sebelumnya: Rumah, kendaraan, karir, perjalanan-perjalanan, eksperimen-eksperimen, pertemuan-pertemuan, beasiswa, dan tentu saja... pembaca setia. Tak ternilai harganya!
10 tahun berlalu sudah banyak yang berubah dari gaya menulis saya, tentu saja. Tema, warna, dan posisi saya di hadapan teks juga telah berubah. Kadang-kadang saya tertawa membaca tulisan-tulisan lama saya, sambil bertanya-tanya mengapa saya begitu bodoh waktu menuliskannya? Di waktu yang lain, saya tercenung bahkan tercengang, mengapa dulu saya lebih cerdas, lebih lihai daripada sekarang? Tapi waktu, seperti teman, telah membentuk saya menjadi diri saya yang sekarang—dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Inilah sepuluh tahun itu, baru saja berlalu. Bukan waktu yang panjang, tapi juga tidak pendek. Masih banyak yang harus saya kerjakan untuk terus belajar dan “berakting” menjadi penulis. Kini, saya sedang mempersiapkan sebuah buku yang paling ingin saya tuliskan sejak 10 tahun lalu. Sebuah novel, barangkali. Mudah-mudahan bisa segera saya selesaikan dalam waktu dekat dan terbit tahun ini juga. Sesuatu yang saya janjikan layak untuk Anda tunggu; Mudah-mudahan tidak mengecewakan.
Akhirnya, saya menikmati semua ini. Benar-benar menikmatinya. Menulis buat saya bukan untuk menjual buku, bukan juga untuk pergi ke pesta—seperti kata Chairil Anwar. Bagi saya, menulis adalah panggilan jiwa. Semacam takdir lain saya sebagai manusia. Sesuatu yang digambarkan Charles Bukowski sebagai sesuatu yang datang tanpa diminta, keluar dari hatimu dan dari pikiranmu dan dari mulutmu dan dari muntahmu... ia melesat dari jiwamu seperti sebuah roket! (...that comes unasked out of your heart and your mind and your mouth and your gut... it comes out of your soul like a rocket!)
Saya mungkin bukan penulis terbaik di Indonesia, tapi saya masih 26 tahun. Itu motto saya dalam menulis. I am not the best writer in Indonesia, but I am still 26 years old. Silakan tafsirkan sendiri maksudnya. :)
so you want to be a writer?
—Charles Bukowski
if it doesn’t come bursting out of you
in spite of everything,
don’t do it.
unless it comes unasked out of your
heart and your mind and your mouth
and your gut,
don’t do it.
if you have to sit for hours
staring at your computer screen
or hunched over your
typewriter
searching for words,
don’t do it.
if you’re doing it for money or
fame,
don’t do it.
if you’re doing it because you want
women in your bed,
don’t do it.
if you have to sit there and
rewrite it again and again,
don’t do it.
if it’s hard work just thinking about doing it,
don’t do it.
if you’re trying to write like somebody
else,
forget about it.
if you have to wait for it to roar out of
you,
then wait patiently.
if it never does roar out of you,
do something else.
if you first have to read it to your wife
or your girlfriend or your boyfriend
or your parents or to anybody at all,
you’re not ready.
don’t be like so many writers,
don’t be like so many thousands of
people who call themselves writers,
don’t be dull and boring and
pretentious, don’t be consumed with self-
love.
the libraries of the world have
yawned themselves to
sleep
over your kind.
don’t add to that.
don’t do it.
unless it comes out of
your soul like a rocket,
unless being still would
drive you to madness or
suicide or murder,
don’t do it.
unless the sun inside you is
burning your gut,
don’t do it.
when it is truly time,
and if you have been chosen,
it will do it by
itself and it will keep on doing it
until you die or it dies in you.
there is no other way.
and there never was
Terima kasih untuk semuanya. Benar-benar semuanya.
FAHD DJIBRAN.
Sumber :fahdisme.com
Rabu, 21 Agustus 2013
Minggu, 18 Agustus 2013
Ia masuk Surga, padahal tak pernah shalat
Ah,
masa sih, serius…!!! Pasti semua orang mengira demikian. Saya aja
yang ibadahnya belum selalu sempurna atau sholatnya masih belum
lengkap pasti berguman seperti itu. Siapa sih yang gak menginginkan
surga.Sudah tahu belum, kalau disana kita akan ditemanin bidadari
jelita yang sangat cantik *syukur deh mumpung ane masih jomblo, hehehe,
atau tinggal mengambil sesuka hati makanan, minuman dan teknologi
sangat tinggi disana, semisal komputer yang bisa online tanpa batas,
hahaha….semuanya mengalir tanpa ada batas...
Trus caranya gimana, biar kita-kita masuk surga? Jauhin larangan-Nya dan kerjakan kewajiban yang telah diperintahkannya bukan. Yups, benar. Ane sutuju. Surga tu berada di telapak kaki Ibu dalam ajaran agama islam, so, awas ya ada yang mikir macem-macem tentang maksud tersebut. Tau-tau ntar maksa-maksa ibunya, suruh angkat kakinya agar bisa lihat surga. Hahaha… gak deh!
Nih, saya ada cerita, di zaman Rasulullah saw. Disaat mengadakan pengepungan terhadap beberapa benteng khaibar, datang seorang pemuda pengembala yang berwajah hitam bersama kambing-kambing gembalanya. Ia adalah seorang pekerja yang bekerja dengan orang-orang Yahudi di benteng itu sebagai upahan. Ia berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, paparkan kepadaku apa itu Islam?” Lantas, beliau memaparkannya secara panjang lebar tentang seluk beluk islam. Karena kagum, maka orang itu masuk islam.
Tatkala sudah masuk islam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini seorang upahan yang bekerja pada pemilik kambing-kambing ini sebagai amanat bagiku. Apa yang harus aku perbuat?”
“Lemparkan pasir ke wajah-wajahnya, pasti ia akan kembali lagi ke tuannya,” jawab Rasulullah. Maka, si pengembala berkulit hitam ini mengambil segenggam kerikil, lalu melemparkannya ke arah wajah kambing-kambing tersebut seraya berkata, “Pulanglah, pulanglah kepada tuan kalian. Demi Allah, aku tidak akan pernah sudi lagi menemani kalian.” Maka, secara ajaib kambing-kambing itu pun pergi secara bergerombolan seakan ada orang yang menggiringnya, hingga semuanya masuk ke benteng itu.
*kamibing saja disuruh pulang ke tuannya langsung pulang, coba kita-kita disuruh pulang sama emak, ntar masih tanggung jawabnya, hihiihi….maaf ya makk!.
Setelah itu, si pengembala maju ke arah benteng itu untuk ikut serta berperang bersama kaum muslimin. Namun ia terkena lemparan batu keras yang kemudian merenggut nyawanya, padahal ia belum sempat shalat untuk Allah walaupun satu rakaat pun.
Kemudian jenazah si penggembala itu dibawa ke samping Rasulullah saw. dalam kondisi tertutup dengan pakaian yang terlilit. Lalu, beliau yang ketika itu bersama sebagian para sahabatnya menoleh ke arahnya kemudian berpaling. Para sahabat heran dan lantas berkata, “Wahai Rasulullah kenapa engaku berpaling darinya?” Beliau segera menjawab,” Sesungguhnya ia sekarang bersama istrinya, bidadari jelita yang sedang menggerakkan badannya untuk menghilangkan debu yang menempel.
Wow, keren bukan. Langsung punya istri bidadari lagi.. ckckc. Mungkin maksud cerita diatas jihad kali yak? Ups, apakah sama dengan kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesai dalam beberapa tahun belakangan soal bom yang menewaskan banyak orang. Entahlah, soal berperang tersebut ane belum paham. Hehehe…. ini cerita bukan untuk kita harus perang, namun untuk diketahui dan renungan sejenak dalam batin kita agar lebih memanfaatkan waktu sebaik mungkin di dunia ini.
Jiah… si dexter bisa jadi ustad juga nih. Hahaha….tu nyontek dari buku tau, copas *copy paste.. heheheh. Mudahan kita menjadi hamba Allah yang disayangin, aminn.
Referensi : Buku “Ia masuk surge, padahal Tak pernah Shalat”.
Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Sumber : http://asmarie.blogdetik.com/2010/02/10/ia-masuk-surga-padahal-tak-pernah-shalat/
Trus caranya gimana, biar kita-kita masuk surga? Jauhin larangan-Nya dan kerjakan kewajiban yang telah diperintahkannya bukan. Yups, benar. Ane sutuju. Surga tu berada di telapak kaki Ibu dalam ajaran agama islam, so, awas ya ada yang mikir macem-macem tentang maksud tersebut. Tau-tau ntar maksa-maksa ibunya, suruh angkat kakinya agar bisa lihat surga. Hahaha… gak deh!
Nih, saya ada cerita, di zaman Rasulullah saw. Disaat mengadakan pengepungan terhadap beberapa benteng khaibar, datang seorang pemuda pengembala yang berwajah hitam bersama kambing-kambing gembalanya. Ia adalah seorang pekerja yang bekerja dengan orang-orang Yahudi di benteng itu sebagai upahan. Ia berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, paparkan kepadaku apa itu Islam?” Lantas, beliau memaparkannya secara panjang lebar tentang seluk beluk islam. Karena kagum, maka orang itu masuk islam.
Tatkala sudah masuk islam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini seorang upahan yang bekerja pada pemilik kambing-kambing ini sebagai amanat bagiku. Apa yang harus aku perbuat?”
“Lemparkan pasir ke wajah-wajahnya, pasti ia akan kembali lagi ke tuannya,” jawab Rasulullah. Maka, si pengembala berkulit hitam ini mengambil segenggam kerikil, lalu melemparkannya ke arah wajah kambing-kambing tersebut seraya berkata, “Pulanglah, pulanglah kepada tuan kalian. Demi Allah, aku tidak akan pernah sudi lagi menemani kalian.” Maka, secara ajaib kambing-kambing itu pun pergi secara bergerombolan seakan ada orang yang menggiringnya, hingga semuanya masuk ke benteng itu.
*kamibing saja disuruh pulang ke tuannya langsung pulang, coba kita-kita disuruh pulang sama emak, ntar masih tanggung jawabnya, hihiihi….maaf ya makk!.
Setelah itu, si pengembala maju ke arah benteng itu untuk ikut serta berperang bersama kaum muslimin. Namun ia terkena lemparan batu keras yang kemudian merenggut nyawanya, padahal ia belum sempat shalat untuk Allah walaupun satu rakaat pun.
Kemudian jenazah si penggembala itu dibawa ke samping Rasulullah saw. dalam kondisi tertutup dengan pakaian yang terlilit. Lalu, beliau yang ketika itu bersama sebagian para sahabatnya menoleh ke arahnya kemudian berpaling. Para sahabat heran dan lantas berkata, “Wahai Rasulullah kenapa engaku berpaling darinya?” Beliau segera menjawab,” Sesungguhnya ia sekarang bersama istrinya, bidadari jelita yang sedang menggerakkan badannya untuk menghilangkan debu yang menempel.
Wow, keren bukan. Langsung punya istri bidadari lagi.. ckckc. Mungkin maksud cerita diatas jihad kali yak? Ups, apakah sama dengan kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesai dalam beberapa tahun belakangan soal bom yang menewaskan banyak orang. Entahlah, soal berperang tersebut ane belum paham. Hehehe…. ini cerita bukan untuk kita harus perang, namun untuk diketahui dan renungan sejenak dalam batin kita agar lebih memanfaatkan waktu sebaik mungkin di dunia ini.
Jiah… si dexter bisa jadi ustad juga nih. Hahaha….tu nyontek dari buku tau, copas *copy paste.. heheheh. Mudahan kita menjadi hamba Allah yang disayangin, aminn.
Referensi : Buku “Ia masuk surge, padahal Tak pernah Shalat”.
Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Sumber : http://asmarie.blogdetik.com/2010/02/10/ia-masuk-surga-padahal-tak-pernah-shalat/
Langganan:
Postingan (Atom)